Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ingat tokoh polisi dalam film Arisan? Yang harus menghadapi sang nyonya kaya raya yang tertangkap tangan membawa narkotik, dan mengaku mertuanya "pejabat tinggi"? Sang polisi yang tersenyum mafhumkarena masih ada saja orang yang gemar menggunakan trik gaya Orde Baru itudiperankan oleh Rako Prijanto. Kini "sang polisi" itu juga masih mencoba tersenyum maklum setelah film debutnya berjudul Ungu Violet harus melalui pisau sensor dua kali.
Adegan ciuman sepanjang satu menit antara tokoh Kalin (Dian Sastrowardoyo) dan Lando (Rizky Hanggono) dibabat dua kali. Film dikembalikan kepada pihak produser, Sinemart Pictures, pada 2 Juni 2005 dengan potongan hanya sepanjang lima detik, jadi masih ada 55 detik adegan asli. Namun, setelah Ketua Lembaga Sensor Film Titie Said menyaksikan film itu pada malam gala premier, 15 Juni silam, di Ex 21, "Kok masih ada adegannya," kata Titie Said kepada Evieta Fajar dari Tempo. Maka, terjadilah adegan "kissing interuptus" yang kedua, artinya adegan ciuman tetap ada sekejap, lalu dadakan terjadi, adegan menggelindingnya botol obat. Artinya lagi, adegan asli sepanjang satu menit itu kini bersisa tiga detik.
Kecewa? Tentu saja sutradara "lulusan" pendidikan Rudi Soedjarwo, Mira Lesmana, dan Riri Riza ini kecewa, meski mencoba bersabar. Lahir di Magelang, 4 Mei 1973, Rako mulai berenang dalam kolam film ketika dia bertemu dengan Rudi Soedjarwo yang saat itu baru pulang dari AS. Rako menulis skenario film Bintang Jatuh (2000) dan Tragedi (2001) yang disutradarai oleh Rudi. Setahun kemudian, ketika Rudi ditawari Miles Production untuk menyutradarai Ada Apa dengan Cinta? (2002), Rudy meminta Mira Lesmana agar mengikutsertakan dia menjadi penulis puisi dan asisten sutradara di film Ada Apa dengan Cinta?. Rako sebenarnya tidak dibesarkan di lingkungan seni film dan akting. "Saya sempat bekerja di bank, tapi tidak betah," kata lulusan dari jurusan keuangan dan perbankan di Sekolah Tinggi Ekonomi, Keuangan, dan Perbankan (Stekpi) ini. Berikut petikan wawancara Evieta Fadjar dari Tempo dengan Rako Prijanto:
Bagaimana ceritanya, kok film yang sudah disensor lalu disensor kembali?
(Tertawa) sebenarnya sudah disensor sebelumnya (sudah dikembalikan dengan status lolos sensor pada 2 Juni 2005 dan ditayangkan untuk wartawan dan undangan premierRed.), dan adegan ciuman satu menit itu semula hanya dipotong sekitar lima detik. Ya sudah. Tapi kemudian kami ke LSF mempertanyakan soal pemotongan (kembali) film kami. Film itu sudah disensor dan sudah premier. Apakah tidak ada koordinasi antara LSF sendiri? Kami mau tahu itu. Ternyata alasan mereka, Tim I yang menyensor film itu salah komunikasi dengan pihak lain yang memotong gambar.
Pihak lain itu siapa?
Bagian pemotong gambar. Saya tidak tahu Tim I siapa. Kami ketemu Ketua LSF Ibu Titi Said dan tiga lainnya. Padahal, tim pemotong itu sudah memperlihatkan bukti tulisan nomor kode di pita positif, sesuai untuk frame kemarin. Kami tawar-menawar, apakah bisa adegan itu tidak dipotong tapi masuk kategori dewasa. Mereka tetap tidak setuju. Mereka bilang, ciuman akan menimbulkan rangsangan dari suara ciplak bibir bertemu dan lain-lain.
Kamu kecewa?
Secara pribadi dan kreativitas kecewa, tapi mengingat untuk kepentingan masyarakat, saya rela. Ini sebuah proses kerja, sebuah birokrasi.
Adegan cium itu amat penting bagi keseluruhan cerita?
Sangat penting, justru semakin dicium, Kalin kemudian akan semakin sakit hati, karena setelah itu ditinggal oleh Lando.
Omong-omong, kenapa sih ceritanya tragis betul, ada leukemia, ada mata yang buta?
Konsep dasarnya, kami dan Mas Jujur Prananto ada cerita mengenai donor mata. Idenya mau memperlihatkan sebuah pengorbanan, bila sudah punya rasa cinta, semuanya rela dilakukan. Saya mau cerita ini tragis. Ide itu muncul ketika saya sakit berat di lambung selama enam bulan, sampai saya mengundurkan diri menjadi asisten sutradara film Gie (karya Riri Riza). Saat itu saya berpikir sudah mau mati. Waktu sangat berharga buat saya. Dokter sempat tak tahu gejalanya dan menjalani perawatan sampai harus menjalankan endoskopi. Ini yang membuat saya yakin akan menarik dituangkan ke film.
Siapa guru Anda dalam film dan sinetron?
Mentor saya Rudi Soedjarwo, Riri Riza, Mira Lesmana, Sekar Ayu, Nia Dinata, Afi Shamara, Jujur Prananto. Yang paling berpengaruh Rudi dan Riri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo