Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggung terasa aneh untuk sebuah pertunjukan rock. Di antara alat musik yang memenuhi panggung, terdapat lampu-lampu vas tua. Lampu itu ada yang diletakkan di meja antik dekat piano. Dari keremangan muncul sosok lelaki ganjil berjas, berdasi, bertopi hitam. Ia mengenakan topeng berbentuk tank. Ia seperti gelisah. Tiba-tiba serentak kap-kap lampu menyala. Dan mulailah mengalun musik dengan warna psychedelic.
Itulah pertunjukan Zeke and the Popo. Dari semula pertunjukan terasa alternatif. Malam itu di ruang teater Goethe yang sempit mereka memainkan lagu-lagu dari album yang dirilis pada November lalu: Space in the Headlines. Sosok bermuka tank yang dimainkan performer Agoes Jolly itu adalah ikon yang menjadi gambar sampul album tersebut. Ikon seorang profesor, seorang pembunuh.
Inilah band yang diperhitungkan di kalangan indie. Ada yang menganggap musik mereka bagai Beatles sakit. Memang lagu-lagu mereka terasa sangat personal. Harris Kaseli, anak Agum Gumelar—yang menamakan dirinya Zeke itu—adalah pencipta seluruh lagu. Ia memainkan piano dengan not-not miring, ia bermain gitar, melantunkan lagu-lagu dengan lirik perih. Tentang gadis yang ingin bunuh diri, tentang perempuan yang menunggu pacarnya dengan segelas Cappuccino, tentang band sirkus yang akan main di kota kecil, tentang seorang lelaki yang dicurigai polisi, tentang aku yang resah.
Zeke and the Popo (ZATPP) digagas Harris dan Leonardo Ringo pada 2003. Mereka lalu menggaet gitaris Iman Fattah, putra basis Godbless, Donny Fatah, yang di kalangan band anak muda dikenal suka mengeksplor bunyi-bunyi eksperimental tahun 1970-an. Mulanya mereka menggarap sound track film.
Rata-rata aransemen mereka bersuasana ”murung”, menyeret kita ke dunia antah berantah. Komposisi musik mereka bagai datang dari dunia kamar seorang introvert. Datang dari seorang penyendiri yang sering mengkhayal tentang alter ego dan memiliki sahabat imajiner yang mau mendengar sepenggal solilokui. Atau menyuarakan alam pikiran seorang kesepian, yang terjerembab bad mood. Mengingatkan spirit band avant garde yang mengeksplorasi gejolak dunia bawah sadar. Sesekali mengingatkan pada Radio Head, Velvet Underground, atau Pink Floyd periode awal, era Syd Barret.
”Kami semua suka Beatles,” kata Zeke. Ia pribadi mengaku terpesona pada band baru dari Inggris seperti The Coral. Akan halnya Leo: ”Saya pecinta Bowie. Terutama masa-masa Bowie berkolaborasi dengan Brian Enno.”
David Bowie, kita tahu, setelah tinggal di Berlin tahun 1970-an bersama Brian Enno, menghasilkan trilogi: Low, Heroes, Lodger. Menurut Leo, itu periode yang paling eksperimental dalam sejarah musik Bowie. ”Saya suka bagaimana mereka mengolah nada-nada rendah dan minimalis.” Akan halnya Iman tertarik pada suara blues Inggris lama ”Itu menjadi referensi eksplorasi saya,” katanya.
Bersatu, mereka menggabungkan visi. Sepakat menghasilkan bunyi-bunyi ”lain” dari dunia analog bukan rekayasa digital. Aransemen mereka, ditambah Yudi pada bas dan Amir pada drum malam itu penuh variasi: suara sinyal, bunyi-bunyian gitar yang sengau, lalu suara looping, feedback. Mereka mengolah sound tahun 1970-an British vintage rock menjadi sesuatu yang cocok untuk urban masa kini. Tidak retro, nostalgia ke masa lalu. ”Eksplorasi sound mereka berani,” kata Andy Julias, pengamat musik, Ketua Indonesia Progressive Society. Itu membuatnya, sebelum ini, sampai dua kali menghadirkan Zeke and The Popo tampil pada ajang bulanan penggemar musik progressive rock Jakarta.
Aksi panggung mereka seolah acuh tak acuh. Zeke menyanyi tanpa menerangkan judul lagu. Membiarkan Agoes Jolly bergerak sendiri. Membiarkan video di layar yang menampilkan potongan percakapan teman-teman mereka, dokumen sosial, menyala terus. Mereka seperti tidak peduli. Leo, yang mengenakan kaca mata hitam, ekspresinya saat memetik gitar cukup atraktif. Kadang tangannya memainkan efek ampli. Dan Iman—terlihat pendiam, tidak tampak garang mencabik gitar fender stratocaster-nya—terlihat sibuk memberikan aksentuasi suara Zeke dengan warna kocekan yang pas.
Kecintaan mereka mengeksplor sound 1970-an tidak sebatas konsep, tapi juga pilihan instrumen bahkan ampli. Sedari awal, penonton melihat di panggung, ada gitar tua, ampli tua. Juga organ Hammond—yang sering dipakai grup rock tahun 1970-an. ”Saya sengaja memakai gitar produksi 1960-an,” kata Zeke. Ia membawa gitar Leslie, Gibson, Ricky Baker 1963-65-an.” Suaranya itu khas, lebih kotor, raw, kasar dibanding gitar sekarang,” kata Leo.
Leo ingat suatu kali ia ke Singapura, melewati sebuah toko bekas, perhatiannya tertumbuk pada sebuah gitar kuno. Gitar itu berharga S$ 100. Cukup murah. Ia membeli, dan memperbaikinya di Jakarta. Dan kemudian, suatu kali, ketika dalam sebuah latihan ia bertemu Abadi Soesman, yang mengagetkan dia Abadi malah bertanya, ”Dijual enggak?” ”Dari Abadi saya malah tahu merknya Telsco Del Rey. Ini gitar tua yang andal.”
Menurut mereka, karakter instrumen lama tersebut cocok dengan komposisi gelisah mereka. Simak misalnya lagu Firs Act Gun, suara rhythm guitar yang menjadi latar bunyi piano yang mengeluarkan nada seperti musik yang mengiringi sirkus terasa klop. Atau Hope Killer yang menjadi sound track film Kala karya Joko Anwar.
”Ini berkisah tentang seorang yang datang ke sebuah kota kecil. Pada saat itu di kota terdapat pembunuhan berantai. Sang pembunuh selalu meninggalkan kartu nama Hope Killer. Orang asing itu lalu dicurigai,” kata Zeke. Ia ingin mengatakan, kini masyarakat mudah menuduh orang berdasar tampangnya saja. ”Saya suka karena lagu itu kontemplatif,” kata Joko Anwar, ketika ditanya mengapa ia memilih lagu tersebut untuk ilustrasi Kala. Bukan hanya di Kala, di Janji Joni ia menampilkan lagu ZATPP berjudul 1.1 Trillion Wood Cutters, sebuah lagu yang diakhiri dengan senandung Tut… tut… tut… tuttt.
Semua lagu ZATPP dinyanyikan dalam bahasa Inggris. Tiga lagu berlirik Indonesia adalah Profesor Komodo, History Frequency, Dukung TV Lokal. Prof Komodo lagu yang dibuat tiga versi. Dibuat Zeke di apartemennya di Seattle pada 1996. Seperti lagu-lagu Inggrisnya, lirik lagu-lagu Indonesia ini juga unik. Simak lirik: History Frequency: Frekuensi itu pembunuh dan penyembuh… bila malam tlah datang. Dia datang plan2….
Ada kalanya ZATPP menyelipkan soundscape, suara seperti orang bercakap. ”Pernah Leo pacaran, kita rekam sembunyi-sembunyi, lalu kita masukin lagu,” kata Zeke tertawa. Ia menyebutnya dirty tape. Ke depan untuk menambah eksplorasi mereka berniat memburu instrumen-instrumen lama. Untuk itu mereka aktif membaca iklan di koran. ”Asyik juga, ya, bisa menggunakan mellotron kayak King Crimson, suatu kali,” kata Zeke. Mellotron adalah keyboard sample-playback—yang bersama Hammond menjadi trade mark grup progressive rock tahun 1970-an, karena berbagai macam suara dapat diolah di situ.
Tahun ini ZATPP merencanakan album baru. Sudah empat lagu disiapkan. Dan kembali direkam Black Morse, sebuah label indie yang memproduksi album mereka kini. Mereka mahfum, karakter musik mereka masih tak menarik label mayor. Tapi mereka yakin, distribusi akan berhasil. Sebab, pada tiap gig album mereka laris. Bahkan sebuah premium pack berbentuk paket Pizza, yang berisi: CD, pin, T shirt, stiker, poster yang mereka buat hanya 1.000 buah, dan mereka jual Rp 80 ribu sebuah, semuanya ludes.
”Menu…, Menu,” teriak seorang penonton, meminta Zeke menyanyikan lagu berjudul Menu yang berkisah tentang perempuan di bar Lazy Moon, tengah memesan kopi. Menandakan lagu mereka dikenal komunitas indie. Menyaksikan pertunjukan malam itu bagai mendengar visi lain musik Indonesia. Musik pop Indonesia butuh keberanian melakukan anomali demikian.
Masih belum terbukti bahwa mereka akan setia terus mengeksplor dunia subyektif seperti itu. Tapi, melihat aplaus meriah, remaja dan anak-anak muda yang memadati Goethehaus, mereka agaknya yakin, musik psychedelic mereka, yang berbicara tentang alienasi dan fantasi muram, memiliki ceruknya sendiri.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo