Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sebuah mosaik naratif

Jakarta pustaka jaya, 1979 resensi oleh: sapardi djoko damono. (bk)

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAN PERANG PUN USAI Karya: Ismail Marahimin Terbitan Pustaka Jaya, 1979 (244 halaman). TAHUN 1977, ketika novel Ismail Marahimin ini, yang judul aslinya adalah Tiga Lagu Dolanan, dinyatakan sebagai pemenang sayembara penulisan roman DKJ, usia penulisnya tidak kurang dari 43 tahun. Ini suatu perkecualian, sebab ciri menyolok dalam perkembangan penulisan novel kita adalah bahwa penulis-penulisnya mulai menerbitkan buku pada usia yang masih sanga muda. Penulis Balai Pustaka sebelum perang seperti Merari Siregar, Adinegoro, Selasih, Hamidah dan Sutomo Djauhar Arifin, misalnya, melihat novel pertamanya terbit sebelum usianya mencapai 25 tahun. Bahkan pada tahun 50-an, Ajip Rosidi menulis novel pertamanya sebelum berumur 20 tahun, dan Pramoedya Ananta Toer sekitar 23 tahun. Munculnya Ismail ini membuktikan bahwa dalam dunia sastra orang tidak pernah terlambat untuk memulai sesuatu. Tak Satu Alur Dalam usia yang tidak bisa dikatakan muda lagi itu, dan tentunya dengan pengalaman hidup yang melebihi kaum remaja, dunia rekaan macam apa gerangan yang ditawarkannya kepada kita? Latar novel ini adalah sebuah tempat terpencil di seberang Desa Teratak Buluh di Sumatera pada hari-hari terakhir pendudukan Jepang. Di sana hidup sekelompok manusia yang terdiri dari serdadu-serdadu Jepang di bawah pimpinan Letnan Satu Ose, beberapa puluh Belanda interniran, seorang romusha asal Jawa yang bernama Kliwon, dan seorang babu -- janda muda -- Satiyah namanya. Suasana menggelisahkan yang meruncing dalam kehidupan mereka itu tidak hanya disebabkan oleh perbedaan sosial budaya, tetapi juga kenyataan bahwa perang bisa selesai kapan saja, tanpa bisa diramalkan siapa yang memenangkannya. Kegelisahan itu dipertajam oleh gesekan yang terjadi antara "masyarakat" mereka itu dengan masyarakat lain di sekitarnya, yakni desa-desa yang memiliki latar belakang sosial budaya yang lain pula. Dunia rekaan yang demikian tentu saja menjadi sumber berbagai masalah, dan rupanya pengarang ingin menyodorkan masalah-masalah itu sekaligus. Akibatnya adalah bahwa tokoh-tokoh penting dalam novel itu tidak meniti satu alur saja, tetapi bergerak serempak dalam beberapa alur yang ujungnya diikat pada satu tempat dan waktu tertentu. Kelompok Belanda interniran itu, yang "resminya" diketuai oleh Van Roscott sudah beberapa lamanya mencari kesempatan untuk lari dari siksaan Jepang. Ketegangan di antara mereka timbul karena ada perbedaan pendapat antara Wimpie, salah seorang interniran yang bersikeras untuk melarikan diri, dan Van Roscott, "pastoor" yang tidak begitu yakin bahwa usaha itu akan berhasil. Kegelisahan yang semakin nyata di kalangan serdadu Jepang terutama disebabkan oleh hasil-hasil perang yang tidak menguntungkan pihaknya. Sekelompok kecil serdadu itu sebenarnya merasa terpencil di tengah-tengah masyarakat yang tak dikenalnya, jauh dari keluarga, datang berbekal kekerasan dan slogan-slogan yang tidak boleh diuji kebenarannya. Dalam kelompok mereka itu terdapat dua orang Jawa, Kliwon dan Satiyem, yang masing-masing mempunyai perwujudan kegelisahan pula. Romusha Kliwon, yang bekerja sebagai pembantu dapur, relatif lebih bebas tinimbang yang lain dalam bergaul dngan orang-orang desa sekitarnya. Hubungan itulah yang menimbulkan serangkaian masalah lain, yang boleh dikatakan tidak ada hubungannya dengan dunia terpencil milik Belanda interniran dan para serdadu Jepang tersebut. Jelas bahwa fokus novel ini tidak pada satu tokoh dan satu masalah saja watak dan latar belakang beberapa tokoh diuraikan dengan berbagai teknik sehingga menimbulkan kesan bahwa tidak ada tokoh utama dalam novel ini. Letnan Satu Ose adalah kelahiran Osaka, anak seorang pengantar pos. Ia belajar di Akademi Teknik dan kemudian menjadi pegawai perusahaan konstruksi bangunan. Namun istrinya, anak seorang pendeta, mendesaknya untuk mendaftarkan diri menjadi tentara, sesuatu yang sebenarnya tidak disukainya. Ternyata kemudian, setelah ia berkelana dari medan ke medan pertempuran, diketahuinya bahwa istrinya itu "menjadi selir seorang Jenderal di Kementerian Peperangan". Wimpie, yang bersikeras memimpin usaha pelarian para interniran, adalah bekas jago tinju bertaraf internasional. Belanda ini sejak kecilnya memang berandal tulen ia dikeluarkan dari MULO dan asrama karena telah mencoba memperkosa teman sekolahnya. Orang tuanya kewalahan, dan ia diserahkan kepada seorang pelatih tinju. Kliwon, si romusha, berasal dari Pacitan. Dulunya ia adalah pegawai kelurahan urusan romusha, dan karena kena marah penduduk desanya karena menjadi "calo" romusha, akhirnya ia memutuskan untuk memimpin rombongan romusha. Si Jawa ini pcrnah menjadi buronan penduduk karcna meniduri istri orang. Orang Jawa lain di tengah-tengah mcreka itu adalah Satiyah, seorang janda muda asal Desa Mersi, Jawa Tengah. Ia pernah berbahagia karena berhasil kawin dengan seorang guru sekolah dasar, ndoro Alimin. Cintanya yang murni kepada Alimin ini ternoda karena berlaku serong dengan informan Jepang, Misran, yang mengancam akan menyeret Alimin apabila Satiyah menolak kehendaknya. Ia juga menderita karena suaminya itu menjadi impoten setelah disiksa Jepang, dan bahkan mati ketika mendengar tentang perbuatan serong tersebut. Satiyah kemudian memutuskan untuk mencari pekerjaan di Jakarta, tetapi gagal akhirnya ia ikut rombongan ke Sumatera untuk bekerja pada Jepang. Di kapal ia diperkosa oleh seorang perwira sahabat Ose dan mencoba bunuh diri, tetapi jiwanya tertolong oleh dokter kapal. Simpang-Siur Gesekan antara "masyarakat" mereka itu di pusat interniran dan masyarakat sekitarnya menghasilkan hubungan antara Kliwon dan Lena, seorang "perawan tua" berumur 19 tahun, anak Haji Zen. Haji ini adalah orang terkaya di Teratak Buluh, "berorientasi ke Singapura", dan menginginkan agar Lena kawin dengan anak seorang Arab kaya di kota itu. Namun rupanya keinginannya tidak tercapai, dan Lena malah jatuh ke tangan Kliwon. Sebenarnya ada seorang pemuda lain yang juga mengincarnya, yakni Anis, seorang muda pedagang babelok yang pernah kena jerat Jepang dan dikirim ke tempat kerja paksa, tetapi kemudian berhasil lolos. Deskripsi ringkas beberapa tokoh itu barangkali dicakup oleh sebuah alinea yang terdapat pada halaman 15 novel ini: Simpang siur alur kehidupan umat manusia ini memang aneh, berdimensi ganda dan tidak terduga. Seseorang mungkin dilahirkan di Kutub Utara, dibesarkan, berumah tangga dan beranakpinak di Khatulistiwa dan berkubur di Kutub Selatan. Seperti ada yang mengatur khusus untuk orang itu. Sedangkan orang lain mungkin diatur untuk dilahirkan dan dikuburkan di tempat yang sama. Seperti ada jalurjalur rel jadwal dan skenario ketat yang mengatur seseorang agar berada pada suatu tempat pada suatu waktu tertentu, untuk bertemu dengan seseorang lain yang akan membawa kebahagiaan, bencana atau hanya untuk berpisah kembali selama-lamanya dan untuk sekedar meninggaalkan ingatan dan kenangan. Dan memang terasa ada simpang-siur alur dalam novel ini. Pengarang, sebagai "pengatur khusus", boleh dianggap berhasil dalam menyusun "skenario" agar sekian alur yang menyangkut sekian tokoh itu berada pada jalur-jalurnya. Agar tokoh-tokoh itu bisa saling bertemu menurut jadwal yang sudah ditentukan pada suatu tempat dan waktu tertentu. Tidak bisa dielakkan lagi, teknik yang mendesak dalan novel serupa ini adalah kilas balik (flashback), apabila pengarang tidak tertarik pada teknik arus kesadaran (stream of consciousness). Alur-alur itu dipotong-potong, dirapikan, lalu potongan-potongan itu disusun kembali menjadi sebuah mosaik naratif. Dengan demikian diharapkan novel itu sampai kepada pembaca sebagai sesuatu yang utuh. Teknik semacam ini tidak mudah dilaksanakan dengan sempurna bahaya utama, yakni timbulnya lanturan (disgression) dan pengulangan pada kilas balik, masih tampak dalam beberapa bagian novel ini. Alur Satiyah dan Anis, misalnya, memaksakan kilas balik semacam itu. Tetapi daya tarik novel ini tidak terletak pada amanat yang tersirat di dalamnya, juga bukan pada penyelesaian masing-masing alur di ujungnya, tetapi pada sederet gambar tentang berbagai macam manusia di suatu tempat dan waktu yang boleh dikatakan belum pernah ditampilkan sebelumnya dalam novel-novel kita. Dan Perang Pun Usai adalah sebuah dokumen sosial yang ditulis lebih dari 30 tahun setelah dunia rekaan itu "terjadi", suatu waktu yang cukup panjang untuk menilai kembali apa yang pernah "terjadi" itu. Tanpa sikap sok gagah, tanpa kecengengan. Sapardi Djoko Damono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus