Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semakin hari semakin banyak orang yang memandang musik klasik sebagai obat kuat (baca: afrodisiak). Hanya, sementara obat kuat dibutuhkan untuk meningkatkan ketegangan di wilayah-wilayah yang bisa membawakan aspirasi libido manusia, musik klasik justru dikehendaki untuk meningkatkan rangsangan di wilayah otak. Dengan kata lain, orang percaya bahwa musik klasik mendongkrak IQ (intelligence quotient) lebih cepat daripada memasak mi instan.
Data yang diperoleh dari dunia akademis memang menyebutkan, orang yang mendengarkan Mozart beberapa saat sebelum menjalani tes IQ mendapat hasil yang lebih baik daripada yang tidak melakukannya. Kira-kira sepuluh tahun lalu, Shaw dan Rauscher, dua peneliti dari Universitas Wisconsin, di Oshkosh, Amerika Serikat, mengumpulkan bukti-bukti akan hal itu. Prestasi mahasiswa yang sempat mendengarkan Sonata for Two Piano in D Major-nya Mozart 48 persen lebih tinggi daripada mereka yang tidak mendengarkan apa-apa-atau 51 persen di atas mereka yang mendengarkan musik tapi tidak selektif.
Dukungan terhadap Shaw, Rauscher, dan kawan-kawan pendahulunya semakin deras. Beberapa pengamatan medis mengatakan karya Mozart itu membantu meredakan "korsleting" di antara sel-sel saraf otak para penderita ayan, serta perlahan-lahan berhasil mengurangi gerakan tak terkontrol di antara penderita Alzheimer. Bahkan penelitian yang dilakukan terhadap tikus putih di laboratorium juga cenderung mendukung kemampuan "berpikir" dan motorik tikus yang telah mendengarkan Mozart-jika dibandingkan dengan yang tidak dikasih kesempatan yang sama.
Sebagaimana diketahui, pelbagai berita di seputar Mozart berikut janji-janji pengembangan inteligensi segera ditangkap pasar dengan tangan terbuka. Empat tahun lalu, di Amazon.com, Music for Mozart Effect Vol.1 masuk dalam daftar sepuluh besar. Sebuah album yang sukses yang kemudian cepat disusul dengan penerbitan album dengan judul lebih lugas, The Mozart Effect: Music for Children Vol. 1 - Time Up Your Mind. Sekarang, CD, kaset rekaman karya-karya jenius yang-konon-meninggal karena kelelahan dan penyakit ginjal kronis di usia 36 tahun itu menjadi salah satu produk rekaman yang paling diincar wanita hamil, dikejar para orang tua yang tak ingin anaknya jadi pecundang di kemudian hari, dan jadi obat "doping" orang dewasa yang ingin meningkatkan kapasitas berpikirnya.
Mengapa mesti Mozart? Mengapa bukan Ludwig van Beethoven, yang raut wajahnya tentunya lebih fotogenik daripada Mozart dan karya pianonya yang diberi judul Fur Elize didendangkan lebih dari sejuta kali dalam sehari oleh mesin penjawab telepon? Mengapa pula bukan karya Paganini, yang memiliki garis melodi memukau tapi selalu bikin frustrasi para pemain biola untuk menarikan jarinya di atas leher instrumen tersebut? Atau Stravinsky, yang secara dinamis mengubah-ubah ketukan sampai musik berhenti?
Di bawah naungan strategi pasar yang jitu, euforia tentang musik klasik yang mampu memompa ukuran IQ bayi dan orang dewasa ini memang sudah telanjur menyebar. Tapi, kalau mau jujur, hingga detik ini belum ada penelitian yang sanggup menjelaskan fenomena ini secara tuntas. Jawaban Gordon Shaw, seorang ahli saraf yang bekerja di Universitas California, di Irvie, Amerika Serikat-temuan ini boleh jadi satu-satunya yang konon mendekati kenyataan-paling-paling cuma sebatas menawarkan gambaran kemungkinan. Gordon hanya sanggup melukiskan Sonata for Two Piano in D Major mempunyai "bahasa" yang seakan-akan bisa dipahami oleh susunan sel saraf pusat. Ya, di layar monitor tampak reaksi sel-sel itu yang mencolok tatkala Mozart "berbicara" dalam "bahasa" mereka melalui Sonata in D Major itu.
Gordon, yang telah belasan tahun mengamati pola kerja sel-sel saraf pusat, menemukan: sel itu selalu berdenyut secara ritmis dan mereka memberikan respons positif ketika komposisi Mozart itu menawarkan sesuatu yang kira-kira pas dengan irama napasnya. Sonata in D Major adalah musik yang mengalami peralihan yang cukup kontras, dari keras ke lunak, dari crescendo ke decrescendo, atau sebaliknya, nyaris setiap 30 detik. Tapi bagaimana halnya dengan orang dewasa yang masih bernafsu untuk mendongkrak IQ-nya melalui sentuhan komponis yang sudah menciptakan komposisi cukup kompleks-paling tidak jika dibandingkan dengan musik pop kini-ketika usianya baru 4 tahun itu?
Sesungguhnya musik klasik bukan masuk dalam kelompok afrodisiak yang memang diciptakan untuk tujuan pragmatis: sekali dipakai, langsung tokcer, untuk kemudian dibuang tanpa meninggalkan bekas. Kendati tidak semenyeramkan yang dibayangkan banyak orang, adalah terlalu gegabah jika musik klasik dipandang seinstan itu. Lantaran perbedaan latar belakang, kebiasaan, dan pengalaman, kuping-kuping yang belum pernah tersentuh musik klasik biasanya tidak bisa terima jika disodori seni yang menjadi salah satu pilar pencapaian tertinggi peradaban Barat itu.
Jangankan mereka yang terbiasa dengan slendro dan pelog, para fanatikus musik country di Amerika saja akan menyumpah-nyumpah dan sekujur badannya akan gatal-gatal apabila kepada mereka ditawarkan J.S. Bach, Mozart, atau Rimsky Korsakov. Di samping itu, sejarah musik klasik pun mencatat betapa ungkapan "alah bisa karena biasa" bukan merupakan ungkapan yang salah alamat jika kita berpaling pada kasus The Rite of Spring. Karya Igor Stravinsky itu memang didudukkan di tempat terhormat dalam dunia musik sekarang. Tapi dulu, dalam pergelaran perdananya di Paris, 1913, penonton dan kritikus menyambutnya dengan hujatan-hujatan mencemooh dan teriakan kasar.
Demi kepentingan praktis, para dokter yang melakukan terapi dengan musik klasik biasanya menyarankan agar para pemula mendengarkan beberapa nomor musik yang tergolong "klasik kelas bulu". The Nutcracker-nya Tzchaikovsky, Symphony No 5 (allegro con brio) atau Symphony No 9 ("Song of Joy")-nya Beethoven yang sudah populer luar biasa itu, pasti tidak asing di telinga para pendengar musik pop. Juga Rondo alla Turca, salah satu piano sonata W.A. Mozart yang lebih dikenal dengan sebutan "Turkish March". Rondo alla Turca adalah musik yang seolah-olah bergerak seringan kapas, nada-nadanya berloncatan seriang anak menjangan, namun tetap memiliki susunan komposisi piano yang lumayan kaya. Kemudian, pejamkan mata dan coba telusuri perjalanan tiap instrumen sewaktu meningkahi garis melodi utama.
Sekiranya petualangan musikal ini mengantar kita pada konserto, bersiap-siaplah untuk hanyut dalam pertarungan hangat berkepanjangan solois melawan seluruh orkestra. Si solois berhadap-hadapan dengan kawan-kawannya yang bergerak mengikuti partiturnya masing-masing, termasuk membawakan kontra-melodi, kontra-bas, atau sekadar memberikan perbedaan warna. Di satu pihak, konserto menunjukkan karakteristik sebuah matriks. Namun, di lain pihak, ia seperti sungai yang menghanyutkan dan membawa segenap elemen yang dikandungnya ke satu tujuan: laut lepas.
Ada kalanya garis melodi utama tampak setenang telaga, namun "arus bawah"-nya bergerak dinamis. Selalu ada pertentangan "arus atas-arus bawah" yang menerbangkan kita pada sensasi musikal luar biasa. Musik Mozart-juga musik klasik umumnya-memang bukan mi instan atau obat kuat. Meski, bukan pula sesuatu yang harus disakralkan.
Mozart pada tahun 2007 adalah Mozart yang telah memasuki usia 251 tahun. Mozart, ia memanggil dirinya Wolfgang Amadeus, atau Wolfgang Amadeu-begitu bunyi tanda tangannya-lahir di Salzburg, 27 Januari 1756. Hidupnya penuh drama: ia mati muda, pada usia 36 tahun, tapi menghasilkan 622 buah karya musik luar biasa. Sampai usia remaja, dialah keajaiban yang paling dikagumi; dialah bintang konser yang paling terang di Prancis, Italia, dan Austria. Memasuki usia 30 tahun, ia dilupakan. Saat kematian menjemputnya, ia meninggalkan banyak utang kepada keluarganya.
Banyak legenda tentang kematian Mozart. Di pekuburan St Mark's, sebuah monumen putih berdiri, pada dindingnya tertera W.A Mozart 1756-1791, dengan patung malaikat kecil yang tampak rapuh-termenung, pandangannya menuju ke bawah. Dan itulah sebuah rekonstruksi. Jasad Mozart dipercaya dikuburkan di pekuburan massal untuk orang miskin, 4-5 mayat untuk satu lubang. Ia dikuburkan tanpa musik, tanpa kata-kata melepas tubuhnya, tanpa upacara.
Mungkin dari situlah, segalanya mengenai hidupnya kerap kali digambarkan dengan ungkapan superlatif. Beberapa tahun silam, majalah The New Yorker memuat sebuah kartun yang diberinya teks: segalanya yang perlu Anda ketahui tentang Mozart. Ilustrasinya tak menyenangkan. Lanskap yang muram, seolah sudah ditinggalkan penduduknya; puing-puing teronggok, asap, barang-barang terbakar, sampah tersebar di mana-mana. Kartun itu diberi judul "Hidup Tanpa Mozart".
Mozart hidup lagi, dan mendatangkan banyak uang. Di Wina yang dingin, akhir tahun lalu, ke mana pun kaki melangkah, ke mana pun mata mengarah, Wolfgang Amadeus Mozart, si pencipta Ave Verum Corpus itu, ada di setiap sudut. Mozart sudah bisa ditemukan di pakaian dalam, botol bayi, sedotan bayi, milkshake, parfum, bahkan di bola golf. Bahkan setiap makanan, cemilan atau minuman-mau minum yogurt, cokelat, kacang, makan sosis-semua bergambar Mozart. Tidak usah ditanya soal musiknya.
Sepanjang hidupnya, Mozart nyaris tidak pernah merayakan ulang tahun. Mozart sendiri mungkin tidak pernah membayangkan ulang tahunnya akan dirayakan semeriah ini. Tapi di "usia"-nya yang ke-250, Mozart dihadiahi sejumlah pertunjukan teater, rumah yang direnovasi untuk kesekian kalinya, pameran dan pertunjukan sepanjang tahun di Da Ponte Institute, festival film atas nama Mozart yang diberi nama New Crowned Hope-tahun ini salah satu nominasinya adalah Opera Jawa karya Garin Nugroho-dan banyak lagi.
Secara formal, peringatan ini akan berakhir pada 31 Desember 2006, tapi Tahun Mozart akan terus berlanjut. "Setiap tahun adalah Tahun Mozart," kata Petra Eckhart, salah satu penyelenggara Mozart Year 2006. Pemerintah Austria pun sejak semula sudah merestui ulang tahun Mozart ini. Sekitar 100 juta euro dihabiskan untuk biaya promosi. Biaya ini bisa tertutupi dengan 300 ribu pengunjung. Tapi hari ini, jumlah pengunjung jauh melebihi. Hingga akhir tahun 2006, diperkirakan turis yang datang ke Wina untuk menemui Mozart mencapai 6,5 juta orang.
Tidak hanya industri musik dan pariwisata yang bisa mengeruk keuntungan. Penerbit sepertinya siap menerbitkan apa saja yang menyangkut nama Mozart. Buku, misteri kematiannya, novel,biografi, penelitian, dan lain-lain. Buku yang diproduksi sama banyaknya dengan karya Shakespeare dan bahkan sama banyak dengan kisah hidup Yesus Kristus.
Walaupun 12 ribu judul buku sudah diterbitkan tentang Mozart, tahun ini setidaknya ada ratusan judul lagi yang akan diterbitkan. Di antaranya adalah karya Stanley Sadie yang menulis biografi tentang masa kecil Mozart, Jane Glover tentang wanita-wanita di sekitar Mozart, dan 48 penulis yang bergabung menerbitkan Cambridge Mozart Encyclopedia tentang fakta-fakta dan sejumlah anekdot tentang Mozart. Musisi ini tidak akan pernah habis. Seperti statemen dari penyelenggara peringatan 250 tahun Mozart, "Mozart will always be a beginning."
Angin musim gugur yang dingin juga menyusup sampai ke lorong-lorong kecil hingga ke sebuah jalan bernama Domgasse di tengah Kota Vienna. Di atas jalan kecil yang sepi ini berjejer rapi gedung-gedung apartemen elegan yang berumur tua. Apartemen berwarna dingin (putih, kuning pucat, abu-abu) itu seperti benteng dan bisa membuat suara sekecil apa pun memantul ke mana-mana.
Tak ada yang istimewa di Domgasse, kecuali Wolfgang Amadeus Mozart pernah tinggal di salah satu apartemen itu. Maka, apartemen nomor 5 yang bercat putih beraksen abu-abu itu jadi istimewa. Apartemen tua, suram, tapi masih elegan. Ya, apartemen borjuis dengan langit-langit penuh ornamen dan dinding-dinding yang dilukis.
Lebih dari 40 jenis mural berumur 250 tahun bisa ditemukan di berbagai ruangnya. Beberapa di antaranya sudah rusak dan tidak dapat lagi diselamatkan. Selasar dengan langit-langit berbentuk kubah tidak diubah sama sekali, tapi halaman bagian dalam, di bagian kanan selasar, terpaksa direnovasi karena kondisinya yang sudah tidak bisa diperbaiki.
Adalah pemerintah Kota Wina dan pengelola Museum Wina yang melihat prospek apartemen ini. Maka, apartemen berwajah suram itu pun dipoles sedemikian rupa. Aslinya, Mozart hanya menempati lantai 1 yang terdiri dari 2 ruang kecil dan 4 ruangan yang lumayan besar serta sebuah dapur. Tapi, oleh Museum Wina, seluruh gedung ini dibeli. Setiap sudutnya direnovasi. Kayu-kayu diganti, dinding dipulir ulang, engsel pintu diminyaki, setiap lubang ditutupi.
Seperti museum pada umumnya, ruangan-ruangan yang ada di gedung ini sebisa mungkin menghidupkan imajinasi pengunjungnya pada masa Mozart tinggal di tempat itu. Meski Mozart hanya tinggal di lantai satu, lantai di atasnya juga diikutsertakan atas nama Mozart.
Lantai tiga menjadi tempat presentasi masa-masa kehidupan Mozart di Vienna. Foto-foto dan sejumlah karya instalasi dipasang di lantai ini. Dari alat pendengar, kepada setiap pengunjung diperdengarkan cerita tentang kehidupan sosial Mozart sambil memandangi foto orang-orang dekatnya kala itu.
Salah satu ruang didesain untuk menggambarkan hubungan Mozart dan Vienna. Sebuah monitor ditempatkan di lantai, dan sebuah lagi ditempatkan di atas dinding. Monitor ini memperlihatkan Vienna dari ketinggian dan pengunjung bisa melihat kota itu 180 derajat. Monitor ini juga seperti berjalan, menyusuri tempat-tempat di Wina, berhenti di tempat Mozart pernah tinggal.
Lalu ruang di sebelahnya diperuntukkan bagi orang-orang yang pernah berinteraksi dengan Mozart (pelanggan, penyokong, teman-temannya, dll). Lalu dilanjutkan dengan instalasi "Mozart and his time", berupa lemari kaca yang menempatkan Mozart dalam sejarah Vienna. Di tengah lemari kaca ini ada dua monitor yang memutar film-film dalam tiga bagian: "1781-1784 Fire of the Enlightenment", "1785-1788 Calm before the Storm" and "1789-1791 Revolution".
Sementara itu, di lantai dua banyak digambarkan kehidupan Mozart sebagai komposer di berbagai pertunjukan opera. Di salah satu ruang diperlihatkan musisi dan komposer paling penting dalam karier Mozart. Lalu di ruang sebelahnya khusus untuk pertunjukan tiga serial opera Mozart yang ditulis oleh Da Ponte: Le Nozze di Figaro, Cosi Fan Tutte, dan Don Giovanni.
Ruangan ini masih asli dengan langit-langitnya yang penuh ornamen dan lukisan-lukisan dinding. Ruang penghubung antara satu dan lainnya didedikasikan untuk The Requiem, karya terakhir sebelum kematiannya pada 5 Desember 1791. Ruang terakhir di lantai dua diperuntukkan untuk The Magic Flute, opera Mozart yang paling sukses dan masyhur.
Dalam ruang ini terdapat karya instalasi tiga dimensi yang menunjukkan berbagai adegan The Magic Flute dari tahun 1791 hingga zaman kontemporer. Berbagai film karya para sutradara juga dipertontonkan. Instalasi ini menggunakan lima layar monitor sebagai latar belakang.
Lalu turun ke lantai satu yang diklaim sebagai tempat paling otentik menunjukkan bagaimana hidup Mozart ketika itu. Mozart pindah ke tempat itu pada 29 September 1784 dengan istrinya, Constanze, dan bayi mereka yang baru berumur 9 hari, Karl Thomas. Selain mereka, ada tiga orang pelayan serta seekor anjing.
Apartemen ini satu-satunya gedung yang tersisa dari jejak Mozart di Wina. Di sinilah ia menciptakan Le Nozze di Figaro. Apartemen ini sebetulnya sudah dibuka untuk umum dengan berbagai macam desain dan tema pameran sejak lebih dari 60 tahun lalu. Tapi hampir setiap tahun rumah ini direnovasi, layout diubah, dengan berbagai tema yang selalu berganti.
Sayangnya, meski diklaim sebagai tempat paling otentik, tidak ada satu pun perabot asli yang bisa jadi referensi untuk rekonstruksi di apartemen ini. Juga tidak banyak informasi tentang kegunaan ruang-ruang dan bagaimana ruang ini ditata pada saat Mozart tinggal di situ.
Pengunjung harus bisa menggunakan imajinasi untuk bisa mengira-ngira bagaimana ruang itu dulunya berdasarkan ukuran, pintu, dan jendela. Di mana ruang musiknya? Di ruang mana dulu ia menciptakan Le Nozze di Figaro? Silakan menebak.
Pada 1995, apartemen ini didesain kembali oleh arsitek Elsa Prochazka. Pada tahun 2006, ruang-ruang ini sebagian dibiarkan kosong agar pengunjung bisa berimajinasi. Pihak museum hanya menyediakan perabot yang kira-kira diproduksi pada zaman itu dan memajangnya di tempat yang juga kira-kira.
Agar kesan otentik itu lebih terasa, benda modern macam kabel listrik, saklar lampu, dan lain-lain disembunyikan sedemikian rupa. Dan pada 27 Januari 2006 lalu, apartemen ini pun dibuka kembali untuk kesekian kalinya dengan ucapan "Selamat Datang di Mozarthaus".
Asmayani Kusrini (Wina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo