HARAPAN Bupati Malang R. Soewignyo belum kesampaian. Menteri
P&K tak bersedia meresmikan Kabupaten Malang, bertepatan dengan
Hari Pendidikan 2 Mei ini, sebagai daerah bebas tiga buta: buta
aksara, angka dan bahasa (Indonesia). Berdasarkan laporan aparat
Kanwil Dep. P&K Jawa Timur -- yang dalam minggu kedua April lalu
langsung mencek ke lapangan -- daerah tingkat II itu memang
belum bebas tiga buta.
Padahal, sistim pemberantasan tiga buta di Malang sudah boleh
dibilang efektif dan langsung mendapat perhatian Pemda setempat.
Sistim yang ditemukan oleh BAPPENKAB (Badan Pembitaan
Pendidikan Kabupaten) Malang pada 1976, mulai dicoba Agustus
tahun itu juga.
Semula sistim itu disebut pokjar (kelompok belajar) dan
Sidodadi, Kecamatan Lawang, digunakan sebagai pilot proyeknya.
Kemudian disebut kejar (kelompok belajar), mengikuti saran
Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (PLSPO),
yang tak hanya diIaksanakan di Kabupaten Malang. Tapi memang
Malang menemukan sendiri sistim itu. Kebetulan saja prinsipnya
sama dengan yang kemudian ditemukan Ditjen PLSPO.
Pada pokoknya sistim itu memang berbeda dengan sistim lama. Tak
lagi mengumpulkan 20-50 orang dalam satu ruangan kemudian diberi
pelajaran membaca dan menulis. Tapi dalam sistim kejar tiap
kelompok hanya beranggotakan 4-7 orang. Dan pengelompokan itu
pun ada dasarnya: umur yang tak jauh berbeda, tampat tinggal
berdekatan dan jenis kelamin. Tiap kelompok dipimpin seorang
tutor (pengajar) yang diambil dari daerah di mana kejar berada.
Dimulai dari Sidodadi, bertahap setap 4 bulan dikembangkan ke
seluruh Kawedanan, kemudian Kecartatan dan akhirnya ke
desa-desa. Dalam 2« tahun 411 desa di Kabupaten Malang memiliki
28.811 kejar.
Untuk menarik warga yang menderita tiga buta agar memasuki kejar
-- kecuali dengan Satgas (Satuan Tugas) tingkat Kabupaten, lalu
tingkat Kecamatan dan tingkat desa yang memberikan
penerangan-penerangan langsung -- ada juga bujukan menarik.
Seperti di desa Klampok, Kecamatan Singosari misalnya membuat
peraturan sendiri. Kata Carik Klampok: "Setiap warga yang minta
izin pernikahan, harus memiliki tiga syarat: bisa baca-tulis,
hafal Pancasila dan kalimat Syahadat."
Tapi pak Carik tak mengatakan, apakah selama ini pernah ada yang
dilarang menikah karena tak bisa baca dan lain-lainnya itu.
Lalu, bagi mereka yang tak mau ikut KPD (Kursus Pengetahuan
Dasar) -- nama lain dari kursus pemberantasan tiga buta -- atau
bermalas-malas, diwajibkan "menyetor batu kali satu meter
kubik." Bukan untuk pak Carik, tapi untuk membuat jalan desa.
Hasilnya memang ada. Menurut catatan resmi 374 warga Klampok
dari 388 yang menderita tiga buta, sudah bisa baca-tulis dan
hafal Pancasila.
Ada satu desa yang mengerahkan warganya dengan tenaga Hansip.
Hasilnya: beberapa penduduk di desa itu yang sempat ditemui
TEMPO memang bisa baca-tulis semua. Komentar Direktur PENMAS
(Pendidikan Masyarakat) Anwas Iskandar: "PENMAS tak menginginkan
bentuk pemaksaan. Tapi itu wewenang Pemda 'kan mereka yang
memegang operasionilnya."
Lalu kenapa dari 208.450 penduduk yang tiga buta hanya bisa
dibebaskan 181.166 -- menurut laporan BAPPENKAB, 9 April lalu?
"Ada yang sudah berumur 40 tahun ke atas tak bisa-bisa juga
membaca. Mungkin daya pikirnya sudah tak memungkinkan lagi,"
jawab Bupati Soewignyo.
Tapi ada sebab lain yang sempat dicatat Nadjib Salimdari TEMPO.
Misalnya Ibu Eming (40 tahun) pedagang pasar, masih tetap tiga
buta karena tak punya waktu meninggalkan dagangannya. Nasib yang
sama dialami Pak Atim (28 tahun) yang hampir setiap malam tidur
di pasar, menjaga dagangannya. Dan Jusuf (20 tahun) ternyata
lebih berat ikut pengajian setiap malam.
Harap dicatat, waktu belajar kejar malam hari, antara sekitar
jam 19.00 selama satu jam.
Ada lagi satu sebab, yang penting tapi memang susah
mengatasinya, ialah soal tutornya. Menurut ketentuan PENMAS,
tutor minimal harus lulusan SD. "Tapi memang sulit mencari tutor
yang memenuhi syarat, apalagi di desa pelosok," kata Anwas
Iskandar. Jadi, "pokoknya bisa baca-tulis dan berhitung, boleh
jadi tutor," kata drs Djoko Sutarmo, Sekretaris BAPPENKAB
Malang.
Pergaulan
Itulah sebabnya peningkatan dari KPD I ke KPD II seret. Kecuali
lulusnya peserta kejar tak serentak, yang pokok: mencari tutor
untuk KPD II memang repot. Rencana BAPPENKAB Malang Mei ini KPD
II akan mulai dijalankan.
Dari Dep P&K di Jakarta, lewat staf ahli Menteri diperoleh sebab
utama kenapa peresmian bebas tiga buta ditolak: bahasa Indonesia
bagi sebagian besar peserta kejar masih asing. Ini aneh. Buku
yang digunakan kejar Kabupaten Malang ada dua: Paket A dari Dep
P&K dan Waluyo Suliah kreasi BAPPENKAB Malang sendiri keduanya
berbahasa Indonesia. Tapi justru di situ barangkali letak
kesulitan paling besar bagi peserta kejar harus sekaligus
belajar membaca dan belajar berbahasa Indonesia. Dari Direktur
PENMAS memang ada penjelasan, banyak laporan dari daerah tentang
kesulitan belajar peserta kejar karena bukunya langsung
berbahasa Indonesia. Banyak yang meminta agar buku tersebut
ditulis dalam bahasa daerah saja. Harus diakui, bahasa pergaulan
sehari-hari di banyak daerah di tanah air kita ini masih bahasa
daerah. Jadi bagaimana? "Itu memang salah satu kesulitan kita,"
kata Direktur PENMAS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini