Sekali menggasak kredit kakap, seumur hidup dia sulit dipercaya. Sebagian pengutang kakap, yang menghabiskan isi lemari bank-bank pemerintah sampai triliunan rupiah, adalah contoh mereka yang sulit dipercaya itu. Sampai akhir pekan ini, dari 20 pengutang kakap yang bermasalah, ada empat perusahaan dari tiga grup "gajah" yang membandel—mereka masuk kategori tidak kooperatif.
Di luar "empat perusahaan bandel" tadi, masih ada beberapa perusahaan yang asetnya tak jelas lagi atau masih dalam sengketa. Padahal, tenggat penyelesaian utang tinggal sebulan. Jika tidak ada solusi atas utang macet mereka, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) segera bertindak. BPPN bisa merestrukturisasi utang perusahaan itu, bisa menukar utang dengan saham (debt to equity swap), dan bisa juga malah memberikan pinjaman lunak. Andaikata buntu? Ya, dibawa ke pengadilan atau disita hartanya.
Empat perusahaan bandel itu adalah Inter Petrindo Inti Citra (Prajogo Pangestu), Putra Surya Multidana dan Putra Surya Perkasa (keluarga Gondokusumo), serta Tirtamas Majutama (Hashim Djojohadikusumo). Yang tak jelas asetnya antara lain kelompok Mantrust (Gerak Maju, Tuwuh Agung, dan Bali Raya). PT Timor bisa juga dikategorikan punya aset yang bermasalah. Yang lain kebanyakan asetnya tak bakal cukup untuk menutupi utangnya.
Celakanya, walau semua pemilik usaha itu meneken surat kesanggupan membayar utang (letter of commitment), utangnya sendiri sulit diutak-atik. Chandra Asri, misalnya. Pabrik petrokimia ini memang sudah berdiri dan beroperasi meski masih merugi. Cuma, para pemegang sahamnya tak bisa dipegang. Setidaknya ada tiga pemegang saham Chandra Asri yang masuk daftar 26 debitur yang tidak kooperatif, yakni Inter Petrindo Inti Citra, Staco Arta Karya, dan Estika Yasa Kelola. Total jenderal, utang ketiganya mencapai Rp 2,2 triliun. Kalaupun Chandra Asri meneken kesanggupan membayar utang, asetnya tak lebih dari Rp 1 triliun. Artinya, BPPN tak bisa tidak harus mengambil alih Chandra Asri tanpa perlu menyisakannya buat pemegang saham lama.
Sedangkan Timor Putra Nasional punya masalah lain. Perusahaan milik Hutomo Mandala Putra ini kini sedang diperebutkan antara BPPN dan Direktorat Jenderal Pajak. Hebatnya lagi, tagihan mereka masing-masing ke Timor lebih dari Rp 3 triliun. Padahal, nilai asetnya mungkin tak sampai Rp 3 triliun.
Kasus Putra Surya Perkasa (PSP) tak kalah pelik. Perusahaan ini menyimpan bom waktu berupa tanah sengketa seluas 272 hektare di Desa Hambalang dan Tangkil, Citeureup, Bogor. Tanah yang diakui milik PSP itu, menurut L.T. Marpaung, kuasa hukum Himpunan Purnakarya Karyawan Pertamina (Himpana), sudah dimiliki anggota Himpana sejak 1981. Tapi tiba-tiba buldoser PSP menggilas batas-batas tanah itu hingga rata, sejak 1992, dan berdirilah puluhan rumah mewah Permata Sentul dan juga lapangan golf. Himpana sudah mengadukan masalah ini ke Kejaksaan Agung. Sebab, berdasarkan sertifikat aspal, PSP bisa memperoleh kucuran kredit dari BNI senilai US$ 50 juta dan dari konsorsium BNI-BBD-BTN senilai US$ 20 juta.
Juru bicara PSP, Robert Puang, mengatakan bahwa kasus ini sudah lama ditutup karena Himpana tak bisa menunjukkan batas kepemilikannya. Tapi Himpana sendiri sebetulnya sudah mengantongi penetapan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bogor bahwa tanah itu status quo. Direktur Bidang Korupsi Kejaksaan Agung, Bismar Mannu, menegaskan bahwa penyelidikan kasus itu belum ditutup karena memang ada indikasi korupsi. Kalau ternyata klaim Himpana benar, pemilik atau pemegang saham PSP harus masuk bui.
Utang macet Hashim Dojohadikusumo ruwet. Dari Tirtamas Majutama saja, tunggakan putra ekonom Sumitro Djojohadikusumo ini mencapai Rp 1,6 triliun dari utang pokok Rp 598 miliar. Itu belum termasuk utang Tirtamas Comexindo dan PT Semen Cibinong. Hashim juga punya tanggungan pembayaran aset bank-bank beku operasi (Pelita dan Istismarat). Menurut sumber TEMPO, pilihan bagi Hashim memang tak banyak, yakni mencari selamat dengan mencari investor baru. "Kalau mendapat investor, Hashim mungkin bisa selamat," katanya. Kalau tidak, ya tutup buku, dan Hashim boleh mengucapkan "selamat tinggal dunia bisnis."
BPPN kelihatannya masih harus bekerja keras. Apalagi, seperti kritik pengamat perbankan Pradjoto, lembaga itu sejak awal tidak memisahkan mana pengutang yang kolaps karena krisis dan mana pengutang yang niatnya memang sontoloyo. Kini, ketika waktu penyelesaian utang makin mepet, BPPN perlu tegas: seret yang nakal ke pengadilan.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Henriko L. Wiremmer, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini