Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Gandumku Sayang, Gandumku Malang

Kawasan Tosari, Pasuruan, sangat cocok untuk budi daya gandum. Ketiadaan teknologi pascapanen membuat petani kembali menanam sayuran.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azan zuhur baru saja berkumandang, tapi hawa dingin masih menusuk tulang. Tak aneh jika para petani di Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Pasuruan, yang sedang menggarap ladang siang itu mengenakan jaket dan melilitkan sarung di leher. Di area kaki Gunung Bromo inilah, di lahan seluas sekitar 10 hektare, hamparan tanaman gandum menghijau dengan bulir-bulirnya yang padat berisi.

"Sebulan lagi panen," kata Yuli Sungkowo, penyuluh pertanian Kecamatan Tosari, kepada Tempo, Senin pekan lalu. Selain menanam gandum, petani setempat memanfaatkan lahannya bertanam sayuran. Ada kentang, bawang merah, kubis, dan wortel.

Gandum merupakan tanaman subtropis. Namun, di Ngadiwono, tumbuhan dengan nama Latin Triticum spp. ini tumbuh subur. Kandungan unsur hara dan ketinggian wilayah yang berada lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut menjadi kuncinya. "Bayangkan, hanya setengah hektare ladang mampu menghasilkan 1,5 ton gandum," kata Ihwan, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman­ Pangan Kabupaten Pasuruan, kepadaTempo, Senin pekan lalu.

Produktivitas sebesar itu didapat setelah, pada 25 September lalu, Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf bersama Direktur Jenderal Pascapanen Kementerian Pertanian Dadih Permana memulai panen raya gandum di Ngadiwono. Puncak panen diperkirakan berlangsung akhir Oktober ini.

Menurut Ihwan, uji coba penanaman gandum di Pasuruan dimulai pada 2000, yakni di kawasan Kecamatan Tosari, Puspo, Purwosari, dan Tutur. Pada awal budi daya, wilayahnya mendapat kiriman 50 kilogram bibit gandum dari Kementerian Pertanian. Namun, setelah dievaluasi, gandum tumbuh paling subur dengan produktivitas maksimal di Tosari. Kala itu Hangsinal, doktor pertanian asal India yang membantu sebagai tenaga ahli pemerintah, memuji kesuburan lahan di sini. Sebagai pembanding, kata Ihwan mengutip Hangsinal, produksi gandum di India rata-rata hanya separuhnya, yakni 1,5 ton per hektare.

Setelah itu, pemerintah pun gencar mengkampanyekan tanam gandum. Setidaknya 100 hektare lahan sayur Tosari segera disulap untuk gandum. Total produksi saat itu 312 ton dengan rata-rata produktivitas 2,5 ton per hektare. Tiga varietas gandum ditanam di Pasuruan, yakni selayar, nias, dan dewata, yang benihnya dikembangkan di Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi Selatan. Pada 2003, Menteri Pertanian Bungaran Saragih datang untuk memanen langsung.

Yang bikin hati petani bungah, hasil panen gandum dibeli PT Bogasari Flour Mills 90 ton. Selebihnya diserap Kementerian Pertanian sebagai bibit untuk pengembangan budi daya gandum di seluruh Nusantara. Sukses Tosari membuat Bungaran bermimpi Indonesia mampu swasembada terigu. Maklum, setiap tahun, hingga kini, Indonesia mengimpor 6,5 juta ton tepung gandum atau 100 persen dari kebutuhan nasional.

Tahun berganti, gandum yang diharapkan jadi andalan mulai kurang diminati. Luas tanam di Tosari yang pernah mencapai 150 hektare pada 2007 kini hanya tersisa 25 hektare. Itu pun 10 hektare di antaranya dibudidayakan sendiri oleh pemerintah Pasuruan.

Yuli menyatakan luas lahan gandum menyusut karena nilai ekonomisnya lebih rendah dibanding sayuran. Akibatnya, petani berpaling menanam sayuran lagi, misalnya kentang, yang harganya di pasar stabil tinggi. Walaupun biaya produksi kentang Rp 50 juta per hektare, keuntungan bersihnya lebih dari Rp 20 juta. Sebaliknya, meski cukup bermodal Rp 12 juta untuk menanam gandum, keuntungannya hanya Rp 3-8 juta per hektare. Biaya produksi meliputi pengolahan lahan, pembelian bibit, upah buruh, pupuk, dan pestisida. "Gandum tak kompetitif, petani tak tertarik," ujarnya.

Walaupun penanamannya mudah, seperti menyebar benih rumput saja, perlakuan pascapanen gandum, dari pengeringan, perontokan bulir, hingga mengolah menjadi tepung, terbilang rumit. Pengeringan yang tak maksimal, misalnya, membuat tepung kusam. Bandingkan dengan sayuran, yang tak butuh pengolahan apa pun, bisa langsung dikirim ke pasar.

Santoso, petani Dusun Ngawu, Desa Podokoyo, Kecamatan Tosari, mengaku sudah setahun ini meninggalkan gandum. Sebelumnya, para petani Ngawu yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Makmur mengolah 15 hektare lahan di dusunnya untuk gandum. Meski pada awalnya sukses, lama-kelamaan para petani itu kapok. Burung dan tikus lahap memakan tanaman gandum. "Keuntungannya tak seberapa, pengolahannya sulit," katanya.

Ihwan sangat menyayangkan hilangnya gairah petani menanam gandum. Sebab, sukses di Pasuruan telah memutus mitos bahwa gandum tak bisa tumbuh di negeri tropis. Ia menjelaskan, bibit gandum asal Pasuruan telah lolos tes adaptasi, bebas hama dan penyakit. Namun, harus diakui, selama enam tahun terakhir tak ada kebijakan yang terintegrasi antara budi daya tanaman dan teknologi pengolahan hasil pertanian. "Belum ada kebijakan terintegrasi dari pusat. Kalau Pemerintah Kabupaten Pasuruan sendirian, ya, tak mampu," kata Ihwan.

Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf, yang belum lama terpilih, mengkampanyekan agar gandum menjadi komoditas andalan kota santri ini. Ia berharap semakin banyak petani mau menanam gandum, sehingga bisa memenuhi kebutuhan terigu di Pasuruan. Pemerintah kabupaten berencana mengembangkan industri pengolahan dan menciptakan pasar gandum.

"Kalau petani didorong menanam, pemerintah harus menyediakan pasar," kata Irsyad, saat panen raya pada September lalu, seperti dikutip Antara. Potensi lahan yang bisa ditanami gandum di daerah ini sekitar 6.000 hektare.

PT Bogasari mendukung upaya pengembangan gandum lokal. Menurut Lindung, perwakilan Bogasari, pihaknya bakal memanfaatkan bahan baku dari dalam negeri jika pasokan terjamin dan kualitasnya memadai. "Meski sesekali membeli dengan harga mahal tak jadi masalah," katanya Selasa pekan lalu. Selain bebas dari kotoran, gandum yang dipasok ke Bogasari harus berkadar air maksimal 12 persen.

Agus Supriyanto, Eko Widianto


Varietas Baru Dataran Rendah

Ada seribu satu cara untuk meraih mimpi swasembada gandum nasional. Salah satunya membentuk konsorsium yang menghimpun peneliti dari perguruan tinggi, Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, pelaku usaha, plus ahli dari negara lain, untuk menemukan teknologi tanam gandum terbaik. "Kementerian Pertanian sudah melakukan hal itu," kata peneliti pertanian dari Universitas Brawijaya, Malang, Damanhuri, Rabu pekan lalu.

Sejak 2012 sudah dilakukan uji multilokasi, tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bengkulu, dan Sulawesi Selatan. Di provinsi itu, dipilih dua kawasan yang memiliki ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut untuk dicoba tanam bibit dari galur/varietas elite asal Slovakia.

Dalam penelitian, produksi gandum mencapai 3-4 ton per hektare, cukup tinggi meski masih kalah dibanding Slovakia yang 8-10 ton per hektare. Namun keterbatasan dataran tinggi di Indonesia yang cocok untuk gandum menjadi kendala.

Kini para peneliti mencoba mengembangkan varietas gandum yang mampu hidup di dataran rendah. Sejak dua tahun lalu uji multilokasi dilakukan di Sumber Brantas dan Tlekung Kota Batu, serta Jatikerto, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang. Damanhuri belum mau mengungkapkan hasil penelitiannya. Namun ia berharap penelitian ini menghasilkan varietas unggul yang produktif dan tahan di dataran rendah.

"Pencarian varietas gandum tropis sudah dimulai pada 1999," peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Rahmat Budiyono menegaskan. Situs lembaga ini menyebutkan varietas oasis yang ditanam di dataran rendah—kurang dari 400 meter di atas permukaan laut—di Merauke menghasilkan 1,3-2,4 ton per hektare. Namun jumlah itu masih kalah dengan varietas unggul nasional selayar, nias, dan dewata, yang bila ditanam di dataran tinggi hasilnya mencapai 3-4 ton per hektare.

Agus Supriyanto | Eko Widianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus