Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia masih muda. Baru 27 tahun. Ia tergila-gila pada animasi semenjak sekolah menengah. Lalu ia mengambil sekolah animasi di Australia. Dan pada 2004, Wahyu Aditya nekat meminjam uang di bank untuk mendirikan sebuah kursus animasi.
Di bilangan Tebet Raya, Jakarta, plang Hello Motion School of Animation and Cinema tertera di sebuah ruko. Di sanalah Aditya mendidik murid-muridnya dan juga mengorganisasi Hello Fest, sebuah festival animasi. Adit memiliki cita-cita besar untuk mengembangkan sekolah dan festivalnya itu. Di benaknya, beberapa tahun lagi ia sudah bisa membuat institut animasi.
Targetnya, pada 2020 ia mampu menciptakan taman bermain seperti Walt Disney. Dua keinginan itu ia presentasikan di London Film Festival 2007 dalam kancah International Young Creative Entrepreneur of the Year.
Keberangkatan Wahyu Aditya ke London atas prakarsa British Council Indonesia. British Council Indonesia menggelar sebuah kompetisi untuk memilih entrepreneur muda dalam bidang film. Kriteria utama calon adalah anak muda yang terbukti memiliki kewiraswastaan membangun industri film Indonesia. Sejumlah juri yang dipimpin Mira Lesmana memilih Wahyu Aditya, yang berhasil menyisihkan sekitar 50 peserta. Dan pilihan dewan juri Indonesia tepat.
Di London ia mengalahkan sejumlah finalis, antara lain dari Polandia, Slovenia, Cina, Brazil, Lithuania. Ia meraih gelar International Young Creative Entrepreneur of the Year 2007. Baru pertama kali prestasi itu diraih anak Indonesia.
Di kalangan perfilman, nama Wahyu Aditya telah dikenal menghasilkan karya animasi pendek seperti Dapupu Project (3 menit) dan Stop Human Cloning (4 menit, 26 detik). Dua karya itu sering ”beredar” di festival lokal—bahkan menjadi finalis Short Film Festival di Jepang dan masuk seksi film pendek Festival Film Pussan, Korea. Pada Jiffest 2004: Stop Human Cloning dinobatkan sebagai film pendek terbaik. Aditya dikenal juga membuat klip video Bayangkanlah grup band Padi.
Pembawaannya tenang. Ia mengaku terlambat belajar animasi. ”Pada tahun kedua kuliah, saya baru bisa bikin animasi,” katanya. Ia bercerita, dari umur sembilan tahun ia terobsesi membuat komik. Dengan bolpoin, ia menggambar di buku tulis, membuat majalah serupa Shonen Magazine. Majalah ”buatannya” itu ia beri nama: Sinoe. Di situlah ia menampilkan tokoh-tokoh ciptaannya: Doracemot Si Anjing Ajaib, Resep Cinderlela, dan Dragon Man. Di halaman akhir ia mengiklankan komik-komik yang akan dimuat di ”edisi depan”.
Ketika menempuh pelajaran di SMA 3 Malang, Jawa Timur, ia makin kesengsem pada kartun. Maka, setelah lulus pada 1998, ia menimba ilmu di D3 Multimedia and Animation KvB Institute of Tech, Sydney. Selama dua tahun ia mempelajari teknik membuat animasi.
Tiga tahun silam, bermodal Rp 400 juta pinjaman dari bank, sendirian ia membangun Hello Motion. Sepetak ruko berlantai tiga—tepatnya di Tebet Raya 45 C, Jakarta Selatan—ia sewa sebagai kantor merangkap sekolah animasi. Awalnya ia hanya punya dua orang staf, kini berlipat jadi 32 orang. ”Saya meminjam sertifikat tanah ke orang tua untuk pinjam uang di bank,” ujarnya.
Pada tahun pertama omzetnya hanya Rp 400 juta. Kini omzetnya naik dua kali lipat pada tahun ketiga. Naluri bisnisnya cukup tajam. Ia membuat 4 program: motion graphic, animasi, digital movie, editing. Biaya per program Rp 3,7 juta (kecuali editing program Rp 1,4 juta). Total pelajaran 20 kali pertemuan. Ia membuat kelas sore dan malam. Ia juga membuat kelas animasi untuk anak-anak umur 9-13 tahun dan pelajar 14-17 tahun. Utangnya ke bank pun lunas.
Semula, niatnya, Hello Motion ia dirikan hanya sebagai rumah produksi khusus animasi. Namun kemudian ia gelisah. Banyak orang mengeluh betapa susahnya membikin animasi. ”Terus saya berpikir, kenapa nggak bikin sekolah?” katanya.
Ia kemudian membikin kurikulum pengajaran sendiri yang dirangkum dari pengalamannya kuliah di Sydney, dari pengalamannya bekerja, serta masukan dari sahabat-sahabatnya. Menurut pengakuannya, banyak teori yang diperoleh di bangku kuliah tak terpakai saat ia terjun ke dunia kerja. Di Hello Motion School of Animation and Cinema, dalam tiga bulan seorang siswa sudah bisa membikin animasi sederhana sendiri.
”Jangan sampai orang lain seperti saya,” katanya. ”Ingin bisa bikin animasi tapi lama belajarnya.” Sejak berdiri, Hello Motion School and Cinema sudah meluluskan lebih dari lima ratus siswa. Mereka berasal dari banyak latar belakang, dari karyawan TV hingga pegawai bank.
Adit juga kemudian berinisiatif menggelar Hello Fest—sebuah festival animasi tahunan. Mulanya, karya siswanya yang banyak mengisi Hello Fest. Tapi Hello Fest kemudian menyedot banyak animator muda di luar lingkarannya. Hingga tahun ini Hello Fest telah empat kali diselenggarakan. Hello Fest terakhir diikuti tiga ribu peserta. Untuk menggelar festival ini, Adit mengakui kalang kabut, karena untuk menyewa gedung besar tak ada uang. ”Untuk Hello Fest pertama, saya sampai meminjam gedung milik PDIP (letaknya di seberang kantor Hello Motion),” katanya. Hello Fest tahun ini bertempat di Gedung BPPT di Thamrin, Jakarta Pusat.
Dalam ajang festival buatannya ini ia juga berusaha menjual karya para animator ke televisi, ke masyarakat luas dalam format cakram digital, atau ke perusahaan telepon genggam. Ia juga menawarkan purwarupa karakter-karakter ciptaannya ke banyak perusahaan sebagai merchandise.
Sebagai Presiden Direktur Hello Motion, Aditya ingin membangun Hello Motion hingga ke batas impiannya. Ia rajin melahap buku manajemen dan marketing. ”Saya tak punya bekal manajemen dan marketing, jadi harus baca buku-buku itu,” katanya. Aditya memiliki target mendirikan sebuah institut animasi yang kelak dinamai Hello Motion Institute. Ini sebuah institut betulan, bukan hanya kursus singkat animasi yang rampung tiga bulan. Ini sebuah sekolah animasi yang setara dengan universitas.
Aditya kini menyiapkan rancangan kurikulum institut impiannya. ”Pada 2010, seluruh rancangan kurikulum harus rampung,” katanya. Dia juga kini mencari tanah yang luas di Jakarta untuk lokasi institut tersebut, dengan harapan pada 2012 nanti gedungnya sudah rampung dibangun. Ia juga berancang-ancang pada 2020 bisa mewujudkan sebuah taman bermain dengan banyak wahana serupa Disneyland. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam taman itu bukan Mickey Mouse, Donal, atau Desi, melainkan karakter-karakter ciptaannya. Kini ia terus menciptakan berbagai karakter untuk mengisi taman impiannya. Untuk mewujudkan cita-citanya, tahun depan Aditya berniat menggandeng investor untuk membiayai proyeknya.
Seluruh proyeksi bisnis itulah yang diungkapkan Wahyu Aditya kepada dewan juri di London. Dewan juri yang terdiri dari Pauline Burt (Wales Film Agency), Satwanti Gill (Kepala Film British Council), dan Duncan Kenworthy (produser film Four Weddings and a Funeral) terpukau oleh gagasan dan perencanaannya yang matang. Mereka menganggap itu bukan sesuatu yang muluk. Dewan juri menilai dirinya sukses memadukan kreativitas, idealisme, dan bisnis dalam usia hijau. Duncan Kenworthy bahkan tertarik untuk mendanai sejumlah proyeknya.
Atas kemenangannya, Aditya memperoleh hadiah 7.500 pound sterling (sekitar Rp 138 juta). Itu merupakan modal awal untuk merealisasikan cita-citanya: membeli tanah, menyiapkan infrastruktur sekolah. Betapapun kini sibuk dengan hitungan bisnis, ia tetap menjaga elan kreativitasnya. Saat ini, bekerja sama dengan sebuah rumah produksi, ia sedang mengerjakan sebuah film animasi layar lebar. Kapan dirilisnya? ”Tunggu saja,” katanya.
SJS, Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo