SELAMA ini dunia persuratkabaran Indonesia mengenal lembaga SIT
(Surat Izin Terbit). Ini ketentuan peralihan Undang-Undang Pokok
Pers tahun 1966. Dalam rencana perubahan UU Pokok Pers yang
disampaikan Menpen Ali Moertopo ke DPR, 1 Juni yang lalu,
ketentuan tersebut akan dihapus. Kabar baik? Pelbagai reaksi
sampai pekan ini masih terdengar.
Sebab ternyata perusahaan pers nanti memerlukan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers. SIUPP ini akan dikeluarkan oleh pemerintah,
yakni Departemen Penerangan. "Ketentuan perizinan ini dilandasi
dengan iktikad untuk mengadakan pembinaan yang lebih mantap
dalam pengusahaan pers," kata Menpen Ali Moertopo di muka sidang
DPR.
Apa beda SIT dan SIUPP? "Seperti ganti kapstok saja, SIT tetap
ada, cuma namanya lain," kata Prof. R.H.A. Soenarjo SH, Wakil
Ketua Komisi III (Hukum) DPR dari Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Menurut Gurubesar Ilmu Hukum IAIN Sunan
Kalijaga dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu,
sebaiknya lembaga yang berbau izin untuk media massa dihapuskan
dalam segala bentuknya.
"Kalau cuma ganti istilah, apa bedanya? " kata Suardi Tasrif SH,
pengacara terkenal dan Ketua Kehormatan PUI Pusat. Menurut dia,
pejabat akan bisa menolak permohonan SIUPP, dan pejabat itu
tentu bisa juga membekukan dan mencabutnya.
Kalangan editor tampaknya khawatir terhadap SIUPP. Antara lain
Krisna Harahap SEI, Pemimpin Redaksi Harian Mandala, Bandung,
berkata: "Pokoknya, bila ada pencabutan SIUPP, barangkali
seluruh kegiatan perusahaan mulai dari penerbitan sampai anak
perusahaan, bisa diberhentikan."
"Itu ibarat ganti baju," kata Anwar Arif, Wakil Pemred Surabaya
Minggu. Sedang bagi Drs. Muidin, Wakil Pemred Masa Kini,
Yogyakarta, SIT atau SIUPP "sama-sama bisa memukul" penerbitan.
Suwarno SH, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, Semarang, berkata:
"Andaikata nanti SIUPP juga bisa dicabut, ya, tak ada bedanya
antara SIT dan SIUPP." Dan Suwarno sependapat denan rekannya,
Krisna Harahap tadi, bahwa justru SIUPP lebih berbahaya,
langsung mengenai seluruh perusahaan dengan segala kegiatannya.
Menurut Syamsuddin Manan BA, Pemimpin Redaksi Harian Mimbar
Umum, Medan, SIT dan SIUPP sama saja "omong kosongnya." Sebab,
katanya, meski selama ini UU Pokok Pers tak mengenal
pembreidelan dan sensur, tetap ada saja himbauan untuk tak
memuat suatu peristiwa. Dan rekannya, Ammary Irabi, Wakil Pemred
Harian Waspada, sependapat bahwa kalau SlUPP dicabut, perusahaan
akan tutup seluruhnya, karena "peraturannya sampai ke tulang
sumsum. "
Sementara itu, tajuk rencana Merdeka (3 Juni) selain membenarkan
adanya suara-suara belum yakin, juga mencatat "tidak ada
perubahan prinsipil dalann cara-cara memperoleh izin. "Isinya
masih tetap sama," tulis Merdeka. Namun diakui pula, "tapi
agaknya memang SIUPP dapat menetralisir kesan bahwa pengekangan
terhadap pers masih senantiasa . "
Tentu saja ada editor seperti Subagyo Pr yang melihat perubahan
SIT jadi SIUPP nanti suatu kemajuan. "Yang penting bagi DPR
ialah ketepatan membahasnya, bukan kecepatan menyelesaikan RUU
perubahan itu," kata Subagyo Pr, Pemred Sinar Harapan.
"SIUPP sebagai suatu penerbitan bagi perusahaan pers tak berarti
negatif," ujar J. Widodo, Redaktur Pelaksana Kompas. Sambil
membalik-balik fotokopi RUU yang akan dibahas DPR itu, Widodo
berpendapat, hal itu baik. "Sesuatu usaha harus punya izinlah,"
katanya.
BAGAIMANA kalau SIUPP dicabut dan perusahaan mati -- sementara
itu pemerintah telanjur keliru menindak? Bukankah pemerintah
sekali-sekali bisa keliru? Menurut Tasrif, pemimpin redaksi atau
pemimpin perusahaan bisa menuntut pemerintah lewat Peradilan
Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara, kata Tasrif, berfungsi bila negara
dalam hal ini melakukan onrechtmatigedaad (perbuatan melawan
hukum). Tapi "itu baru teoritis. Sebab prosesnya berapa tahun
lagi?" RUU Peradilan Tata Usaha Negara baru saja diajukan ke DPR
bersama-sama RUU Perubahan UU Pokok Pers.
Drs. Dja'far H. Assegaff, Sekjen PWI Pusat, sependapat dengan
Tasrif tentang hak banding lewat Peradilan Tata Usaha Negara.
Perusahaan pers yang dicabut izinnya dapat menuntut kerugian,
kata Assegaff, jika dibuktikan bahwa negara telah melakukan
penyalahgunaan kekuasaan atau peraturan yang dikeluarkan
bertentangan dengan UU di atasnya.
Sementara DPR membahasnya, ada anjuran supaya kalangan pers
jangan terlalu khawatir. "Pemerintah beriktikad baik dalam
masalah pembinaan pers," kata Santoso Tosani, Wakil Ketua Komisi
I DPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Dan orang pun menungggu
--mungkin dag-dig-dug.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini