Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Buku sastra berbahasa Batak Parhutahuta Do Hami menjadi salah satu pemenang Hadiah Sastera Rancage 2025.
Tidak tiap tahun Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan penghargaan kepada sastra Batak karena bukunya langka.
Sastra Batak dan kesenian lain tidak bisa terlepas dari ritual upacara adat.
BUKU sastra berbahasa Batak berjudul Parhutahuta Do Hami (Kami Orang Kampung) menjadi salah satu pemenang Hadiah Sastera Rancage yang diumumkan di Bandung, Jawa Barat, pada Jumat, 31 Januari 2025. Penulisnya, Panusunan Simanjuntak, 83 tahun, menghimpun 122 cerita pendek dan puisi yang ia buat sejak 2014 hingga menjelang diterbitkan pada 2024 setebal 278 halaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada buku keduanya yang berbahasa ibu itu, dia meracik aneka kisah, seperti burung pipit yang kelaparan karena tanaman padi berkurang, perempuan penenun kain ulos di Simalungun, juga pengalaman ketika pulang kampung bersama cucu. “Semuanya mengalir begitu saja dengan bahasa Batak Toba yang masih menempel di kepala,” kata Panusunan, Selasa, 11 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu juga ketika dia mulai menulis puisi dengan bahasa sukunya setelah kangen kampung halaman. Saat itu, pada 2002, Panusunan pensiun sebagai jurnalis di BBC Inggris sejak bergabung pada 1989. Unggahan puisi pertamanya berjudul Bona Ni Pinasa (Pohon Nangka) di akun Facebook, yang mendapat tanggapan positif, membuatnya bersemangat merangkai larik sajak.
Hingga pada 2017 Panusunan menandai usia 75 dengan menerbitkan 75 karya puisi berbahasa Batak berjudul Bangso nu Jugul Do Hami (Kami Bangsa yang Gigih) setebal 150 halaman. Buku pertamanya itu dinobatkan juri sebagai pemenang Hadiah Sastera Rancage 2018. “Sekarang masih bertanya-tanya mau menulis apa lagi,” ujarnya.
Untuk sementara, tebersit rencana untuk menulis ulang bukunya yang berjudul Beragam Cerita dari Perjalanan Kewartawanan ke Mancanegara setebal 254 halaman terbitan 2014 dengan bahasa Batak. Adapun buku lain berjudul Membangun Rasa Percaya Diri yang menceritakan sepuluh tahun pertama keberadaan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di Bandung terbitan 1988 setebal 205 halaman. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Inggris.
Panusunan Simanjuntak lahir pada 23 Mei 1942 di Huta Huraba, Sarulla Pahae Jae, Tapanuli Utara. Dia menjadi guru sekolah dasar di Tanjungkarang, Lampung, pada 1963 setelah lulus Sekolah Guru Atas Negeri Medan 1962. Dia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Publisistik (PTP) Jakarta hingga lulus pada 1970. Panusunan kemudian menjadi jurnalis di Kantor Berita Nasional Indonesia Jakarta (1972-1974), kemudian reporter Radio Arief Rachman Hakim ARH Jakarta, wartawan Indonesia Times, editor koran Ekonomi Neraca, serta jurnalis dan penyiar radio BBC Siaran Bahasa Indonesia di London, Inggris.
Juri sastra Batak, Hotma Barita Parsaulian alias Rita Sihite, 65 tahun, mencatat sejumlah kelebihan cerita-cerita pendek Panusunan. Ia menilai penulisnya terampil dalam menyusun kata dengan teliti, terstruktur, menarik, dan berbobot, dengan bahasa Batak yang baku. Isi tulisannya pun sanggup menampilkan dinamika dan perspektif dunia sastra Batak saat ini lewat cerita pendek, juga sarat akan informasi, saran, pengetahuan, dan perkembangan teknologi. “Kewartawanannya itu kuat sekali. Secara keseluruhan, tulisannya bagus,” ucap Rita, Senin, 10 Februari 2025.
Selain itu, serangkaian cerita pendek Panusunan tetap mempertahankan tatanan kebiasaan tradisi adat istiadat Batak walaupun ia cukup lama tinggal dan bekerja di luar negeri. Saat proses penjurian, karya Panusunan bersaing dengan tiga buku berbahasa Batak lain. Penulis Lince Risilawaty Nainggolan mengirim dua novel karyanya terbitan 2023 dan 2024 yang berjudul Monik dan Bunga Harotas. Sementara itu, Saut Poltak Tambunan menyodorkan buku kumpulan cerita pendek Parumaen Di Dainang.
Rita, yang berlatar pendidikan dan profesi seni musik, menjadi juri sastra Batak sejak 2015. Penilaiannya dilakukan sejak buku-buku sastra berbahasa daerah dikirim panitia. Dibanding karya prosa seperti novel dan cerita pendek, karya puisi membuatnya lebih tertantang. Rita harus bekerja ekstra keras untuk memahami maknanya yang dalam.
Beberapa kali dia juga menemukan kata yang baru diketahuinya. Setelah membuka kamus, penulisnya ternyata menggunakan bahasa Batak kuno yang sudah jarang dipakai, misalnya pada peribahasa dan pantun. “Saya juga tanya ke ketua-ketua adat supaya enggak salah mengartikannya.” Ia bertemu dengan mereka dalam pertemuan seperti saat acara pesta pernikahan adat Batak. Rita datang sambil membawa buku. Sesuai dengan kode etik, juri dilarang berhubungan atau bertanya langsung kepada penulis soal maksud atau arti diksi tertentu dalam karyanya.
Pada satu dekade lalu, untuk pertama kalinya panitia Hadiah Sastera Rancage menilai kekaryaan sastra Batak. Pemenang awalnya adalah Saut Poltak Tambunan, yang menerima hadiah bersama sastrawan daerah lain di Bandung pada 22 Agustus 2015.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi saat itu mengatakan ada lima judul buku sastra Batak terbitan 2012-2014 yang harus dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah Sastera Rancage. Kelima buku itu karya Saut Poltak Tambunan, yang selama 40 tahun menjadi pengarang berbahasa Indonesia, sebelum akhirnya menulis dalam bahasa ibu, Batak Toba. Karya juara Saut adalah novel Si Tumoing: Manggorga Ari Sogot dan Si Tumoing: Pasiding Holang Padimpos Holong.
Yayasan Kebudayaan Rancage ketika itu ikut pula mengganjar seorang Belanda warga Indonesia dengan penghargaan di bidang jasa sastra Batak. Dia adalah Leonardus Egidius Joosten, 72 tahun, pastor paroki gereja Santo Fransiskus Asisi Brastagi. Di sela aktivitas gereja, ia menulis buku-buku, seperti The Old Batak Society (1992), Samosir Selayang Pandang (1993), De Oud Batakse Samenleving (1996), dan Samosir: Silsilah Batak (1996). Selain itu, ia membangun dua museum kebudayaan lokal di Brastagi dan Pangururan.
Karya fenomenal Leonardus adalah menerjemahkan kamus bahasa Toba-Bataks-Nederlands Woordenbook karya Johannes Warneck dari bahasa Belanda menjadi Kamus Batak Toba-Indonesia pada 2001. Tebal kamus itu sekitar 500 halaman dengan memuat tak kurang dari 50 ribu kata.
Pada 2016, karya sastra Batak terbaik adalah kumpulan cerita pendek berjudul Ulos Sorpi (Kain Ulos Terlipat) karangan Rose Lumbantoruan. Selanjutnya, pada 2017, pemenangnya adalah Tansiswo Siagian dengan kumpulan cerita pendek Sonduk Hela. Setelah Panusunan Simanjuntak menjadi pemenang lewat kumpulan puisinya Bangso nu Jugul Do Hami pada 2018, berikutnya Robinson Siagian pada 2020 dengan judul karya Guru Honor, lalu Ranto Napitupulu saat 2022 lewat buku berjudul Boru Sasada.
Lalu, pada 2023, Saut Poltak Tambunan kembali menjadi pemenang lewat novel berjudul Boan Ahu Mulak (Bawalah Aku Pulang). Kisahnya tentang anak Batak generasi milenial yang memandang adat sebagai sesuatu yang anakronis, ketinggalan zaman, dan penghambat langkah untuk maju.
Selama menjadi juri, Rita melihat semua karya berupa novel, cerita pendek, dan puisi berbahasa Batak yang dikirim penulisnya kepada panitia penghargaan Hadiah Sastera Rancage selalu berbasis atau berkaitan dengan tradisi. “Sastra ini tidak terlepas dari kearifan lokal, adat istiadat, ritual, dan kebiasaan di masyarakat Batak,” ujarnya.
Guru besar tetap antropolinguistik pada program studi S-3 Linguistik dan pengajar mahasiswa S-1 Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan, Robert Sibarani, juga mengakui sastra Batak dan kesenian lain tidak bisa terlepas dari ritual upacara adat. “Setiap upacara adat ada kombinasi bahasa sehari-hari dengan sastra, nyanyian, musik, dan tarian,” tutur Robert ketika dihubungi Tempo pada Selasa, 11 Februari 2025.
Keseniannya yang muncul bukan untuk seni, melainkan demi ritual adat. Adapun kesusastraan bagi orang Batak, menurut Robert, tergolong baru. Tidak ada temuan naskah lama Batak yang menulis sastra, tapi pengobatan tradisional disertai pantun atau mantra, silsilah, serta kosmologi. Umur naskah kuno itu, kata dia, sekitar 150 tahun. Adapun aneka kisah, dongeng, mitos, diwariskan antargenerasi secara lisan. “Cerita yang (bertahan) hidup itu selalu memiliki nilai budaya dan norma sosial yang berlaku sebagai kearifan lokal,” ucapnya.
Selama sepuluh tahun terakhir, tidak setiap tahun sastrawan Batak memenangi Hadiah Sastera Rancage. Penghargaan ini pernah luput tiga kali: pada 2019, 2021, dan 2024. Menurut panitia Apipudin, buku sastra Batak yang dikirim setiap tahun jumlahnya tidak menentu, dari satu sampai paling banyak enam judul. Adapun syaratnya, juri minimal harus menilai tiga buku agar ada pembanding yang cukup. Jika hanya satu atau dua buku yang masuk, juri tetap akan menilainya untuk penghargaan tahun berikutnya sambil menunggu tambahan buku baru.
Penerimaan buku sastra daerah dibuka sejak Januari hingga November dengan tahun terbitan dalam kurun waktu setahun sebelum waktu pengumuman. Jumlah buku yang dikirim minimal tiga eksemplar per judul karya. “Kami juga ikut mencari bukunya, bertanya ke sastrawan daerah dan penerbit mungkin ada yang selama ini terlewat,” kata Apip. Kemungkinan terlewat itu karena bisa jadi buku-buku sastra daerah dicetak oleh penerbit kecil dan jumlahnya sedikit sesuai dengan dana yang dimiliki.
Syarat lain adalah penulis bukunya harus tunggal, bukan karya kolektif, dan karya sastranya sejauh ini wajib berbentuk buku cetak atau fisik. Adapun jumlah cetakan bukunya per judul, menurut Apip, sebelumnya sempat dipatok minimal 100 eksemplar, tapi belakangan dilonggarkan. Walau begitu, jumlah buku baru sastra Batak setiap tahun masih seret. Beberapa pemenang Hadiah Sastera Rancage, menurut Apip, kemudian seperti menghilang. Sementara itu, penulis generasi mudanya masih langka. “Yayasan Rancage sudah menekankan ke penulis daerah agar para pemenang ikut membina penulis muda,” tutur Apip.
Masalah regenerasi penulis sastra Batak ini, menurut Panusunan Simanjuntak, telah lama menjadi kepedulian. Bersama Saut Poltak Tambunan, misalnya, mereka ikut dalam banyak grup media sosial sebagai wadah untuk berbagi dengan penulis yang usianya lebih muda. Namun sejauh ini hasilnya belum memuaskan. Beberapa ada yang perlu didorong karena bakat menulisnya sudah terlihat. “Kami merasa gagal menghadirkan penulis-penulis muda,” ujar Panusunan.
Kendalanya, seperti juga di daerah lain, jumlah pengguna bahasa ibu terus tergerus. Di sisi lain, pembuatan karya sastra berbahasa daerah dinilai harus terus berkelanjutan demi memelihara budaya, adat, tradisi, serta kearifan lokal. Mereka berharap pemerintah dan sekolah bisa mengajarkan bahasa daerah di kelas agar kelak tidak punah.●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo