Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Festival Masa Depan

Jatiwangi Art Factory dan Marco Kusumawijaya mengajak masyarakat Desa Jatisura, Majalengka, menggambar masa depan desa mereka. Seni terlibat.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mimpi-mimpi itu ditorehkan di atas selembar karton putih berukuran dua meter persegi. Sebuah peta desa yang digambar dengan krayon warna-warni. Tak hanya rimbun dengan deretan pepohonan, hamparan sawah, taman, dan danau buatan, desa itu juga memiliki segudang fasilitas.

Ada taman bermain, lapangan sepak bola, kolam renang, kebun binatang, pabrik pengolahan padi organik, puskesmas, universitas, dan ya: pusat kesenian dan sederet galeri. Warga desa itu ingin ada sebuah museum seni kontemporer di desanya! Dibangun pula rest area lengkap dengan pusat oleh-oleh dan tempat penjualan hasil kerajinan desa.

Inilah kondisi Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, pada 2023. Meskipun semua itu baru sekadar mimpi, mereka optimistis bakal menjadi kenyataan. Tak hanya gambar, di peta itu juga ditempeli kertas-kertas kecil bertulisan tahun terwujudnya tiap fasilitas. Di atas gambar lapangan sepak bola yang bersisian dengan kolam renang, misalnya, tertempel kertas bertulisan "2015". "Artinya, fasilitas olahraga itu diharapkan bisa terwujud pada 2015," ujar Kepala Desa Jatisura Ginggi Syarif Hasyim.

Sejak 20 Agustus 2013, Ginggi bersama Jatiwangi Art Factory, dibantu Marco Kusumawijaya dari Rujak Centre for Urban Studies, Jakarta, memang giat mengajak warga menggambarkan kondisi desa seluas 377 hektare itu sepuluh tahun mendatang. Mereka memberi tajuk kegiatan itu: Festival Masa Depan.

Tentu tidak semua penduduk desa yang jumlahnya 6.346 jiwa itu berpartisipasi menggambarkan mimpinya. Tiap rukun tetangga cukup diwakili empat orang, terdiri atas anak-anak, remaja, laki-laki dewasa, dan perempuan desa. Hasilnya dikumpulkan dan dipamerkan di galeri Jatiwangi Art Factory di Jalan Makmur, yang biasanya memajang karya seniman terkenal.

Tapi kegiatan ini bukanlah sebuah lomba menggambar yang menghasilkan pemenang. "Sebetulnya ini cara kami melibatkan warga untuk membuat tata ruang desa," kata Ginggi, yang sudah lima tahun menjabat kepala desa. Setiap akhir pekan, Jumat sampai Minggu, warga desa juga datang ke Jatiwangi Art Factory untuk mendiskusikan gambar itu. Gambar-gambar itu kemudian dihimpun menjadi satu peta besar. Pada Sabtu dua pekan lalu, misalnya, mereka kembali mendiskusikan peta berisi mimpi-mimpi warga desa itu. Termasuk mencatat hambatan, tantangan, dan langkah apa saja yang harus mereka lakukan untuk mewujudkannya.

"Bagi kami, sebenarnya yang lebih penting masyarakat harus punya mimpi," ujar Ginggi. Ia masih ingat, delapan tahun lalu, tidak ada satu pun warga desa yang menyangka bakal kedatangan seniman dari berbagai negara. Kenyataannya, sekarang hampir saban bulan seniman itu datang mengikuti residensi di Jatiwangi Art Factory, menginap di rumah-rumah warga. Mereka juga secara rutin menggelar aneka kegiatan, seperti pameran seni rupa, festival musik keramik, dan workshop seni. "Itu sebetulnya mimpi saya ketika masih duduk di kelas II SMA," ujarnya. Karena itu, dia yakin mimpi warga desa tersebut bisa menjadi kenyataan.

Festival Masa Depan merupakan bagian dari rangkaian kegiatan memperingati delapan tahun berdirinya Jatiwangi Art Factory (JAF). Sejak 27 September 2008, JAF bekerja sama dengan pemerintah Desa Jatisura memberdayakan masyarakat lewat kegiatan kesenian kontemporer. Mereka selalu melibatkan warga setempat dalam setiap perhelatan ataupun proyek kesenian. Selain Festival Masa Depan, tahun ini warga dilibatkan dalam kegiatan pameran seni rupa. "Pameran itu diadakan di rumah-rumah warga. Ada 15 rumah," ujar Arief Yudi Rahman, pendiri JAF.

Pameran bertajuk "Kediaman yang Tidak Ingin Diam" yang digelar dari 27 September hingga 17 Oktober 2013 itu diikuti 16 seniman. Mereka antara lain Ade Darmawan, Agus Suwage, Anggun Priambodo, Dikdik Sayahdikumullah, F.X. Harsono, Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, Mahardika Yudha, Radi Arwinda, Reza Asung Afisina, Rudi Mantofani, Rudi S.T. Darma, Titarubi, dan Yusra Martunus. Karya mereka dipajang di ruang tamu, teras, warung, hingga gudang.

"Mereka sudah seperti kolektor. Orang yang mau melihat harus bertamu, ha-ha-ha…," kata Ginggi. Tapi justru itulah tujuan utama pameran ini. Mempererat hubungan antarwarga. Kegiatan lainnya adalah program Sandiwara Radio dan SoundScupture bersama seniman asal Inggris, Teresa Birks, serta Delete Memory bersama Irwan Ahmet dan Tita Salina.

Pada SoundScupture, suara warga yang mengungkapkan pendapat tentang desanya direkam. Begitu pula bunyi-bunyian yang ada di penjuru desa. Entah suara burung, gemerisik api tungku yang membakar genting, entah suara kendaraan yang melintas. Suara-suara itu kemudian diedit dan diperdengarkan bersamaan dengan arak-arakan keliling desa akhir pekan lalu.

Uniknya, warga juga diminta mengumpulkan barang untuk dikuburkan bersama. Seperti kapsul waktu, barang-barang itu baru akan digali kembali sepuluh tahun kemudian, yakni pada 2023. Ketika sebagian mimpi mereka mungkin sudah terwujud.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus