Pesta bukanlah budaya baru," ujar Sarlito Wirawan, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dalam setiap generasi, budaya pesta menemukan bentuk dan gaya sendiri. Toh, muncul pertanyaan: dampak apa yang harus dibayar tatkala para remaja kian gemar berajojing di pesta-pesta funky sampai subuh?
Bagaimanapun, pesatnya promosi berbagai produk dan gaya hidup sudah pasti punya peran dalam mendorong sikap konsumtif edan-edanan di kalangan remaja. Padahal, para produsen yang mengarahkan produknya ke pangsa tertentu mengemasnya secara menarik.
Psikolog Sartono Mukadis mengaku prihatin bila remaja berduyun-duyun menghadiri keriaan—khas metropolitan—ini tanpa memahami tujuannya. Katanya, kalau mereka hadir karena ada penyanyi dan musik yang hebat, oke. Tapi, kalau alasannya trend atau simbol status, ini menjadi sangat menyedihkan dan merugikan. Mengapa? "Sikap ini akan melahirkan sebuah angkatan yang tidak kompetitif, yang medioker, dan bukan achiever," ujar ayah dua anak ini. Sikap hedonisme membuat remaja juga cenderung memberhalakan hasil, tidak menghargai proses, dan ingin meraih segala sesuatu secara seketika. Mereka juga tidak mengenal pilihan—lupakan soal prioritas. Dengan demikian, mereka akan sama bersemangatnya bila diajak pesta gila-gilaan atau tawuran atau menjadi generasi bodoh.
Itu bukan berarti kita harus meninggalkan optimisme. Menurut Sartono, proses ini, kendati pahit, tetap harus dilewati dan tetap dapat diperbaiki. Sikap orang tua yang tidak mendewakan simbol status dan menekankan pendidikan pekerti akan membantu lahirnya sebuah generasi yang bukan hanya mampu menikmati trend, tapi juga akan bisa menikmati manfaat sebuah trend tanpa perlu tenggelam dalam arus yang sungguh
HYK dan Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini