Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bursa Jakarta

PASAR saham di Bursa Efek Jakarta pekan lalu terguncang. Dalam sepekan, indeks melorot 8,43 persen ke level 1.678,04 atau turun 154,51 poin dari posisi penutupan pekan sebelumnya. Beberapa saham yang ambrol antara lain Perusahaan Gas Negara (-31,16 persen), Timah (-16,39 persen), dan Astra Internasional (-10,45 persen).

Guncangan terjadi setelah para pemodal asing dan lokal ramai-ramai menjual portofolio sahamnya secara bersamaan lantaran panik melihat gejolak pasar keuangan di Thailand. Gejolak itu muncul setelah pemerintah Thailand membatasi kepemilikan asing pada perusahaan-perusahaan dalam negeri hingga di bawah 50 persen.

Tak hanya di Jakarta, efek Thailand juga menyebabkan sejumlah indeks bursa di Asia ikut turun: Hong Kong (-2,99 persen), Taiwan (-0,94), Singapura (-0,93), Tokyo (-0,20), dan Kuala Lumpur (-0,10). Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah mengimbau pelaku pasar dan investor tak terpengaruh dengan krisis Thailand itu. "Itu hanya sementara saja," katanya di Jakarta pekan lalu.

Di Jakarta, penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) harian terparah terjadi pada Rabu pekan lalu dengan anjlok 70,514 (3,96 persen) ke level 1.710,367. Kejatuhan itu merupakan penurunan harian terbesar ketiga dalam satu tahun terakhir. Sebelumnya, indeks pernah anjlok tajam 96,238 poin (6,3 persen) dan 83,945 poin (6,03 persen) pada 15 Mei dan 22 Mei 2006 akibat kejatuhan bursa saham utama dunia. n

Harga Minyak Terus Anjlok

Tren penurunan harga minyak mentah dunia terus berlanjut. Sejak awal 2007 ini, harga minyak mentah yang semula masih di kisar-an US$ 60 per barel sudah turun lebih dari 15 persen akibat anjloknya permintaan karena lebih hangatnya suhu di musim dingin kali ini. Bahkan, pada Kamis lalu, harga minyak menyentuh level terendah dalam 19 bulan terakhir.

Di bursa komoditas London, harga minyak jenis Brent untuk penyerahan Februari ditutup pada harga US$ 51,70 per barel, harga terendah sejak 31 Mei 2005. Sedangkan di bursa komoditas New York, minyak mentah jenis light untuk penyerahan Februari juga ditutup pada level US$ 51,88 per barel, level terendah sejak 27 Mei 2005. Namun, sehari berikutnya harga minyak sedikit pulih kembali naik di atas US$ 52 per barel.

Terus turunnya harga minyak ini di luar dugaan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Untuk menahan laju penurunan, OPEC segera merealisasi pemangkasan produksi minyak pada 1 Februari ini hingga 1,7 juta barel per hari menjadi 25,8 barel per hari. Pada November lalu, OPEC mengurangi produksi hingga 1,2 juta barel per hari. "Kami akan menjaga harga di kisaran US$ 60 per barel," ujar Presiden OPEC Mohamed al-Hamli.

Telkom Ekspansi

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) sedang berancang-ancang melebarkan sayapnya ke luar negeri. Perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu sudah membentuk anak perusahaan baru, PT Telkom Internasional. "Setelah mendapat pengesahan secara legal, Telkom Internasional bisa segera berjalan," kata Wakil Direktur Utama Telkom Garuda Sugardo di Jakarta pekan lalu.

Menurut Garuda, Telkom Internasional akan bergerak di bidang jasa konsultasi, pendidikan, dan penyediaan layanan telekomunikasi berbasis code division multiple access (CDMA). Kegiatan usaha perusahaan baru itu akan berfokus di negara-negara Asia dan Afrika. Untuk pengembangan usaha, tahun ini Telkom telah mengalokasikan belanja modal (capital expenditure) Rp 15-20 triliun.

Direktur Utama Telkom Arwin Rasyid sebelumnya sudah memberi sinyal soal ekspansi usaha ke luar negeri itu. Menurut Arwin, hal itu terkait upaya peningkatan kapitalisasi pasar (market capitalization) Telkom menjadi US$ 30 miliar (sekitar Rp 273 triliun) pada lima tahun mendatang. Tahun lalu, kapitalisasi pasar Telkom mencapai Rp 184,5 triliun atau melonjak 900 persen sejak masuk bursa pada 1995.

Sinar Mas Masuk ke Biofuel

Sinar Mas Group akan melebarkan sayap ke bisnis biofuel. Anak perusahaannya, PT Smart Tbk. (Sinar Mas Agro Resources and Technology) tengah merancang pabrik pengadaan bahan bakar nabati senilai US$ 5,5 miliar (sekitar Rp 50,5 triliun).

Perusahaan milik keluarga Eka Tjipta itu akan merangkul dua perusahaan energi asing, yakni Hong Kong Energy Ltd. dan China National Offshore Oil Corporation. Bersama keduanya, Smart akan mengembangkan biofuel dengan bahan baku minyak sawit atau bioetanol dari tebu atau singkong.

Di lahan sawit seluas sekitar 100 ribu hektare, saat ini Sinar Mas menghasilkan sekitar 1 juta ton crude palm oil per tahun. Volume itu setara dengan 6,67 persen total produksi CPO Indonesia yang mencapai sekitar 15 juta ton per tahun.

Bisnis biofuel sebenarnya telah lama dilirik Sinar Mas. Namun, harga bahan bakar ramah lingkungan ini dulu dinilai terlalu rendah sehingga tidak menguntungkan. Naiknya harga bahan bakar minyak mentah dunia dinilai sebagai momentum untuk mengembangkan biofuel. Teknologi baru ini diperkirakan bisa menekan harga menjadi jauh lebih murah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus