Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Kebersahajaan di Pinggir Kolam

Fotografer Tara Sosrowardoyo memamerkan 50 karyanya. Ada keseimbangan antara konten dan keindahan dalam karya-karyanya.

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH apa yang sedang dipikirkan pria ini. Ia menelungkup di tepi kolam Lincoln Memorial, Washington, DC—mungkin mulutnya menyeruput air, mungkin memandangi pantulan wajahnya di permukaan, atau mungkin juga terlelap tanpa disadari. Satu-satunya tanda yang bisa bercerita tentang identitas dirinya hanya sebuah sombrero jerami khas negara-negara Amerika Tengah yang diletakkan di dekat kaki kanannya. Di luar itu, ia adalah sosok anonim. Bahkan Tara Sosrowardoyo, fotografer yang memamerkan foto itu di Galeri Gedung Dua 8, Kemang, Jakarta, tak mengenal dia.

Fotografer Indonesia bereputasi internasional yang memamerkan 50 karya fotonya sepanjang 15 Desember 2002-16 Januari 2003 ini memang tak memberikan ruang cukup untuk membuatnya lebih menonjol dalam foto berjudul pendek Washington DC, 1984 itu. Lelaki itu sama sekali tak mendapatkan perlakuan istimewa. Selaku fotografer, Tara Sosrowardoyo telah memutuskan, lelaki itu tak lebih penting dari langit Washington, DC, kolam Lincoln Memorial, tugu, dan barisan pepohonan di kanan-kiri kolam. Ia memang tidak "tenggelam" ditelan obyek-obyek itu, tapi tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri tanpa dukungan obyek-obyek di sekitarnya.

Lelaki berbaju kotak-kotak bercelana hitam itu layak masuk kategori "figuran" dibandingkan dengan foto aktor sejarah—negarawan, seniman, dan budayawan—yang bertaburan di pameran sederhana ini. Lihatlah bagaimana Tara melukiskan Xanana Gusmao, Megawati, Anwar Ibrahim, Mahathir Mohamad, Abdurrahman Wahid, Umar Kayam, Teguh Karya, atau Goenawan Mohamad melalui bahasa foto. Untuk memperlihatkan kekuatan dan keteguhan seorang Xanana Gusmao, Tara menyuruhnya berdiri di depan tembok yang retak di Penjara Cipinang sambil memandang tajam ke arah kamera. Dan untuk menunjukkan sisi kepenyairan Goenawan Mohamad, ia mempersilakan si penyair duduk melonjorkan kaki di sebuah kebun di antara dedaunan kering di Depok. Ada kernyit yang tertoreh di kening Goenawan, yang membuat foto Goenawan Mohamad, poet, columnist—Depok 1994 ini tampak berkarakter.

Dalam foto-fotonya yang lain, kelihatan Tara secara istimewa memperlakukan seseorang yang sekarang masih meringkuk di penjara Malaysia: Anwar Ibrahim. Di belakang Anwar tampak susunan buku di dalam rak-rak yang turut "mendukung" penonjolan sisi intelektual seorang Anwar Ibrahim. Anwar tidak diam, tidak beku. Sementara mulutnya nyerocos mengungkapkan gagasan-gagasan, kamera Tara Sosrowardoyo bergerak merekamnya di sudut-sudut tertentu, dengan pelbagai ekspresi. Hasilnya memang tidak teramat menggigit, tapi misi yang hendak diraih tercapai sudah.

Sejarah kerap lebih terpukau pada tokoh-tokoh yang berdiri di pucuk popularitas atau di titik tertinggi kekuasaan politik. Sedangkan si lelaki yang menelungkup di tepi kolam Lincoln Memorial tetap anonim, tak pernah tercatat dalam sejarah, sekalipun ia mengorbankan begitu banyak untuk meluruskan atau membelokkan arah sejarah. Nah, di sinilah Tara menumpahkan perhatian dan sensitivitasnya. Tepat di tempat lelaki itu menelungkup, hampir 40 tahun silam, 28 Agustus 1963, bergeraklah massa berkekuatan 250 ribu orang dengan satu tujuan: menghapuskan diskriminasi. Warga kulit hitam, kulit berwarna, dan kulit putih berbaris dalam suatu barisan yang kompak. Apalagi pidato tokoh hak asasi manusia Martin Luther King, Jr. yang berjudul I Have a Dream ketika itu begitu tepat mengiringi hati mereka yang hangus oleh semangat kesetaraan.

Washington DC, 1984 adalah karya yang bersahaja: sepi, irit obyek, tapi kaya ruang, seakan-akan memang mempersilakan asosiasi pemirsa melambung ke suatu titik di masa lampau, sesuai dengan tafsir masing-masing. Menghasilkan foto sederhana seperti ini tentu tidak mudah. Elemen-elemen kolam, pria yang menelungkup, tugu, dan langit sama pentingnya, dan masing-masing punya hak yang sama untuk menunjukkan keindahan wujudnya. Simplisitas ini adalah hasil dari suatu pergulatan seniman yang "berkeringat", makan waktu, imajinasi, dan tenaga, tapi menunjukkan kualitas seorang seniman. Proses kreatif seorang seniman—meminjam istilah filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre yang jitu—ibarat dapur suatu restoran: centang-perenang, hectic, tapi harus muncul dengan sajian hidangan terbaik di hadapan pengunjung.

Renungan, pengendapan, perasaan, lika-liku pengalaman hidup, penguasaan teknis, semuanya telah bertumpuk selapis demi selapis dalam benak si seniman. Apa yang terjadi ketika si seniman akhirnya selesai menggubah karya itu hanyalah satu titik dalam garis yang panjang dan tidak terukur. Dan "ilham" yang mungkin suka turun di tepi sungai atau laut, atau ketika sang seniman duduk di sebuah kedai minum, pada hakikatnya hanya suatu momen kepekaan yang paling tinggi.

Tara Sosrowardoyo, 50 tahun, dengan pengalaman di dunia fotografi yang mencapai seperempat abad, adalah seniman yang telah berjalan jauh. Ia, yang pernah belajar psikologi di Australia tapi banting setir belajar film dan fotografi di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), diakui dunia internasional. Ia, yang kini beristri Marina Mahathir, putri Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, pernah terlibat dalam pembuatan foto One Day in Vetnam, proyek pembuatan foto tentang Vietnam oleh juru foto dari berbagai negara.

Dalam pameran yang diberi judul "+" ini, kita bisa menangkap penjelajahan Tara dalam fotografi—terkadang bercanda, terkadang cantik tapi dangkal, bersahaja tapi memukau, dan masih banyak lagi. Karya-karya Tara Sosrowardoyo menerbarkan kesan adanya satu keseimbangan antara aspek keindahan dan konten. Tara, yang pada 1970-an dan 1980-an kerap menampilkan karya bernada humor, memang berubah ketika memasuki era 1990-an. Pengalaman pribadi memang banyak memberikan pengaruh dalam perjalanan kreativitasnya.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus