DAN PERANG PUN USAI
Karya: Ismail Marahimin
Terbitan Pustaka Jaya, 1979 (244 halaman).
TAHUN 1977, ketika novel Ismail Marahimin ini, yang judul
aslinya adalah Tiga Lagu Dolanan, dinyatakan sebagai pemenang
sayembara penulisan roman DKJ, usia penulisnya tidak kurang dari
43 tahun. Ini suatu perkecualian, sebab ciri menyolok dalam
perkembangan penulisan novel kita adalah bahwa
penulis-penulisnya mulai menerbitkan buku pada usia yang masih
sanga muda.
Penulis Balai Pustaka sebelum perang seperti Merari Siregar,
Adinegoro, Selasih, Hamidah dan Sutomo Djauhar Arifin, misalnya,
melihat novel pertamanya terbit sebelum usianya mencapai 25
tahun. Bahkan pada tahun 50-an, Ajip Rosidi menulis novel
pertamanya sebelum berumur 20 tahun, dan Pramoedya Ananta Toer
sekitar 23 tahun. Munculnya Ismail ini membuktikan bahwa dalam
dunia sastra orang tidak pernah terlambat untuk memulai sesuatu.
Tak Satu Alur
Dalam usia yang tidak bisa dikatakan muda lagi itu, dan tentunya
dengan pengalaman hidup yang melebihi kaum remaja, dunia rekaan
macam apa gerangan yang ditawarkannya kepada kita? Latar novel
ini adalah sebuah tempat terpencil di seberang Desa Teratak
Buluh di Sumatera pada hari-hari terakhir pendudukan Jepang. Di
sana hidup sekelompok manusia yang terdiri dari serdadu-serdadu
Jepang di bawah pimpinan Letnan Satu Ose, beberapa puluh Belanda
interniran, seorang romusha asal Jawa yang bernama Kliwon, dan
seorang babu -- janda muda -- Satiyah namanya.
Suasana menggelisahkan yang meruncing dalam kehidupan mereka itu
tidak hanya disebabkan oleh perbedaan sosial budaya, tetapi juga
kenyataan bahwa perang bisa selesai kapan saja, tanpa bisa
diramalkan siapa yang memenangkannya. Kegelisahan itu dipertajam
oleh gesekan yang terjadi antara "masyarakat" mereka itu dengan
masyarakat lain di sekitarnya, yakni desa-desa yang memiliki
latar belakang sosial budaya yang lain pula.
Dunia rekaan yang demikian tentu saja menjadi sumber berbagai
masalah, dan rupanya pengarang ingin menyodorkan masalah-masalah
itu sekaligus. Akibatnya adalah bahwa tokoh-tokoh penting dalam
novel itu tidak meniti satu alur saja, tetapi bergerak serempak
dalam beberapa alur yang ujungnya diikat pada satu tempat dan
waktu tertentu. Kelompok Belanda interniran itu, yang "resminya"
diketuai oleh Van Roscott sudah beberapa lamanya mencari
kesempatan untuk lari dari siksaan Jepang. Ketegangan di antara
mereka timbul karena ada perbedaan pendapat antara Wimpie, salah
seorang interniran yang bersikeras untuk melarikan diri, dan Van
Roscott, "pastoor" yang tidak begitu yakin bahwa usaha itu akan
berhasil.
Kegelisahan yang semakin nyata di kalangan serdadu Jepang
terutama disebabkan oleh hasil-hasil perang yang tidak
menguntungkan pihaknya. Sekelompok kecil serdadu itu sebenarnya
merasa terpencil di tengah-tengah masyarakat yang tak
dikenalnya, jauh dari keluarga, datang berbekal kekerasan dan
slogan-slogan yang tidak boleh diuji kebenarannya. Dalam
kelompok mereka itu terdapat dua orang Jawa, Kliwon dan Satiyem,
yang masing-masing mempunyai perwujudan kegelisahan pula.
Romusha Kliwon, yang bekerja sebagai pembantu dapur, relatif
lebih bebas tinimbang yang lain dalam bergaul dngan orang-orang
desa sekitarnya. Hubungan itulah yang menimbulkan serangkaian
masalah lain, yang boleh dikatakan tidak ada hubungannya dengan
dunia terpencil milik Belanda interniran dan para serdadu Jepang
tersebut.
Jelas bahwa fokus novel ini tidak pada satu tokoh dan satu
masalah saja watak dan latar belakang beberapa tokoh diuraikan
dengan berbagai teknik sehingga menimbulkan kesan bahwa tidak
ada tokoh utama dalam novel ini. Letnan Satu Ose adalah
kelahiran Osaka, anak seorang pengantar pos. Ia belajar di
Akademi Teknik dan kemudian menjadi pegawai perusahaan
konstruksi bangunan. Namun istrinya, anak seorang pendeta,
mendesaknya untuk mendaftarkan diri menjadi tentara, sesuatu
yang sebenarnya tidak disukainya. Ternyata kemudian, setelah ia
berkelana dari medan ke medan pertempuran, diketahuinya bahwa
istrinya itu "menjadi selir seorang Jenderal di Kementerian
Peperangan".
Wimpie, yang bersikeras memimpin usaha pelarian para interniran,
adalah bekas jago tinju bertaraf internasional. Belanda ini
sejak kecilnya memang berandal tulen ia dikeluarkan dari MULO
dan asrama karena telah mencoba memperkosa teman sekolahnya.
Orang tuanya kewalahan, dan ia diserahkan kepada seorang pelatih
tinju. Kliwon, si romusha, berasal dari Pacitan. Dulunya ia
adalah pegawai kelurahan urusan romusha, dan karena kena marah
penduduk desanya karena menjadi "calo" romusha, akhirnya ia
memutuskan untuk memimpin rombongan romusha. Si Jawa ini pcrnah
menjadi buronan penduduk karcna meniduri istri orang.
Orang Jawa lain di tengah-tengah mcreka itu adalah Satiyah,
seorang janda muda asal Desa Mersi, Jawa Tengah. Ia pernah
berbahagia karena berhasil kawin dengan seorang guru sekolah
dasar, ndoro Alimin. Cintanya yang murni kepada Alimin ini
ternoda karena berlaku serong dengan informan Jepang, Misran,
yang mengancam akan menyeret Alimin apabila Satiyah menolak
kehendaknya.
Ia juga menderita karena suaminya itu menjadi impoten setelah
disiksa Jepang, dan bahkan mati ketika mendengar tentang
perbuatan serong tersebut. Satiyah kemudian memutuskan untuk
mencari pekerjaan di Jakarta, tetapi gagal akhirnya ia ikut
rombongan ke Sumatera untuk bekerja pada Jepang. Di kapal ia
diperkosa oleh seorang perwira sahabat Ose dan mencoba bunuh
diri, tetapi jiwanya tertolong oleh dokter kapal.
Simpang-Siur
Gesekan antara "masyarakat" mereka itu di pusat interniran dan
masyarakat sekitarnya menghasilkan hubungan antara Kliwon dan
Lena, seorang "perawan tua" berumur 19 tahun, anak Haji Zen.
Haji ini adalah orang terkaya di Teratak Buluh, "berorientasi ke
Singapura", dan menginginkan agar Lena kawin dengan anak seorang
Arab kaya di kota itu. Namun rupanya keinginannya tidak
tercapai, dan Lena malah jatuh ke tangan Kliwon. Sebenarnya ada
seorang pemuda lain yang juga mengincarnya, yakni Anis, seorang
muda pedagang babelok yang pernah kena jerat Jepang dan dikirim
ke tempat kerja paksa, tetapi kemudian berhasil lolos.
Deskripsi ringkas beberapa tokoh itu barangkali dicakup oleh
sebuah alinea yang terdapat pada halaman 15 novel ini:
Simpang siur alur kehidupan umat manusia ini memang aneh,
berdimensi ganda dan tidak terduga. Seseorang mungkin dilahirkan
di Kutub Utara, dibesarkan, berumah tangga dan beranakpinak di
Khatulistiwa dan berkubur di Kutub Selatan. Seperti ada yang
mengatur khusus untuk orang itu. Sedangkan orang lain mungkin
diatur untuk dilahirkan dan dikuburkan di tempat yang sama.
Seperti ada jalurjalur rel jadwal dan skenario ketat yang
mengatur seseorang agar berada pada suatu tempat pada suatu
waktu tertentu, untuk bertemu dengan seseorang lain yang akan
membawa kebahagiaan, bencana atau hanya untuk berpisah kembali
selama-lamanya dan untuk sekedar meninggaalkan ingatan dan
kenangan.
Dan memang terasa ada simpang-siur alur dalam novel ini.
Pengarang, sebagai "pengatur khusus", boleh dianggap berhasil
dalam menyusun "skenario" agar sekian alur yang menyangkut
sekian tokoh itu berada pada jalur-jalurnya. Agar tokoh-tokoh
itu bisa saling bertemu menurut jadwal yang sudah ditentukan
pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Tidak bisa dielakkan lagi, teknik yang mendesak dalan novel
serupa ini adalah kilas balik (flashback), apabila pengarang
tidak tertarik pada teknik arus kesadaran (stream of
consciousness). Alur-alur itu dipotong-potong, dirapikan, lalu
potongan-potongan itu disusun kembali menjadi sebuah mosaik
naratif. Dengan demikian diharapkan novel itu sampai kepada
pembaca sebagai sesuatu yang utuh. Teknik semacam ini tidak
mudah dilaksanakan dengan sempurna bahaya utama, yakni
timbulnya lanturan (disgression) dan pengulangan pada kilas
balik, masih tampak dalam beberapa bagian novel ini. Alur
Satiyah dan Anis, misalnya, memaksakan kilas balik semacam itu.
Tetapi daya tarik novel ini tidak terletak pada amanat yang
tersirat di dalamnya, juga bukan pada penyelesaian masing-masing
alur di ujungnya, tetapi pada sederet gambar tentang berbagai
macam manusia di suatu tempat dan waktu yang boleh dikatakan
belum pernah ditampilkan sebelumnya dalam novel-novel kita. Dan
Perang Pun Usai adalah sebuah dokumen sosial yang ditulis lebih
dari 30 tahun setelah dunia rekaan itu "terjadi", suatu waktu
yang cukup panjang untuk menilai kembali apa yang pernah
"terjadi" itu. Tanpa sikap sok gagah, tanpa kecengengan.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini