Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua puluh delapan tahun ia mengabdi jadi guru. Nasibnya mendadak berubah hanya dalam hitungan bulan. Penghasilan Ibu Guru Sumini mulai Oktober ini naik dua kali lipat, dari Rp 1,9 juta menjadi 4 juta perak. Semuanya gara-gara ia rajin membongkar arsip lemari untuk mengumpulkan lembaran ijazah, catatan kinerja, karya tulis, piagam penataran, dan keterangan mengenai pembinaan pada siswa.
Bundel dokumen yang dikumpulkan selama enam bulan itulah yang mendongkrak penghasilan ibu guru kelas V Sekolah Dasar Negeri Gedongan 3, Mojokerto, tersebut. Berkat si bundel, Sumini, 49 tahun, dinyatakan lulus sertifikasi guru dan, ujung-ujungnya, segepok duit tunjangan profesi ditambahkan dalam gajinya.
Sertifikasi guru adalah program buatan pemerintah sejak tahun lalu yang punya tujuan mulia meningkatkan kualitas guru. Upaya ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Guru dan Dosen yang disahkan Desember 2005. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik (berijazah S-1 atau D-4) serta punya kompetensi dan sertifikat pendidik. Untuk sertifikasi ini, 10 komponen portofolio guru akan dinilai oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.
Model sertifikasi seperti ini jamak dilakukan di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Tujuannya sama, untuk meningkatkan mutu guru. Cara lain untuk melihat mutu guru adalah dengan pengawasan ketat terhadap proses pendidikan dan lembaga penghasil guru. Ini dilakukan di Singapura dan Korea Selatan. Intinya, mutu guru harus dijaga agar bisa mencetak murid yang berkualitas.
Upaya yang positif ini tentu memerlukan dana tak sedikit. Ada 2 juta guru pegawai negeri sipil di seluruh Indonesia dan, bila semuanya lolos sertifikasi, setumpuk dana tunjangan profesi harus disediakan. Jumlahnya, menurut Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Jalal, sampai Rp 60 triliun per tahun. Artinya, tiga perempat anggaran Departemen Pendidikan Nasional terserap hanya untuk tunjangan guru.
Karena anggaran cekak, sertifikasi pun harus dilakukan bertahap. Setelah hampir dua tahun program ini dijalankan, baru sekitar 190 ribu guru yang diberi kesempatan, yang berarti belum sampai 10 persen dari total guru di Indonesia. Sumini sebenarnya termasuk dalam 20 ribu peserta tahun lalu, tapi karena saat itu tim penilai belum siap, ia baru dinilai sekarang. Peserta tahun 2007 diperkirakan baru bisa mengetahui hasil sertifikasi mereka akhir tahun ini.
Program ini disambut para guru dengan gegap-gempita. Sejak sosialisasi Februari 2006, kesibukan para anggota korps Umar Bakri ini tersedot untuk mengaduk-aduk dokumen mereka. Semua sertifikat atau karya tulis yang dulu tak pernah dihargai kini diubek ke mana perginya. Untuk 10 komponen portofolio yang dinilai, berkas yang dibutuhkan memang tak sedikit, umumnya lebih dari 100 lembar.
Setelah para guru selesai berburu dokumen, giliran panitia penilai yang pusing kepala. Kampus Universitas Negeri Jakarta, yang merupakan salah satu penilai, mendadak kebanjiran kertas. Menurut Rektor Bejo Sujanto, kampusnya harus menerima portofolio seberat 17 ton milik 1.614 guru. Rekor tertebal milik seorang guru SD, hampir sepanjang mistar anak SD, setebal 26 sentimeter, terdiri atas 2.000 halaman.
Tebal-tipisnya dokumen memang salah satu penanda aktifnya si pemilik untuk meningkatkan kompetensi. Sumini, misalnya, menyetor segepok dokumen piagam penataran yang dia ikuti dengan rajin dan, berkat tumpukan yang tebalnya sampai 5 sentimeter itu, ia memperoleh 1.150 poin. Ini angka tertinggi untuk kategori guru SD di Mojokerto. Syarat untuk lulus hanya 850 poin.
Angka kelulusan ini sulit dicapai oleh guru yang jarang mengikuti penataran. Ini terjadi pada Sumarmi, guru di sekolah tetangga Sumini, yang gagal uji sertifikasi yang dilakukan Universitas Negeri Surabaya. Dari 24 guru SD di Mojokerto yang mengikuti sertifikasi, hanya lima yang tak lolos dan semuanya guru kelas I.
Sumarmi berkeluh-kesah karena sertifikasi ini dianggapnya diskriminatif untuk guru kelas I, II, dan III, yang memang jarang ikut penataran. Padahal, kata dia, guru kelas I tak kalah profesional dibanding guru kelas yang lebih tinggi. Bahkan, menurut Sumarmi, guru kelas I-lah yang paling sulit dalam hal penguasaan kejiwaan siswa. ”Mereka kan murid dari TK yang berbeda. Kadang guru juga membantu nyeboki anak segala,” katanya.
Penilaian ini membuatnya gundah. ”Terus terang, ya, saya gelo (kecewa),” ujar Sumarmi, 52 tahun, yang telah mengabdi 31 tahun di SDN Gedongan 1. Sebagai guru paling senior di SD favorit di Mojokerto itu, ia berharap bisa melalui tahap sertifikasi dengan mulus.
Perasaan gulana serupa dialami Pamuji, 44 tahun, Kepala SD Negeri 1 Wonogiri. Ia masuk deretan panjang guru di Wonogiri yang tak lolos sertifikasi. Dari 164 guru Wonogiri yang ikut sertifikasi, hanya 15 yang lolos. Penasaran, ia menanyakan apa yang salah dari berkasnya. Ternyata, soal administratif, yaitu legalisasi persyaratan. ”Dalam pemahaman kami, atasan langsung yang berwenang melakukan legalisasi adalah pengawas sekolah, ternyata kepala cabang pendidikan,” ujar Pamuji.
Ketidakjelasan aturan ini diakui oleh Ketua Panitia Sertifikasi Guru dalam Jabatan Rayon 13 Surakarta, Furqon Hidayatullah. Ia mengakui ada dua hal yang menjadi masalah dalam pelaksanaan sertifikasi, yakni soal kemampuan guru dalam melakukan pengarsipan dan soal multitafsir mengenai persyaratan portofolio.
Beruntunglah guru yang rajin menyimpan arsip pendidikannya. Ini dirasakan manfaatnya oleh Altje Rolos, guru SMP Negeri 1 Manado. Ia mengumpulkan semua sertifikatnya sejak 1980-an, saat pertama kali ikut pendidikan dan latihan. Hasilnya, ia dinyatakan lulus dan sudah bisa berharap gajinya berlipat dua bulan depan.
Soal kerajinan menyimpan piagam latihan ini menjadi faktor penting untuk kelulusan karena tingkat kelulusan langsung melalui dokumen portofolio sangat rendah, sekitar 30 persen. Bagi mereka yang gagal dalam uji portofolio, masih terbuka kesempatan memperbaiki berkasnya atau masuk pendidikan dan latihan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, yang juga menjadi penilai portofolio.
”Sebenarnya, uji portofolio ini hanya sebagai pembuka menuju sertifikasi,” kata Fasli Jalil. Artinya, hal yang kurang dalam portofolio disempurnakan dalam pelatihan. Para guru akan diberi latihan selama 90 jam dan diuji kompetensinya.
Pelatihan ini merupakan kesempatan bagi guru seperti Sumarmi atau pengajar di kawasan terpencil dan pedalaman, yang nyaris tidak tersentuh penataran, untuk bisa lolos sertifikasi. Jika memang cara mengajar dan pengetahuannya mumpuni, mereka pun bisa mendapat hak yang sama. ”Jika tidak lulus, mereka diberi kesempatan remedial dan, kalau gagal lagi, harus ikut antrean sertifikasi lagi,” tutur Fasli.
Sayang, program yang baik ini belakangan mulai diselewengkan. Menurut penggiat Education Watch Sragen, Satya Sandhatrisa Gunatmika, banyak guru yang memalsukan sertifikat agar bisa lolos sertifikasi. Hal itu memang bisa terjadi karena penilai atau disebut asesor tidak mungkin memverifikasi kesahihan berkas. ”Kami menganggap yang sampai pada kami sudah diteliti oleh dinas pendidikan,” kata Rektor Bejo.
Para guru juga mulai mencari celah agar bisa memenuhi persyaratan undang-undang. Soal keharusan seorang guru menyandang gelar sarjana atau diploma IV, misalnya, diakali dengan cara kuliah di perguruan tinggi antah-berantah. Yang penting, ijazah sampai di tangan. Para pengajar itu juga akan tergoda mendatangi pabrik gelar pascasarjana karena penyandang gelar S-2 mendapat poin tinggi, 325.
Upaya-upaya ini memang belum ada buktinya, tapi Fasli Jalil berharap hal itu jangan sampai terjadi. ”Baik kepala sekolah maupun guru akan mendapat sanksi berat jika melakukannya. Jika keterangan yang diberikan tidak benar, sertifikasinya akan dibatalkan,” ujarnya.
Bila guru, tokoh yang digugu dan ditiru, sudah berlaku curang seperti ini, bagaimana pula muridnya?
Yudono, Zed Abidien (Mojokerto), Imron (Solo), Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo