Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Alternatif dari Film Gay dan Lesbian

Teater Utan Kayu memutar film-film tentang gay dan lesbian. Sineas dari berbagai negara memperlihatkan bagaimana gay dan lesbian didiskriminasi.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Max dan Ely, Maurice dan Clive, Kia dan Evy.... Kenapa mereka harus bercinta dalam gelap? Apa yang salah dalam cinta? Siapa yang menentukan seorang lelaki harus berpasangan dengan lelaki?

Gugatan itu, sepanjang sejarah hidup manusia, semakin terbuka—terutama dari apa yang tampil dalam "Pekan Film Gay dan Lesbian" yang diselenggarakan pekan silam di Teater Utan Kayu.

"Inggris adalah negara yang cenderung menolak apa pun yang dianggap sebagai sifat alamiah manusia," demikian kata sang dokter yang mencoba "menyembuhkan" Maurice (James Wilby) dari kecenderungan homoseksualitas itu. "Atau kau pergi ke Italia, Prancis, atau Amerika, tempat homoseksualitas bisa lebih diterima," ujarnya mencoba menuang rasa simpati.

Homoseksualitas (gay dan lesbianisme) bagai hidup "bergerilya" di dalam terang atau hidup terang-terangan di dalam gelap. Maurice, dalam film Maurice—dibuat berdasarkan karya sastra E.M. Forster—arahan sutradara James Ivory, adalah sebuah contoh sosok gay yang harus melalui siksaan batin di sebuah masyarakat Inggris awal abad ke-20 yang masih terkungkung dengan sistem strata yang kuat, teratur, dan linier.

Maurice Hall, mahasiswa Oxford, bertemu dengan Clive (Hugh Grant) di kampusnya—di saat perempuan masih belum boleh bergabung dengan universitas yang prestisius itu—dan saling jatuh cinta. Tentu saja percintaan itu hanya bisa terjadi dalam kegelapan. Homoseksualitas bukan hanya memalukan dan menjijikkan bagi masyarakat Inggris abad itu, tapi hubungan itu juga dianggap sebagai sebuah tindak kriminal. Viscount Risley, kawan sekampus Maurice dan Clive yang juga seorang gay, terjebak oleh polisi dalam situasi bermesraan.

Clive tak mampu menyangga tekanan masyarakat. Dia memutuskan mengkhianati nuraninya dan menikah dengan seorang perempuan, Anne Woods. Sedangkan Maurice tetap setia menjalani hidupnya sebagai gay.

Sementara Maurice dan Clive tak mampu menampilkan identitasnya, Ely dan Max dalam film Go Fish karya Rose Troche adalah pasangan lesbian di AS yang mampu hidup tanpa kemunafikan. Film hitam-putih yang dibuat dengan gaya dokumenter ini—dengan narasi dan wawancara—tidak hanya memperlihatkan sebuah hubungan yang tulus dan mengharukan, tapi juga menampilkan sensualitas dari hubungan antarmanusia. Diperankan, ditulis, dan disutradarai oleh Rose Troche, film Go Fish juga mencapai titik ekstrem di mana kelompok lesbian itu mengungkapkan pemikiran mereka tentang hubungan heteroseksual. Mereka yang "mengkhianati" nurani—dengan "bertualang pacaran" dengan lelaki—akan diadili karena mengkhianati identitasnya sebagai lesbian.

Saya kira, Go Fish adalah salah satu film dari banyak film lesbian dan gay yang tak ragu menyatakan identitasnya sebagai sesuatu yang wajar dan normal, bukan sebagai kelompok yang perlu ditakuti atau dihujat.

Film lainnya, rata-rata, menunjukkan derita dan suka-duka gay dan lesbian yang hidup dalam kungkungan masyarakat yang munafik: film Strawberry and Chocolate karya Tomas Gutierrez dan Juan Carlos Tablo, Heavenly Creatures karya Peter Jackson, dan The Incredibly True Adventure of Two Girls in Love. Meski diungkapkan dengan gaya humoristis—kecuali Heavenly Creatures—sesungguhnya film-film itu menyajikan tragedi manusia.

Film Strawberry and Chocolate—diproduksi oleh Robert Redford dan Miramax Film—bercerita tentang seorang seniman bernama Diego di Kuba yang jatuh cinta pada seorang lelaki heteroseksual, aktivis komunis di kampusnya. Ramuan persoalan politik, perbenturan ideologi (komunisme-kapitalisme), gaya hidup (membaca majalah Time dan minum anggur impor), serta pertentangan orientasi seksual (homoseksual-heteroseksual) itu menjadi menarik karena mereka bisa bersahabat—meski diawali dengan kecurigaan—dan menyayangi tanpa harus menjadi sepasang kekasih.

Tapi Strawberry and Chocolate menjadi sebuah tragedi karena tokoh homoseksual adalah mereka yang kalah. Pameran Diego dilarang, ia tergeser dan tak mudah mendapatkan pekerjaan, dan akhirnya ia terpaksa pindah ke AS, meski ia sangat mencintai Kuba sebagai tanah airnya.

Hidup dalam kemunafikan atau hidup mengikuti nurani adalah dua pilihan untuk kaum homoseksual di negara mana pun. Clive dalam film Maurice memilih untuk hidup dalam kemunafikan, sedangkan tokoh seperti Maurice atau Diego memilih untuk mengikuti nuraninya.

Potret dan citra gay dan lesbian dalam film-film Hollywood sebetulnya tak mengalami banyak perubahan. Demikian yang dituturkan dalam film dokumenter Celluloid Closet, karya Rob Epstein dan Jeffrey Friedman, yang dibuat berdasarkan buku karya Vito Russo. Inilah film yang secara komprehensif menampilkan potret gay dan lesbian dalam sejarah perfilman Hollywood.

Seperti yang diutarakan aktris Lily Tomlin—narator film ini—di awal 1930-an, film yang menampilkan tokoh gay atau lesbian cenderung menampilkan mereka sebagai sosok yang "sakit" dan hina, sebagai badut yang perlu ditertawakan. Mereka tampil sekelebat tanpa pengumuman akan identitas atau orientasi seksualitasnya. Tapi, dari penampilan yang stereotip, "penonton seakan sudah paham". Dekade demi dekade, meski gay dan lesbian mulai mengambil porsi yang lebih besar, potret mereka tak kunjung berubah.

Seperti yang pernah diutarakan kritikus film majalah The Rolling Stone, Peter Travers, film independen yang secara sinematik sangat bagus tapi tampil dengan tema "kontroversial" biasanya akan tersingkir dari seleksi juri Academy Awards. Tentu saja bukan hanya film bertema gay-lesbian yang didiskriminasi, tapi juga film-film yang menekankan penderitaan Afro-American (orang Amerika kulit hitam), seperti karya Spike Lee, atau karya-karya yang biasa disebut sebagai karya "alternatif".

Film-film Inggris karya Stephen Frears yang dibuat berdasarkan novel-novel Hanifh Kureishi, seperti My Beautiful Laundrette dan Sammy and Rosie Get Laid, adalah jenis film yang tak akan dilirik sedikit pun oleh studio besar Hollywood ataupun juri Academy Awards. Selain film-film itu menunjukkan kehidupan gay dan lesbian dengan sikap yang casual, terlalu banyak bagian yang kontroversial bagi konservatisme AS, misalnya gugatan terhadap hubungan rasial dan sikap patriarkis negara.

Mungkin itu sebabnya lahirlah berbagai wadah yang kemudian menjadi alternatif bagi para pembuat film, seperti Festival Sundance—didirikan oleh Robert Redford—yang biasanya menjadi ajang sineas muda yang berbakat, atau festival film gay dan lesbian yang mencoba menampilkan tema gay dan lesbian sebagai alternatif.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus