Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Biarkan Ciuman Itu...

Sebuah film dengan warna yang memukau. Penuh tragedi dan air mata. Tragedi terparah adalah pemotongan adegan ciuman.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Biarkan Ciuman Itu...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

UNGU VIOLET Sutradara: Rako Prijanto Skenario: Jujur Prananto Pemain: Dian Sastrowardoyo, Rima Melati, Niniek L. Karim, Rizky Hanggono Produksi: Sinemart Pictures

Dia diselimuti warna merah. Sang lelaki diliputi warna biru. Dan ciuman itu, yang penuh hasrat, penuh cinta dan penuh gairah menjadikan mereka Ungu..., perpaduan Merah dan Biru.

Seluruh film perdana Rako Prijanto ini adalah persoalan warna, namun warna itu tidak menjelaskan relevansi cerita selain keindahan visual. Padahal, Rako tengah mengisahkan sebuah pojok antah berantah Jakarta yang jarang tersentuh kamera sineas Indonesia.

Tersebutlah seorang fotografer tampan bernama Lando (pendatang baru, Rizky Hanggono) yang membuka film ini dengan duka lara. Dia ditinggal kekasihnya, Rara (Katinka), karena sang pacar baru tahu bahwa Lando tak berusia panjang.

Datanglah wajah baru bernama Kalin (Dian Sastrowardoyo), seorang gadis yang bekerja sebagai pegawai tiket busway. Mata sang fotografer menancap bak elang. Dia kemudian menawarkan Kalin untuk menjadi obyek fotonya. Kalin, seorang yatim piatu yang tinggal bersama sang nenek (dimainkan dengan cemerlang oleh Rima Melati), di rumah tua yang sudah bocor di sana-sini dan membutuhkan perbaikan dan duit. Kalin kemudian menerima tawaran ini. Wajah jelita Kalin dengan mudah melesat menjadi wajah sampul majalah mode tempat Lando bekerja. Selanjutnya, terjadi roman. Terjadi ciuman. Yang panjang. Yang penuh hasrat. Yang penuh cinta. The best kissing scene on Indonesian screen.

Tetapi Lembaga Sensor Film (LSF) punya pendapat lain. Meski film ini sudah lolos sensor pada 25 Mei dan 2 Juni silam; sudah ditayangkan untuk para wartawan dan sudah gala premier segala di Ex 21, dengan pemotongan sekitar lima detik (dari adegan satu menit ciuman), eh, film itu dipotong lagi. Lo kok bisa? "Orang LSF pertama sudah potong, lalu ada kesalahan teknis," demikian Titie Said, Ketua LSF, kepada Evieta Fajar dari Tempo. Alasannya? "Masyarakat belum bisa menerima... harus diingat bahwa ini film di bioskop," kata Titie Said lagi.

Mungkin yang perlu dipikirkan lagi oleh para anggota Lembaga Sensor Film adalah film ini bisa saja dikategorikan sebagai film dewasa, yang sudah paham arti ciuman sebagai ekspresi kemesraan yang alamiah; bahwa masyarakat Indonesia belum menjadi robot yang anti ciuman dan anti kemesraan.

Apa boleh buat, setelah kasus film Buruan Cium Gue, tampaknya sineas Indonesia cuma punya dua pilihan: (a) memilih penggambaran kemesraan gaya "aman": berpandangan dan berpegangan tangan; (b) merelakan adegan "kissing interuptus" made in LSF, artinya adegan ciuman masih lolos untuk beberapa detik, kemudian tiba-tiba saja Anda disajikan adegan berikutnya.

Nasib film Ungu Violet jatuh pada kategori kedua: kissing interuptus.

Kisah cinta yang lezat pada paruh pertama film ini kemudian dilempar jauh (kali ini oleh si empunya cerita). Sebotol obat menggelinding. Lando teringat penyakitnya. Maut yang akan menghampirinya. Kalin yang jelita segera disingkirkan dari pelukannya, dan dari hidupnya.

Selanjutnya, Rako Prijanto dan penulis skenario Jujur Prananto jadi terbuai dengan kisah roman 1970-an: penyakit yang mematikan; gadis sederhana yang melejit jadi supermodel; peristiwa tabrakan nahas yang menyebabkan sepasang mata Kalin buta. Aduh, aduh, tak cukupkah kesengsaraan itu hingga duet Rako-Jujur harus melahirkan serangkaian tragedi tak berkesudahan? "Saya memang sengaja ingin membuat film yang sedih," kata Rako.

Yang dilupakan Rako, kesedihan tak selalu harus diciptakan oleh peristiwa yang berbau musibah yang bertubi-tubi: kanker, tabrakan, buta, operasi. Seharusnya Rako menyimak kekuatannya sendiri dan kekuatan para pemainnya. Dialog antara Kalin dan neneknya melalui telepon yang menggambarkan sebuah rindu adalah adegan yang paling menyentuh, yang ditampilkan dengan prima oleh duet Dian Sastrowardoyo dan Rima Melati. Adegan obrolan antara Kalin dan Erlina, kawannya sesama model, hanya sekilas, tetapi memperlihatkan kekuatan Dian Sastro pada titik-titik yang tak terduga. "Kayaknya pacar gue balik ke istrinya deh...," kata Erlina. "Yaaa... Lin.…" Kalin memperlihatkan simpati seorang kawan. Tanpa banyak bicara dan hanya melalui pancaran mata. Seandainya Rako lebih memperhatikan titik-titik penting proses hubungan tokoh-tokohnya, mungkin dia tak perlu menciptakan begitu banyak tragedi dan musibah dalam jalan cerita. Apalagi hampir semua tokohnya diperankan oleh pemain-pemain yang andal. Rako mesti percaya pada proses; bukan pada ledakan-ledakan peristiwa. Ia bahkan bisa (jika tertarik) menjelajahi kemungkinan hubungan Lando sebagai fotografer melalui karya-karyanya dengan "obyek hasrat"-nya, Kalin.

Yang perlu dipuji dari film ini—selain duet Dian Sastro dan Rima Melati—adalah tata artistik Frans X.R. Paat dan penata fotografi Yudi Datau. Inilah pojok-pojok Jakarta yang tak tersentuh oleh rekaman mata. Gelap, biru, temaram, di antara langit dan bumi, diwarnai hujan yang deras dan suasana yang muram.

Di luar jalan cerita yang sempat melempar kita pada periode sutradara Hasmanan (Rio Anakku yang juga melibatkan soal kanker dan mata yang buta, dengan pemain Rano Karno dan Lenny Marlina) dan Wim Umboh, sebenarnya Rako menawarkan sebuah ekspresi visual yang menarik. Dia percaya akan kekayaan warna. Dia hanya belum terlalu percaya pada kekuatan cerita yang sederhana.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus