Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah festival, sebuah india ...

Laporan salim said mengenai kunjungannya ke india sebagai tamu pada international film festival of india ke-7 selama 2 minggu. (fl)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERADA di India sebagai tamu pada International Film Festival of India (IFFI) ke 7 selama 2 pekan, wartawan TEMPO, Salim Said, sempat menyaksikan sejumlab film dan bertemu dengan banyak tokob perfilman India maupun internasional. Berikut ini laporannya. FESTIVAL ini diramaikan oleh hampir seribu delegasi dari berbagai penjuru dunia. Diorganisir oleh peerintah India sejak tahun 1952, tujuan festival ada dua. "Pertama, memperkenalkan kecenderungan terakhir perfilman dunia kepada India, sedang tujuan lainnya memperkenalkan film India ke dunia internasional." Begitu keterangan resmi penyelenggara. Dari luar India banyak film yang datang. Sementara itu film-film India sendiri bisa dinikmati lewat acara Indian Panorama yang memutar film-film buatan negeri itu dalam berbagai bahasa daeah. Maka tidak mengherankan jika degasi terbanyak pada IFFI itu adalah orang film India sendiri. Mereka datang lari berbagai penjuru India dengan film-film yang hampir tidak pernah bisa ditonton di luar negeri. Seorang pengamat film dari Indoneia yang bertahun-tahun mendapat kesan salah tentang film India, sudah tentu memanfaatkan waktu untuk selalu muncul pada acara "Indian Panorama" yang paling menarik di antara film yang diputar di sana tentulah Pemain Catur karya sutradara India terkenal, Satyajitay. Kisahnya diangkat dari cerpen Premchand mengenai dua bangsawan penggemar catur. Keasyikan catur megorbankan keluarga -- salah seorang di antara isteri mereka "tidur" dengan keponakan sendiri -- tapi juga negara. Sembari terus membanggakan keberanian dan kepahlawanan mereka turun-temurun -- tatkala berita invasi Inggeris mulai terdengar -- biji-biji catur terus pula mereka gauli. Negeri mereka jatuh ke tangan Inggeris ketika mereka main catur secara sembunyi-sembunyi di luar tembok kota. Bandingan Fellini Karena film ini dibuat oleh Satyajit harapan penonton untuk tidak sekedar menonton kisah dua pemain catur, jelas harus diperhitungkan. Dan Ray tidak mengecewakan (lihat Sebuah Percakapan Dengan Satyajit Ray). Tapi lebih dari sekedar sebuah tontonan dengan pesan yang dalam namun plastis, sebagai tontonan, kisah pemain catur ini juga dibuat dengan apik dan manis! Satyajit yang dulu memulai dengan ide, kini telah menjadi maestro oleh penguasaan teknik. Di Barat, ia nampaknya patut dibandingkan dengan Fellini yang membuat Casanova. Tapi India sekarang bukan cuma Satyajit. Sejumlah film dibuat --dengan bantuan pemerintah -- juga dengan pesan yang jelas dan tentang soal yang kongkrit. Film Mannu yan dibuat di India Sclatan (dalam bahasa Malayalam) dengan amat berani berbicara tentang masalah tanah serta kekejaman dan kelicikan para tuan tanah. Di sini bahkan para Brahmin (tokoh agama) dipertontonkan sebagai sekedar alat bayaran tuan tanah. Secara teknis film ini memang belum memuaskan, tapi keberaniannya mengagumkan. Kecaman ke alamat Bombay yang "cuma memperlihatkan India palsu" dalam festival ini juga dijawab. Sutradara muda Muzaffar Ali tampil dengan film Gaman dan berhasil mendapat salah satu hadiah. Kisahnya lebih kurang sama dengan yang ingin dikisahkan oleh Ami Priyono lewat film Jakarta, Jakarta Tapi Muzaffar Ali betul-betul berkisah tentang Bombay yang keras dan menghancurkan mimpi-mimpi orang pedalaman yang datang ke kota besar itu dengan penuh harapan. Tokoh utama film itu dua pemuda desa yang tidak bisa hidup lagi di kampung halaman menjadi sasaran pemerasan tuan tanah -- dan melihat Bombay sebagai harapan baru. Di kota besar mereka jadi sopir taxi. Di akhir cerita, seorang di antara mereka mati terbunuh yang lainnya kembali ke desa. Bombay ternyata tidak lebih baik dari desa mereka. Cerita-cerita sejenis ini juga tampil dari film-film Sri Langka yang ikut IFFI. Para pembuat film di Kolombo itu kelihatannya masih lebih sibuk dengan ide hingga teknis kurang begitu rapi. Tapi IFFI nampaknya memang lebih menghargai penjajagan cakrawala ide daripada kesempurnaan teknik. Inilah pula nampaknya yang menjadi penghalang bagi Jakarta, Jakarta untuk tampil sebagai peserta dalam kompetisi. Secara teknis film buatan Ami Priyono itu memang sempurna, tapi kisah yang dikemukakannya bermula dengan Jakarta dan berakhir entah di kota mana di seberang sana. Film-film yang lebih khas, macam Suci Sang Primadona, barangkali saja lebih mungkin menjadi peserta dalam festival-festival macam di New Delhi itu. Film Kuwait Di New Delhi, tidak cuma cerita tentang mutu film yang jadi pembicaraan. Di sana juga ada pasar film yang menghasilkan sejumlah transaksi. Negara-negara Timur Tengah yang produksinya bisa dihitung dengan jari pun ikut sibuk di sini. Salah satu di antaranya adalah Kuwait. Negeri yang baru memproduksi dua film itu diwakili oleh sutradara dan produser satu-satunya di negeri itu, Khalid Siddik. Anak muda ini bukan cuma cekatan menjajakan filmnya, tapi juga seorang sineast yang berbakat. Film Perkawinan Si Zen, memang tidak mendapat hadiah, tapi menarik perhatian oleh keunikannya. Ia bercerita tentang kehidupan salah satu suku bangsa Arab di Sudan. Tokohnya seorang anak muda ang sinting lantaran kemasukan setan ketika kecil. Tapi karena adat mengharuskan ia kawin dengan saudara sepupunya, di akhir cerita ia memang kawin. Tapi film ini tidak menarik kalau di dalamnya tidak ada kritik. Salah satu sasaran kritik adalah imam yang juga menginginkan sang sepupu, dan menggunakan cara-cara yang licik. Khalid ini nampaknya amat terpengaruh oleh film-film Perancis periode Gelombang Baru. Ini kelihatan pada cara berceritanya yang kadang-kadang tidak memisahkan antara masa kini dan masa lalu. Pilihan pada cara ini nampaknya dilakukan dengan sadar oleh kebutuhan mengungkapkan fikiran dan perasaan si Zen yang sinting. Di sini cerita menentukan gaya. Pada sebuah festival yang memutar lebih dari seratus film, seorang pengamat jelas harus menjatuhkan pilihan. Risikonya, tidak bisa bicara tentang keseluruhan. Tapi di akhir festival, ketuadewan jury, Ousmane Sambene, sineas terkenal dari Senegal, secara terbuka menyatakan keluhannya mengenai tidak berhasilnya IFFI ke 7 menghadirkan film-film dengan mutu yang lebih baik Di tengah-tengah film demikian, India -- dengan 2 film sebagai peserta kompetisi dari 24 yang dinilai -- ternyata berhasil menggaet hadiah terbanyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus