Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika Anda melihat orang menggunakan kursi roda atau jalan tertatih-tatih di tengah keramaian pusat pembelanjaan, mungkin dia pengikut ”terapi mal” ala Piek Mulyadi. Lelaki 77 tahun kelahiran Surabaya itu berhasil pulih dari stroke gara-gara rajin mendatangi mal-mal di Jakarta. Menurut tangan kanan mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin ini, orang yang pernah terkena stroke justru harus dibawa ke keramaian, seperti mal. ”Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri,” ujar salah satu perancang master plan pertama Kota Jakarta (1965-1985) itu.
Piek tak asal omong atau asal berteori. Mantan Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri ini pernah terkena stroke pada usia yang cukup lanjut, 66 tahun. Namun, karena Piek langsung belajar mengenali akibat penyakit saraf pembunuh nomor satu itu, sekaligus memahami model terapi yang dijalani di rumah sakit, dia bisa pulih. Dia bahkan membuat klub untuk pemulihan penderita stroke, Klab Stroke Pondok Indah, pada 2000. Kegiatannya hura-hura, seperti berkaraoke dan jalan-jalan ke mal.
Kini Piek, yang memiliki tinggi badan 180-an sentimeter, tampak tegap dan atletis. Cara dia bercerita juga lancar dan runtun. Satu-satunya bekas stroke yang masih kelihatan adalah cara dia berjalan: seperti robot. Kepada Tempo, Rabu pekan lalu, Piek dengan bersemangat menuturkan pengalamannya—Piek memang selalu bersemangat untuk berbagi cerita tentang proses penyembuhan stroke.
Serangan stroke mengintai Piek pada suatu hari ketika dia akan berangkat kerja pada 1996. Piek merasa tidak enak badan, sehingga dia memutuskan mampir ke dokter keluarga. Ternyata tekanan darahnya tinggi, mencapai 200 mmHg, sehingga dokter pun menyarankan dia beristirahat di rumah. Namun saran dokter tak dituruti karena Piek punya banyak pekerjaan pada hari itu. Apalagi, karena merasa sebagai donor darah tetap, Piek tidak yakin tekanan darahnya akan berdampak buruk. Mantan Wakil Gubernur Jakarta itu pun tetap beraktivitas seperti biasa.
Esoknya, saat Piek masih di tempat tidur, cucunya mendatangi dia. Sang eyang langsung ingin menggendongnya. Namun Piek tak bisa bergerak. Mau memeluk si cucu, dia malah terjatuh. Lulusan Institut Teknologi Bandung itu langsung dibawa ke rumah sakit. Namun dokter hanya menyatakan Piek terlalu lelah dan harus beristirahat.
Untungnya, Piek tak puas dengan penjelasan itu. Hingga akhirnya, dia dibawa ke Rumah Sakit Pertamina, Jakarta Selatan, untuk dipindai dengan magnetic resonance imaging. Tindakan itu pun terlambat. Piek harus menunggu dua hari sebelum otaknya dipindai. Inilah yang membuat serangan stroke-nya makin berat. Piek kehilangan golden period—periode dini menangani stroke sehingga serangannya tidak fatal. ”Itu yang saya sesalkan,” katanya. Piek pun lumpuh.
Selain mendapat obat-obatan stroke untuk menghancurkan sumbatan pembuluh darah pada otak—penyebab stroke—Piek menjalani terapi lain, yaitu menggerak-gerakkan jari dan berhitung. Cara tersebut dilakukan untuk menyembuhkan kelumpuhan dan menghindarkannya dari lupa, dua gejala yang membuat insan pasca-stroke (IPS)—istilah bagi penderita stroke pascaserangan—selalu bergantung pada orang lain selama sisa hidupnya.
Yang aneh, pada Piek, stroke tidak membuat dia lupa. Ingatannya justru menguat. Buktinya, Piek pernah lupa apa yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas yang dialaminya ketika tinggal di Jerman. Saat itu, dia koma lima jam. Namun, pasca-stroke, Piek malah dapat mengingat detail kecelakaan: saat keluar dari hotel, dia menyeberang jalan, dan dari jauh tampak sebuah mobil ngebut. ”Saya lari dan melompat, saya jatuh, kepala membentur trotoar,” kisahnya.
Setelah itu, Piek makin rajin mengikuti terapi gerakan tubuh (fisioterapi), sekaligus berusaha memahami alasan mengapa cara tersebut dilakukan. Bahkan Piek memilih memperpanjang waktu tinggal di rumah sakit agar lebih bisa belajar teknik penyembuhan stroke. Misalnya, Piek melihat seorang pasien, yang dipapah, saat latihan nyaris jatuh. Namun, secara refleks, pasien itu mencoba mencari pegangan. ”Dari situ saya belajar, meski lemah, pasien sebenarnya punya power,” ujarnya. Dia pun menyebut gerakan refleks mencari pegangan agar tak jatuh itu sebagai ”keseimbangan sirkus”. ”Seperti pemain sirkus berjalan di atas jembatan tali,” katanya.
Di rumahnya, Piek makin rajin belajar ”keseimbangan sirkus” itu. Dengan menggunakan walker—alat bantu jalan—Piek perlahan berlatih jalan. ”Pertama, hanya setengah meter sudah terengah-engah,” kisahnya. Sejak itu, Piek menggunakan berbagai macam cara agar bisa jalan, dari pakai dingklik (bangku kecil dari kayu), jalan-jalan di atas pasir pantai Ancol, sampai jalan ala tentara, baris-berbaris.
Setelah lumayan menguasai jurus ”keseimbangan sirkus”, tahap berikutnya adalah memulihkan rasa percaya diri—merosotnya kepercayaan diri punya peran besar menghalangi penyembuhan stroke. Dia pun memutuskan jalan-jalan ke mal. ”Semua anggota keluarga heran,” kisahnya. ”Saya mau tahu diri saya di mata masyarakat. Bagaimana orang memandang orang di kursi roda. Ternyata tak ada orang yang mempersoalkan, tak ada orang yang ribut.” Jalan-jalan ke mal akhirnya menjadi kegiatan rutin Piek.
Dari pergi ke mal itulah Piek dapat mengambil pelajaran bahwa untuk seseorang yang terkena stroke, lingkungan sosialnya juga mesti dijaga. Jangan sampai penderita terpisah dari kehidupan sehari-hari. ”Misalnya, kalau orang biasa main basket, usahakan main basket walaupun di atas kursi roda,” katanya.
Setelah berhasil dengan diri sendiri—sekitar dua tahun setelah serangan—Piek mulai menularkan jurus ”keseimbangan sirkus” dan ”terapi mal” kepada penderita stroke yang dia kenal. ”Ada yang berhasil, bagi yang punya tekad tak pantang menyerah, tapi juga ada yang gagal, karena egonya,” ujarnya.
Klab Stroke Pondok Indah yang dibentuknya itu berisi berbagai kegiatan yang menyenangkan. Pokoknya gaul. ”Perkumpulan stroke memang merupakan perpanjangan dari program latihan dasar rehabilitasi penderita stroke, agar pasien aktif, menghilangkan kesedihan dan depresi, dan kembali bermasyarakat,” ujar pemimpin Sentra Stroke dan Revitalisasi Karmel, dokter Hermawan Suryadi, spesialis saraf, klub stroke lain yang terletak di Jakarta Barat.
Bergabung dengan klub stroke merupakan salah satu cara membantu pemulihan stroke. ”Dengan klub itu, sesama penderita bisa berbagi pengalaman,” ujar dokter ahli saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Nurdjaman. Seperti kata Piek, obat yang paling mujarab adalah motivasi diri untuk pulih. Apalagi, hingga kini, penelitian dunia kedokteran belum begitu banyak tahu bagaimana dampak serangan stroke pada otak. Bagaimana menjelaskan sel-sel otak yang hanya rusak sementara, permanen, atau malah mengakibatkan ingatan menguat seperti yang terjadi pada Piek (lihat ”Misteri Otak Pasca-Stroke”).
Namun, Nurdjaman menekankan, tetap dibutuhkan obat-obatan medis untuk mengatasi sumber utama, yaitu penyumbatan jalan darah. Selain itu, tentu saja orang wajib menjalani gaya hidup sehat.
Ahmad Taufik
Misteri Otak Pasca-Stroke
Masih banyak misteri pada otak setelah seseorang terkena stroke. Ada sel-sel otak yang hanya rusak temporer kemudian dapat kembali berfungsi; kadang otak dapat mengenali kembali fungsinya sendiri; atau ada bagian otak tertentu yang ”menggantikan” fungsi bagian lainnya. Untuk itulah penderita stroke kadang sembuh tanpa diduga dan tanpa bisa dijelaskan.
10% penderita stroke sembuh total.
25% pulih dengan kekurangan kecil.
40% menderita ketidakmampuan sedang hingga parah yang butuh perawatan khusus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo