Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang magrib, selusin pemuda masih sibuk memindahkan sebuah patung besar di halaman Gedung A Galeri Nasional, Jakarta, 7 Oktober lalu. Patung dua orang mirip seniman Djoko Pekik, berjenggot bertelanjang dada, dengan celana digulung hingga lutut. Dengan sebilah bambu, kedua Pekik itu menggotong seekor babi hutan atau celeng yang sangat gendut.
"Agak ke sini sedikit, yang sebelah sini nanti untuk kursi. Nanti lampunya disorotkan ke sebelah sini, jadi muka celengnya kelihatan," ujar Djoko Pekik asli, 76 tahun, memberi perintah kepada anak-anak muda itu dalam bahasa Jawa.
Karya Djoko Pekik itu berjudul Berburu Celeng. Patung ini menjadi patung "penyambut" para undangan dalam pembukaan pameran lukisannya, 10 Oktober lalu, yang sangat ramai dan gayeng. Empat belas tahun silam, di tempat yang sama, Djoko Pekik menggelar pameran tunggal. Kini ia mengambil tajuk "Jaman Edan Kesurupan". Selain bisa menyaksikan patung Berburu Celeng, pengunjung dapat menikmati patung Berburu Pekik.
Dua orang seperti Pekik kembali memikul. Tapi kali ini bukan celeng gemuk yang digotong, melainkan sosok Pekik sendiri. Tubuh Pekik telentang menantang langit. Tali tampar mengikat kencang dua pergelangan tangannya. Tambang menali erat dua mata kakinya. Wajah Pekik penuh keriput. Kedua bola matanya sipit. Jenggot menjuntai. Rambut acak-acakan. Kuncir di ujung belakang rambut melengkung tak keruan. Pekik dijerat, setelah diburu oleh Pekik-Pekik lain.
Apa makna patung itu? Menurut Djoko Pekik, patung Berburu Pekik menggambarkan refleksi dirinya sendiri. "Apakah saya ini punya sifat angkara murka atau tidak?" Gagasan mencipta patung Berburu Pekik bermula dari Biennale IX di Yogyakarta pada 2009. Waktu itu para seniman Yogyakarta membuat poster Berburu Pekik. Seniman menempel poster di Jalan Solo, Jalan Lingkar Utara, Jalan Lingkar Selatan, dan Jogja National Museum. Poster itu berukuran 10 x 6 meter. Pekik kemudian meminta foto poster itu kepada panitia Biennale. Ia kemudian membuat patung berdasarkan foto.
Pekik melibatkan lima pekerja untuk membuat patung Berburu Pekik dan Berburu Celeng. Dua patung tersebut berbahan fiber. Patung Berburu Celeng beratnya 3 kuintal. Sedangkan patung Berburu Pekik 2 kuintal. Perlu empat bulan buat Pekik untuk merampungkan dua patung itu. Ia mengeluarkan duit setidaknya Rp 150 juta untuk menciptakan dua patung itu. Karya itu berwarna dominan cokelat tua.
Djoko Pekik mengatakan pameran ini adalah pameran tunggalnya yang terakhir. Sebanyak 28 lukisan lawas dan baru dipertontonkan lagi. Lukisan yang paling fenomenal sebagai simbol awal kebangkitan Djoko Pekik setelah "tidur nyenyak" juga ikut dipamerkan. Lukisan itu berjudul Susu Raja Celeng. Pada 1996, Pekik membuat lukisan tersebut—selanjutnya ia secara berseri membikin lukisan berjudul Berburu Celeng pada 1998, dilanjutkan Matinya Celeng tanpa Bunga dan Telegram Duka pada 1999.
Lukisan Susu Raja Celeng menggambarkan seekor celeng sangat gemuk, bertaring empat, matanya merah liar, enam susunya matang, siap menyeruduk. Di kejauhan ribuan orang, sementara di atasnya sebuah jalan layang penuh mobil tak hirau dengan si celeng gendut. Lukisan ini dipamerkan dalam acara Sewindu Takhta untuk Rakyat Sri Sultan X.
Karya lain yang dipamerkan Pekik adalah patung Memanah Matahari. Patung ini replika dari patung Memanah Matahari yang dibuat Pekik selama berada pada masa tahanan. Ia dipenjara setelah huru-hara 1965. Pekik menjadi tahanan politik pada 8 November 1965-1972 di Benteng Vredeburg Yogyakarta. Pekik menganggap patung itu penting bagi perjalanan hidupnya. Ia menciptakan patung itu dalam suasana gembira, karena pada saat itu ia merasa memiliki harapan hidup kembali.
Di dalam penjara, Pekik berada dalam pengawasan Komandan Corps Polisi Militer atau CPM bernama Moes Soebagyo. Dia juga komandan daerah perang DIY. Waktu itu markas CPM berada di dekat Kali Code, sekarang di barat Hotel Santika. Moes Soebagyo meminta Pekik membuat patung Memanah Matahari pada Desember 1966. Semua bahan patung berasal dari Moes Soebagyo. Patung menggunakan bahan semen dengan kerangka besi untuk menopang patung. Pekik melukiskan tangan kanan lelaki perkasa menarik tali busur sekuat tenaga. Sedangkan tangan kiri menahan busur. Kaki kiri bertumpu pada batu. Patung memanah ke barat persis ke arah matahari pukul tiga sore.
Waktu itu Pekik mencipta patung selama tiga bulan. Ia menggambarkan penjara sebagai lorong gelap. Lalu ia membayangkan sinar matahari. Si pemanah dilukiskan Pekik sebagai penduduk Irian Barat, sekarang Papua. Memanah merupakan tradisi penduduk Papua. "Tiap malam saya berpikir kapan bisa bebas dari penjara," ujarnya.
Suatu sore, ketika Pekik menyelesaikan patung, ia ditunggui oleh Moes Soebagyo. Dalam suasana yang santai sambil menyedot rokok dan berbincang ngalor-ngidul, Moes bercerita suatu saat ia dipanggil oleh Sukarno di Akademi Militer Nasional di Magelang, Jawa Tengah. Bung Karno menitip pesan kepadanya agar seniman Istana tidak dibunuh. Kalaupun tetap dipenjara, Sukarno berpesan agar para tahanan tetap ditahan di Yogyakarta. "Sukarno bilang mencetak seniman lebih sulit ketimbang insinyur dan dokter," kata Pekik menirukan Moes Soebagyo.
Patung Memanah itu kini berada di rumah kosong berukuran 30 x 30 meter di Jalan Faridan Muridan Noto, Kotabaru, Yogya. Rumah itu dahulu milik Moes Soebagyo. Kini rumah itu milik Iswanto, bos Mirota Kampus. Selain itu, Pekik memiliki kenangan pada lukisan berjudul Tuan Tanah Kawin Muda. Karya itu diciptakan Pekik pada 1964. Lukisan berukuran 1 x 2 meter itu pernah dipamerkan di negara berhaluan sosialis, antara lain Cekoslovakia, Yugoslavia, dan Rusia.
Pekik amat sayang pada lukisan itu. Ketika tentara memburu dia pada 1966, ia menggulung lukisan tersebut lalu menitipkannya ke rumah pacarnya yang kini menjadi istrinya di Wirobrajan. Dalam suasana yang tidak aman, Pekik lari dan tinggal di Sanggar Pelukis Rakjat di Sentul, Bogor. "Tentara menciduk saya di Sentul," katanya.
Menurut Pekik, lukisan itu menjelaskan perihal tuan tanah. Pekik mendapat inspirasi melukis ketika ia saat menjadi aktivis Lekra menjalani kegiatan "turba" atau turun ke bawah. Selama sebulan ia tinggal di kawasan Trisik, Kulon Progo, Yogya. Di tempat inilah hidup seorang tuan tanah bernama Haji Dawam Roji. Haji Dawam suka membayar buruhnya dengan upah rendah. Pekik kemudian mengkritik praktek feodalisme dan borjuis dalam lukisan itu.
Apa karya terbaru Pekik dalam pameran ini? Begitu masuk Galeri Nasional, kita langsung disodori sebuah lukisan besar berjudul Pawang Kesurupan. Lukisan tersebut menampilkan suasana persidangan. Dua hakim digambarkan membawa kadal, seorang hakim sedang bermesraan dengan perempuan cantik. Di depan meja sidang, sekelompok penari kuda lumping sedang menari dan kesurupan. Yang berkemben dengan mata teler mulutnya rakus memakan bunga. Rekannya malah seperti memakan bara api. Yang lebih gokil: ada seorang hakim yang ikut turun rakus melahap seekor ayam.
"Hakim, yang seharusnya mengendalikan, ikut kesurupan juga. Chaos semua, korupsi di mana-mana, jamane edan, kesurupan kabeh," ucap Pekik. Lukisan ini bukan sengaja mengolok-olok Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, yang tertangkap basah menerima sogokan. "Ini saya buat tahun lalu, lha kok ini malah kejadian bener. Jadi seperti ramalan, ya?" ujarnya kepada Tempo.
Shinta Maharani, Sunudyantoro (Yogya), Dian Yuliastuti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo