Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Masa depan dengan SIUPP

Tanggapan yang pro dan kontra tentang rencana perubahan undang-undang pokok pers, penghapusan sit diganti dengan siupp yang harus dimiliki perusahaan yang menerbitkan koran atau majalah. (md)

19 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA ini dunia persuratkabaran Indonesia mengenal lembaga SIT (Surat Izin Terbit). Ini ketentuan peralihan Undang-Undang Pokok Pers tahun 1966. Dalam rencana perubahan UU Pokok Pers yang disampaikan Menpen Ali Moertopo ke DPR, 1 Juni yang lalu, ketentuan tersebut akan dihapus. Kabar baik? Pelbagai reaksi sampai pekan ini masih terdengar. Sebab ternyata perusahaan pers nanti memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. SIUPP ini akan dikeluarkan oleh pemerintah, yakni Departemen Penerangan. "Ketentuan perizinan ini dilandasi dengan iktikad untuk mengadakan pembinaan yang lebih mantap dalam pengusahaan pers," kata Menpen Ali Moertopo di muka sidang DPR. Apa beda SIT dan SIUPP? "Seperti ganti kapstok saja, SIT tetap ada, cuma namanya lain," kata Prof. R.H.A. Soenarjo SH, Wakil Ketua Komisi III (Hukum) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menurut Gurubesar Ilmu Hukum IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu, sebaiknya lembaga yang berbau izin untuk media massa dihapuskan dalam segala bentuknya. "Kalau cuma ganti istilah, apa bedanya? " kata Suardi Tasrif SH, pengacara terkenal dan Ketua Kehormatan PUI Pusat. Menurut dia, pejabat akan bisa menolak permohonan SIUPP, dan pejabat itu tentu bisa juga membekukan dan mencabutnya. Kalangan editor tampaknya khawatir terhadap SIUPP. Antara lain Krisna Harahap SEI, Pemimpin Redaksi Harian Mandala, Bandung, berkata: "Pokoknya, bila ada pencabutan SIUPP, barangkali seluruh kegiatan perusahaan mulai dari penerbitan sampai anak perusahaan, bisa diberhentikan." "Itu ibarat ganti baju," kata Anwar Arif, Wakil Pemred Surabaya Minggu. Sedang bagi Drs. Muidin, Wakil Pemred Masa Kini, Yogyakarta, SIT atau SIUPP "sama-sama bisa memukul" penerbitan. Suwarno SH, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, Semarang, berkata: "Andaikata nanti SIUPP juga bisa dicabut, ya, tak ada bedanya antara SIT dan SIUPP." Dan Suwarno sependapat denan rekannya, Krisna Harahap tadi, bahwa justru SIUPP lebih berbahaya, langsung mengenai seluruh perusahaan dengan segala kegiatannya. Menurut Syamsuddin Manan BA, Pemimpin Redaksi Harian Mimbar Umum, Medan, SIT dan SIUPP sama saja "omong kosongnya." Sebab, katanya, meski selama ini UU Pokok Pers tak mengenal pembreidelan dan sensur, tetap ada saja himbauan untuk tak memuat suatu peristiwa. Dan rekannya, Ammary Irabi, Wakil Pemred Harian Waspada, sependapat bahwa kalau SlUPP dicabut, perusahaan akan tutup seluruhnya, karena "peraturannya sampai ke tulang sumsum. " Sementara itu, tajuk rencana Merdeka (3 Juni) selain membenarkan adanya suara-suara belum yakin, juga mencatat "tidak ada perubahan prinsipil dalann cara-cara memperoleh izin. "Isinya masih tetap sama," tulis Merdeka. Namun diakui pula, "tapi agaknya memang SIUPP dapat menetralisir kesan bahwa pengekangan terhadap pers masih senantiasa . " Tentu saja ada editor seperti Subagyo Pr yang melihat perubahan SIT jadi SIUPP nanti suatu kemajuan. "Yang penting bagi DPR ialah ketepatan membahasnya, bukan kecepatan menyelesaikan RUU perubahan itu," kata Subagyo Pr, Pemred Sinar Harapan. "SIUPP sebagai suatu penerbitan bagi perusahaan pers tak berarti negatif," ujar J. Widodo, Redaktur Pelaksana Kompas. Sambil membalik-balik fotokopi RUU yang akan dibahas DPR itu, Widodo berpendapat, hal itu baik. "Sesuatu usaha harus punya izinlah," katanya. BAGAIMANA kalau SIUPP dicabut dan perusahaan mati -- sementara itu pemerintah telanjur keliru menindak? Bukankah pemerintah sekali-sekali bisa keliru? Menurut Tasrif, pemimpin redaksi atau pemimpin perusahaan bisa menuntut pemerintah lewat Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara, kata Tasrif, berfungsi bila negara dalam hal ini melakukan onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum). Tapi "itu baru teoritis. Sebab prosesnya berapa tahun lagi?" RUU Peradilan Tata Usaha Negara baru saja diajukan ke DPR bersama-sama RUU Perubahan UU Pokok Pers. Drs. Dja'far H. Assegaff, Sekjen PWI Pusat, sependapat dengan Tasrif tentang hak banding lewat Peradilan Tata Usaha Negara. Perusahaan pers yang dicabut izinnya dapat menuntut kerugian, kata Assegaff, jika dibuktikan bahwa negara telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau peraturan yang dikeluarkan bertentangan dengan UU di atasnya. Sementara DPR membahasnya, ada anjuran supaya kalangan pers jangan terlalu khawatir. "Pemerintah beriktikad baik dalam masalah pembinaan pers," kata Santoso Tosani, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Dan orang pun menungggu --mungkin dag-dig-dug.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus