Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Siti nurbaya 1991

Taufik abdullah julia i suryakusuma dan leila s chudori mengupas soal siti nurbaya sebuah roman wanita indonesia.

4 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siti Nurbaya 1991 Siti Nurbaya: Roman, Wanita, dan Sejarah TAUFIK ABDULLAH Siti Nurbaya pada Dekade 1990 JULIA I. SURYAKUSUMA Potret Perempuan dalam Novel Indonesia LEILA S. CHUDORI PENGASUH: Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Bambang Bujono, Isma Sawitri, Budiman S. Hartoyo, Leila S. Chudori, Yudhi Soerjoatmodjo, Edi R.M. SUDAH lama kehadiran majalah kebudayaan terdepak ke pinggir rel, di negeri ini. Sejak Budaja Djaja mengembuskan napas terakhir, pada akhir tahun 70-an tinggallah majalah Horison -- lebih banyak memuat karya sastra -- yang terasa bertambah pucat dan tepos. Serta majalah Basis di Yogya yang dalam kesepiannya masih berusaha hidup terus dengan gagah. Lembaran-lembaran kebudayaan di berbagai media, yang terjepit di antara kobaran berita dan kejayaan iklan, mencoba melarikan tongkat estafet. Tetapi pemikiran-pemikiran budaya (serta karya sastra) masih tetap tak memiliki beranda bermain yang lega. Barangkali itu pula yang menyebabkan ada dampak seperti kemacetan pemikiran budaya dan pencarian-pencarian dalam karya seni. Kesenian pun seakan-akan tak penting, tak berguna, dan tanpa daya. TEMPO, sejak penerbitan ini, secara berkala, empat bulan sekali akan hadir dengan Kalam. Lembaran yang memberikan tempat pada pemikiran-pemikiran budaya serta karya seni-sastra. Semoga oase kecil ini dapat merangsang penciptaan karya unggul dan pemikiran budaya yang brilyan di masa datang. Pada penampilan pertama ini kami ketengahkan Julia I. Suryakusuma, Taufik Abdullah, dan Leila S. Chudori, yang membicarakan wanita dalam karya sastra Indonesia. Siti Nurbaya: Roman, Wanita, dan Sejarah TAUFIK ABDULLAH BARANGKALI "Siti Nurbaya" tak perlu lagi diperkenalkan. Entah sejak kapan, nama ini seakan-akan telah merupakan lambang wanita modern yang teraniaya oleh kekuasaan adat. Dalam anggapan umum kekuasaan adat ini dipersonifikasikan oleh Datuk Meringgih. Tak ada tokoh fiktif sastra Indonesia modern yang bisa menandingi kemampuan personifikasi nilai dari kedua nama ini. Bahkan Syamsul Bahri, kekasih Siti Nurbaya yang berhasil membalas kematian kekasihnya, setelah lebih dulu berpidato dan berpetuah, sambil berduel, tidak bisa menyamai mereka. Juga tidak oleh "Hanafi", meskipun sebenarnya ia lebih memikat. Ia, si Malin Kundang, dalam konteks hubungan kolonial tergelincir pada kedurhakaan, akibat Salah Asuhan. Kemampuan personifikasi nilai juga tak tertandingi oleh "Tono", "Tini" dan "Yah" yang bergumul dalam pembebasan diri dari belenggu, demi hari depan yang tanpa kepastian. Tetapi benarkah Marah Rusli, pengarang roman Siti Nurbaya, dengan sengaja membuat dunia rekaannya sebagai suatu forum perbenturan cita-cita baru, yang baik dan maju, melawan kekuatan lama, yang kolot dan terkebelakang? Ia tidak mengatakannya. Seandainya ia pernah mengatakannya kemudian, pada kesempatan lain, tiada kepastian yang bisa dipegang bahwa itu adalah hal yang sesungguhnya. Bukan karena ia berbohong. Masalahnya ialah yang ditinggalkannya kepada kita tak lebih dari sebuah dunia simbol yang dibentuk dalam teks. Dan sekali teks itu menampakkan diri, ia -- teks itu -- mempunyai kebebasan untuk mengadakan dialog langsung dengan pembacanya. Maka, pembacalah yang akan memberi makna kepada teks itu. Suatu tirani telah terjadi, memang. Kehadiran teks serta-merta memutuskan hubungan langsung dan timbal balik antara pengarang teks, atau lebih tepat pemula proses discourse dan kita, sang pembaca. Karena itu, teks itulah yang sesungguhnya harus dihadapi. Keterangan si pengarang (di luar teks) tak lebih dari bahan tambahan untuk mendapatkan suasana yang akrab ketika proses dialog, antara kita dan teks, sedang terjadi. "Kekejaman" teks yang memisahkan kita dengan pengarangnya sebenarnya telah tertebus oleh kehadiran teks itu. Bukankah teks itu pula yang menyebabkan proses dialog, yang dimulai pengarang, menjadi abadi dan menyebar? Tetapi inilah masalahnya, bagaimana kita akan bisa menangkap pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan teks lewat kisah yang diceritakan itu. Apakah kisah hanyalah sekadar kisah, sebagai pelipur lara, perentang hari menjelang petang? Ataukah suatu berita pikiran yang memantulkan keprihatinan kultural, politik, atau apa saja? Andaikan teks ini hanyalah pelipur lara, bukankah kelaraan hanya bisa terlipur bila yang melipurnya melemparkan lambang-lambang yang serasi? Dan keserasian lambang itu sifatnya his toris dan kultural. Jadi, ditentukan oleh struktur waktu dan tempat. Kalau begitu, bagaimana? Sebaiknya kita beranjak dari sebuah patokan awal bahwa makna teks sastra akan lebih mungkin dipahami jika kita menempatkannya kembali ke dalam konteks masyarakat dan zaman yang menghasilkannya. Dengan kata lain, kita usahakan agar teks itu berdialog dengan konteksnya yang paling intim. Siapa tahu, kesediaan kita untuk menjadikan teks itu sebagai pasangan discourse dari konteks penciptaannya akan memungkinkan kita menangkap makna "sesuatu tentang sesuatu" yang ingin disampaikan oleh kisah yang diceritakan. Dan siapa tahu pula, "yang sesuatu itu" dalam konteks sekarang adalah sesungguhnya bayangan keprihatinan kultural yang berlanjut. Siapa tahu! Hanya saja, kemungkinan-kemungkinan hipotetis ini bisa pula mengatakan hal yang lain tentang teks Apa yang secara eksplisit dikatakan barangkali tidak tidak lebih penting dari apa yang tidak dikatakan. Subjudul dari karya sastra ini ialah: "Kasih tak Sampai". Jadi ini adalah kisah kasih dua remaja yang patah di tengah jalan. Memang, suatu tema yang abadi, dulu dan kini, di sana dan di sini. Tetapi Siti Nurbaya adalah kisah kasih pada zaman tertentu dan di tempat tertentu pula -- di Kota Padang, di peradilan abad ini. Kekuatan roman ini memang terletak pada usaha untuk menjadikan tema abadi ini secara lokal dan temporal bermakna. Kelemahan strukturnya juga kelihatan nyata pada aspek ini. Roman ini seakan-akan terbagi atas dua bagian yang tak organik -- bagian pertama adalah kisah dua remaja, yang teraniaya, sedangkan bagian kedua (pada halaman yang terpencar-pencar) adalah "berita pikiran" tentang berbagai masalah kemasyarakatan. Bagian pertama adalah suatu kisah melodrama -- kisah manusia yang terimpit oleh kelemahannya -- sedangkan bagian kedua adalah usaha untuk berdialog dengan masyarakat pembaca, sambil memberi komentar terhadap dunia rekaan yang diciptakan lewat plot cerita. CINTA kasih remaja bukanlah tema yang asing dalam tradisi sastra Indonesia, atau lebih khusus, Minangkabau. Akhir tragis dari kisah ini terjadi karena sesungguhnya "cinta remaja" itu adalah pemberontakan terhadap kewajaran kultural. Kegagalan mereka adalah kemenangan tata kosmos yang wajar dan telah teruji. Hasrat individu pun harus kalah, demi keutuhan tata kosmos sosial dan tradisi. Tetapi kegagalan cinta Nurbaya dan Samsulbahri bukan karena "pemberontakan" yang tak sah. Kasih mereka "tak sampai" karena intervensi kekuatan luar, yang dipersonifikasikan oleh Datuk Meringgih, yang ternyata terlalu kuat dan terlalu jahat untuk bisa diatasi. Lebih dari itu, struktur realitas sosial seakan-akan memberi kemungkinan bagi "kekuatan jahat" dari luar ini untuk berbuat tidak semena-mena. Kekuasaan hukum pemerintah dapat dimanipulasi oleh Datuk Meringgih untuk mengancam Baginda Suleiman, yang telah dianiayanya, dan untuk menjerat kembali Siti Nurbaya, yang telah berkumpul dengan kekasihnya, di Betawi. Etik kemegahan bangsawan, yang selalu dipompakan oleh Putri Rubiah kepada adiknya, Sutan Mahmud, ayah Syamsul Bahri, akhirnya mendorong Sutan Mahmud untuk mengusir anak tunggal kesayanganrya. Maka, situasi melodramatis tak terelakkan lagi. Sutan Mahmud bukan "Hamlet", tetapi pilihan yang dibuatnya untuk mengatasi dilema etis yang dihadapinya, antara cinta pada anak dan rasa kehormatan yang ternodai, berakhir tragis bagi keluarganya. Kedua remaja ini adalah anak kota yang terpelajar dan berasal dari "kalangan atas" masyarakat pribumi. Ayah Nurbaya adalah seorang saudagar besar yang jujur dan arif, "meskipun bukan seorang yang berasal tinggi" (hlm. 14). Tetapi perilaku dan kekayaannya telah menjadikan ia dan anaknya, Siti Nurbaya yang cantik, diterima dan diperlakukan sebagai "bangsawan hati". Karena tak ada sedikit pun keterangan tentang sanak saudara Baginda Suleiman, bisa diperkirakan bahwa ia adalah pendatang ke Kota Padang dan kawin dengan keluarga yang cukup terkemuka. Setelah ia meninggal, Nurbaya tinggal bersama sepupunya (tampaknya dari pihak ibu), Siti Alimah. Sedangkan Samsul Bahri adalah anak bangsawan, pejabat tinggi di Kota Padang, tetapi ibunya (sebagaimana diejek oleh Putri Rubiah -- hlm. 22) adalah "orang kebanyakan". Karena itulah Samsulbahri "hanya marah", bukan seseorang yang berhak memakai gelar "sutan", seperti ayahnya. Nurbaya (dan juga Alimah, sepupunya, yang impulsif), adalah "sitti" (bukan "pnri" atau "puti", seperti Putri Rubiah). Jadi, teks ini berkisah tentang golongan sosial pengarangnya sendiri -- - mereka yang bergelar "marah" dan "sitti", yang meski bangga dengan "bangsanya yang tinggi", toh cukup sadar akan proses erosi kebangsawanan yang sedang terjadi (hlm. 196). Tetapi siapakah Datuk Meringgih? Ia seorang kaya, teramat kaya, tetapi "tiadalah ia berbangsa tinggi" dan Marah Rusli pun menghabiskan hampir lima halaman teks (83-88) untuk menceritakan kejelekan tokoh antagonis ini. Yang jelas adalah bahwa kekayaannya yang melimpah ruah itu datangnya "misterius" sehingga berbagai dugaan orang tentang asal-usul kekayaan orang yang mulanya hanyalah pedagang ikan asin di pasar Jawa ini. Meskipun memakai gelar "datuk", ia sama sekali bukanlah penghulu adat, "melainkan panggilan saja baginya" (83). Tetapi mengapa ia harus mendapat panggilan dan senang dipanggil "datuk"? Menurut tradisi adat Kota Padang, hanya delapan orang yang berhak bergelar "datuk". Jadi, pasti Datuk Meringgih bukan anggota komunitas adat Padang. Kalau begitu, ia dipanggil "datuk" karena ia adalah seorang upstart yang datang dari wilayah Minangkabau, yang mempunyai banyak "datuk" (penghulu adat), yaitu Luhak nan Tigo di pedalaman (Padangsche Bovenlanden, kata orang Belanda). Dari susunan para "aktor" ini barangkali tidak terlalu sukar untuk memperkirakan bahwa kesemuanya berada dalam proses peralihan. Putri Rubiah dan adiknya Sutan Hamzah, yang sibuk kawin, bukanlah orang-orang jahat. Hanya saja, mereka buta terhadap perubahan yang sedang terjadi di sekitar mereka. Maka, mereka pun tak lebih dari karikatur, yang lucu, dan sekaligus menjengkelkan. Baginda Suleiman (seperti juga Ahmad Maulana, ayah Alimah) adalah "orang baru" yang arif mereka bergabung ke dalam local establishment kawin dan mengikatkan diri pada nilai dasar dari komunitas baru yang dimasukinya. Datuk Meringgih dengan serakah dan jahat memanipulasi situasi yang mengalir ini hanya untuk memuaskan nafsu serakahnya. Ia membawa kebinasaan kepada dunia yang tertib -- sebuah dunia epos, bukannya novel, jika klasifikasi Lucas boleh dipakai -- yang sadar sedang memasuki gerbang "kemajuan". Inilah dunia yang ditandai oleh pendidikan tinggi, ekonomi yang maju, pejabat yang bertanggung jawab, dan romantic love yang direstui. Dan, tentu, warga yang patuh pada pemerintah (kolonial), yang memperkenalkan pajak, demi perbaikan masyarakat. Jika demikian "Zaman Siti Nurbaya" bukanlah zaman kekolotan yang menyesakkan, tetapi zaman perubahan yang mendebarkan. Tetapi, mengapa Nurbaya membiarkan dirinya menjadi korban keserakahan Datuk Meringgih, yang telah menjerat ayahnya ke dalam utang? Pengorbanannya tidak saja menghancurkan masa depan yang telah diimpikannya dengan Samsulbahri, tetapi juga menimbulkan penyesalan mendalam dari ayahnya -- rasa penyesalan yang mempercepat kematian. Sebuah melodrama yang murni, memang. Namun, karena ini pula, tampak-tampaknya roman ini memakai judul Siti Nurbaya. Meskipun dalam masyarakat matrilineal kedudukan laki-laki selalu kritis, wanitalah yang secara simbolik dipakai sebagai "indikator sosial". Unsur simbolik ini pulalah yang berperan sebagai alat integratif literer antara aspek fiksi, yang bercorak melodrama (Kasih tak Sampal, dan "berita pikiran" yang ingin disampaikan. Jadi, keutuhan fiksi harus dicari bukan pada perkembangan logika dunia rekaan ini, tetapi pada judul simbolik yang berbunyi keras dalam konteks sosial-historis yang menghasilkannya. Apa pun coraknya, novel atau karya imajinatif lain tak bisa diperlakukan sebagai "monumen", tonggak peringatan peristiwa di masa lalu. Ia hanyalah "dokumen", kesaksian tentang suasana hati dan pikiran masyarakat dari zaman penciptaannya. Dan sebagai dokumen, Siti Nubaya memang sangat kaya. Lewat dialog yang berpanjang-panjang, tokoh-tokohnya menyampaikan berita pikiran tentang kekolotan yang merugikan di kalangan bangsawan (hlm. 18-27 56-64) kearifan hidup dalam zaman perubahan ( 131-143) corak perkawinan yang ideal dan semestinya (144-149) kejelekan poligami (195-201) masalah hubungan perempuan dan laki-laki (201-210), dan sebagainya. Dengan menyampaikan "berita pikiran" itu, roman ini seakan ingin merekam secara utuh masalah-masalah yang merupakan fokus perdebatan intens selama dua tiga dasawarsa di peralihan abad ini di Kota Padang -- kota kecil yang terkaya dalam penerbitan pers ketika itu. Kesemuanya membayangkan saat-saat mulai berkembangnya nilai-nilai baru, yang memantulkan masa awal formasi sosial kota yang cenderung kapitalistik -- hemat, rasional, legalistik, serta percaya akan harkat individu, bukan status yang beku. Maka, teks yang dihasilkan Marah Rusli pun tidaklah sekadar berkisah. Ia terlibat dan berpihak. Dalam aspek melodrama dari karya ini pengarangnya menampakkan dirinya sebagai seorang bangsawan, yang berpikiran maju dan yang menyadari bahwa status ini tidaklah lagi memadai. "Suasana santai" kebangsawanan kini telah digugah oleh para pendatang dari "darat" atau Luhak nan Tigo yang agresif di hampir setiap lapangan kehidupan sosial-ekonomis. Ia pun secara karikaturis melukiskan betapa sebagian (menurut ejekan para pendatang yang anti-aristokrat) "manusia kelas satu" alias para "sutan" dan "putri" masih terbuai oleh imbauan kemegahan lama yang makin tak relevan. Meskipun tanpa pretensi sebagai roman sejarah, teks yang ditinggalkan Marah Rusli ini dengan jelas membayangkan Padang yang sedang mengalami perubahan. Ketika inilah terbentuk berbagai transient communities, komunitas-komunitas sementara di tengah-tengah suasana masyarakat umum yang sedang mengalami peralihan. Bukan saja keamanan masih rawan -- selintas diperlihatkan Marah Rusli dengan cerita sampingan kebakaran dan serdadu Belanda yang tak pernah lupa bawa senjata (sialnya tertembak senapan angin oleh seorang teman Siti Nurbaya) tetapi juga struktur kekuasaan dan hukum masih mungkin dimanipulasi (seperti yang dilakukan Datuk Meringgih) bagi kepentingan pribadi. Sedangkan dalam "berita pikiran", teks yang dihasilkan Marah Rusli memberi kesan bahwa ia adalah seorang bangsawan yang menginginkan reformasi sosial, yang dijalankan dengan hati-hati, tanpa meninggalkan landasan filsafat adat. Ia mencitakan perkawinan yang bermula dari persetujuan kedua belah pihak, ketika umur telah cukup dan di saat masa belajar telah ingin diakhiri. Karena itulah ia juga menentang keras poligami. Secara karikaturis ia pun sangat mengecam kebiasaan bangsawan, para "sutan", yang kawin tanpa tanggung jawab. Ia ingin memasuki dunia kemajuan dengan penuh kearifan. Dan ia pun percaya bahwa pimpinan pemerintah jauh lebih bertanggung jawab daripada desakan-desakan tradisional yang tak rasional. Dan tidaklah salah kalau dikatakan pula bahwa roman karya Marah Rusli ini menyuarakan optimisme ethische politiek yang telah makin mengabur. Dengan suasana pikiran dan perasaan seperti ini, roman ini adalah "anak zaman"-nya yang setia. Fiksi ini adalah dokumen yang memantulkan keresahan, ketika kepastian kosmos sedang labil, yang sewaktu-waktu bisa terganggu oleh berbagai corak kekuatan liar. Teks ini adalah pantulan keprihatinan, ketika jalan yang tertib dan "epik" yang sedang dirintis -- maju, harkat diri, rasional, loyal pada kekuasaan -- kadang-kadang harus "kalah" secara fisik terhadap gugatan dua kekuatan yang antagonistik. Yang satu liar, serakah, dan antisosial, bahkan kriminal dan pemberontak, sedangkan yang lain kolot, gila hormat, dan buta dengan peralihan zaman. Hasrat reformasi selalu diancam dengan keras oleh berbagai corak kekuatan reaksioner. Betapa menggetarkan dan tragisnya kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilahirkan oleh kecenderungan yang hampir universal ini dalam realitas kehidupan. Alur cerita roman Siti Nurbaya adalah rekonstruksi kemungkinan yang bisa dimunculkan oleh kenyataan struktural, yang merupakan "medan pertempuran" dari berbagai kekuatan. Maka, optimisme hari depan pun tidaklah terpancar dari plot, tetapi dari kepercayaan si pemula discourse, penulis teks, bahwa "berita pikiran"-nya akan sampai kepada pembaca, yang telah dipisah oleh jarak tempat dan waktu. Sayangnya, optimisme yang terpantul dari "berita pikiran" ini tidak nyaring terdengar pada tokoh-tokoh roman. Kalau demikian, apakah relevansi teks sastra ini di hari kini? Meskipun warna lokal cukup kuat, isyarat terselubung yang disampaikannya cukup sah. Dalam proses perubahan sosial kedudukan dan nasib wanita bukan saja secara kultural strategis, tetapi juga secara sosiologis kritis. Siti Nurbaya, gadis terpelajar dari kalangan atas masyarakat kota dengan nilai-nilai borjuis-awal, tak dimungkinkan "kembali" menjadi "Sabai nan Aluih" yang agraris, atau malah berbuat seperti Alimah, sepupunya yang empulsif. Melawan secara fisik, seperti Sabai nan Aluih, tak lagi sesuai dengan etik borjuis-awal, yang tertib dan "terhormat". Sedangkan mengingkari pranata perkawinan, karena kecewa pada laki-laki, seperti yang dilakukan Alimah, juga berarti pengingkaran dekorum. Dan Nurbaya pun jadi korban dari kemantapan kosmos yang sedang goyah. Kini corak perubahan sosial telah berubah bentuk, dan susunan masyarakat sudah semakin kompleks, tapi symbolic significance dari kedudukan wanita tak berubah. Dulu barangkali romantic love, poligami, dan (menurut istilah majalah Soeara Perempoean, yang terbit di Padang, 1918) vrijheid, kebebasan, dalam meniti tangga pendidikan merupakan tema utama dalam perdebatan. Sedang kini, sekian puluh tahun kemudian, bisa jadi menyangkut masalah karier, "dwifungsi" alias peran ganda, hubungan seks, dan entah apa lagi. Sementara itu, memang, seperti "di zaman Siti Nurbaya", wanita non-elite, di desa, di kota pinggiran dan di mana saja, terus bergumul untuk kelanjutan hidup keluarga, tanpa terlibat atau dilibatkan dalam usaha konseptualisasi tentang "diri" dan "kedudukan". Jakarta, 10 November 1990 Taufik Abdullah -- ahli penerbit utama, PMB -- LIPI. Tamatan Universitas Gadjah Mada dan mendapatkan gelar Ph.D. dari Cornell University (1970). Tulisan-tulisannya diterbitkan di dalam dan di luar negeri. Pernah mengajar di University of Wisconsin (Madison) dan Cornell University serta menjadi fellow di NIAS (Wassenaar), University of Chicago, Center for Southeast Asian Studies (University of Kyoto), ISEAS (Singapore), Research School of Pacific Studies Canberra). . Siti Nurbaya pada Dekade 1990 JULIA I. SURYAKUSUMA ROMAN Siti Nurbaya oleh Marah Rusli sampai saat ini masih menjadi bacaan wajib di sekolah menengah, dan referensi kepada tokoh utamanya identik dengan gambaran wanita malang yang menjadi korban adat. Apakah roman ini masih relevan di zaman modern ini? Dalam roman ini, terdapat percakapan antara Nurbaya dan sepupunya, Alimah, mengenal diskriminasi terhadap wanita pada awal abad ini: Alimah: " ... nyatalah kita perempuan ini, diperbuat sebagai anak tiri, dan laki-laki anak kandung, sebab sangat diperbedakan". Nurbaya: " ... dari Tuhan kita telah mendapat halangan, yaitu dalam hal mengandung dan menjadi anak, sehingga tiada dapat melawan laki-laki tentang apa pun oleh agama tiada pula disamakan dengan laki-laki, sebab laki-laki diizinkan beristri sampai empat, tetapi perempuan keluar rumah pun tak boleh oleh suami dihina dan disia-siakan, dan oleh bapa-ibu serta kaum kerabat dipaksa menurut segala kehendak hati mereka. Bangsa dan negripun tiada pula hendak menolong .... talak diserahkan pula kepada laki-laki .... Mengapa laki-laki saja yang boleh menceraikan dan mengawini perempuan, sesuka hatinya? Apakah sebabnya maka perempuan tiada boleh berbuat begitu pula? Perempuan sajakah yang boleh berbuat kesalahan dan menerima hukuman dari laki-laki? Tiadakah laki-laki itu boleh pula berbuat kesalahan kepada istrinya? .... Apabila dikatakan kelaliman itu kepada laki-laki, tentulah mereka akan gelak tersenyum saja, karena pada sangkanya, itulah yang seadil-adilnya. Bukankah laki-laki itu tuan perempuan, dan perempuan itu hamba laki-laki?" (Siti Nurbaya, hlm. 205, cetakan XVIII, tahun 1988). Berlawanan dengan citranya sebagai "korban", ternyata Nurbaya berani membuat pernyataan yang sangat radikal: ia bukan hanya menghujat laki-laki, adat, kerabat, bangsa, negara, nasib dan kodrat, melainkan juga agama dan Tuhan. Semangat perlawanannya ini, yang identik dengan semangat perlawanan Kartini, secara tragis dimatikan oleh kekuatan paternalistik yang terdapat pada zaman itu. Nurbaya berasal dari kalangan urban, terpelajar, elite, yang mengagungkan nilai-nilai borjuis Barat, dan untuk zamannya, sangat modern. Bagaimana dengan wanita Indonesia masa kini dalam kedudukan serupa? Apakah wanita Indonesia modern benar-benar bisa dikatakan "modern"? Ternyata, di balik facade modernitas, sebenarnya wanita Indonesia belum jauh beranjak dari nasib Siti Nurbaya yang hadir 80 tahun yang lalu. Mengejutkan? Jadi, apakah kriteria modern itu? Modernitas adalah suatu sikap, seperangkat nilai, bukan suatu wujud fisik. Di permukaan, apalagi dengan ukuran zamannya Nurbaya, gambaran wanita urban kelas menengah Indonesia sudah super maju: berpendidikan, memiliki mobilitas sosial, kesempatan dan peluang kerja yang semakin baik, bergaul bebas dengan pria, bersentuhan dengan kebudayaan dan nilai-nilai Barat melalui media massa, teknologi, ilmu pengetahuan, dan pop culture. Tetapi, di balik itu, ternyata di balik permukaan yang "keren", tersimpan banyak kontradiksi yang menyesakkan. Ada berbagai masalah yang muncul dari roman Siti Nurbaya yang relevan bukan hanya untuk wanita, tapi untuk masyarakat pada umumnya. Wanita adalah cermin yang baik untuk mempelajari suatu masyarakat karena wanita sering dianggap wadah dan kontinuitas dari nilai-nilai masyarakat. Karena itu, bila ada nilai-nilai baru yang masuk, beban terasa lebih berat dan benturan terasa lebih akut oleh mereka. Ada sekurangnya empat masalah pokok yang muncul dalam Siti Nurbaya yang masih relevan: perbenturan "modern" dan "tradisional", "Barat" dan "Timur", kekuatan feminin dan maskulin, serta ketegangan antara ketergantungan dan upaya mendapatkan otonomi. (1) Pada zaman Siti Nurbaya keempat masalah itu terutama dihadapi kalangan atas, sedangkan zaman sekarang masalah-masalah ini malah dihadapi oleh hampir semua orang. Transisi ketika itu adalah antara zaman penjajahan dan kemerdekaan, yang kita hadapi sekarang pun di penghujung abad ke-20 masih merupakan yang disebut sebagai the fragile interregnum between tradition and modernity (masa peralihan yang rawan antara tradisi dan modernitas). Pembangunan fisik dan perkembangan teknologi bergerak pesat, jauh lebih pesat daripada perkembangan nilai-nilai masyarakat. Akibatnya adalah berbagai kepincangan, kebingungan, dan kerapuhan. Bagi wanita, keadaan ini menimbulkan masalah-masalah yang khusus. Wanita dituntut untuk bekerja, berkarier, dan memiliki penghasilan sendiri. Pada saat yang sama, ada tuntutan ekstern dan intern yang kuat untuk menikah dan berkeluarga. Dengan demikian, wanita harus lebih canggih memainkan peran gandanya yang dari dahulu pun sudah dilakukan. Kalau terpaksa memilih antara karier dan rumah tangga wanita cenderung memilih yang terakhir, itu bukan hanya karena wanita lebih tradisional, melainkan juga karena wanita lebih humane. Nurbaya menyerahkan dirinya kepada Datuk Meringgih demi cintanya pada ayahnya. Wanita sering lebih mementingkan faktor manusiawi orang lain ketimbang kemanusiaannya sendiri. Kecenderungan inilah yang dimanipulasi oleh masyarakat -- yang nota bene didominasi pria -- sehingga wanita kehilangan otonomi dan hak pilihnya. Kalau ia memilih karier, maka ia dianggap anomali, suatu cap yang cukup berat dalam masyarakat kolektif dan konformistik seperti Indonesia. Dalam kehidupan rumah tangga, Siti Nurbaya mengidealisasikan konsepsi yang dimiliknya tentang perkawinan Barat yang tanpa raja, tempat rumah tangga diselenggarakan oleh dua sejoli yang sejajar. Suami mengurus masalah luar, istri masalah dalam. Namun, ini sering merupakan suatu kesejajaran semu yang menyesatkan. Sampai saat ini dikotomi "formal-informal", "publik-pribadi", "produktif-nonproduktif" yang memisah pria dan wanita masih berlaku. (2) Hal ini sebenarnya memberikan keabsahan untuk suatu hubungan dominasi-subordinasi yang terselubung. Kedudukan yang lazim dalam rumah tangga dan dibakukan oleh undang-undang adalah suami sebagai "kepala keluarga" dan istri sebagai "ibu rumah tangga". Dalam perselisihan, ini memungkinkan si suami untuk merujuk kepada "hak"-nya sebagai "kepala rumah tangga" yang lebih kuasa untuk menentukan nasib keluarga. Kelaziman ini bersandar pada ideologi yang dominan dalam mendefinisikan wanita, yaitu paham "kodratisme". Kodratisme bertumpu kepada fungsi biologis wanita semata: karena wanita melahirkan, maka wanita didefinisikan sebagai "istri" dan "ibu" yang sebenarnya merupakan kategori sosial. Siapakah yang menciptakan ideologi "kodratisme" ini? Mestinya pria, tapi ideologi ini sudah diserap wanita secara intens. Bahkan wanita yang sukses pun tak jarang bersikap defensif, memberikan apologia dan pembelaan bahwa ini semua berkat dorongan suami, dan kalau di rumah, suamilah yang nomor satu. Sikap mendua -- bahkan munafik -- ini menunjukkan bahwa wanita belum otonom: ia masih belum bisa menerima sukses sebagai hasil dirinya sendiri. Masyarakat pun masih memiliki nilai ganda untuk mengevaluasi pria dan wanita, baik itu dalam pekerjaan, konteks sosial, dalam otoritas pribadi, maupun dalam perilaku seksual. Pada akhirnya, Siti Nurbaya adalah tumbal seks untuk kepentingan ekonomi dan ego laki-laki. Untuk memfokuskan permasalahan, kita dapat memusatkan perhatian kepada hubungan pria dan wanita yang katanya paling intim: hubungan seksual. Seks selalu mempunyai artian "hubungan", karena paling tidak melibatkan dua orang, biasanya pria dan wanita. Hubungan seks adalah refleksi nilai-nilai sosial, tradisional, religius, dan bahkan melibatkan lembaga negara, dan tentu saja hubungan kepuasan antara wanita dan pria. Jadi, implikasi sosiopolitik dan ekonomi dari hubungan seks itu besar. Pada masa kini, puritanisme zaman Siti Nurbaya sudah dibuang jauh-jauh. Belakangan ini bahkan disinyalir bahwa sedang terjadi suatu "revolusi seksual" di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Wanitalah yang menjadi titik api isu kebebasan seks. Jelas, terjadi pergeseran nilai-nilai di mana wanita merasa lebih bebas melakukan hubungan seks bahkan sampai ke tingkat yang promiscuous (gonta-ganti mitra seks). Di samping itu ada hubungan pre-marital (sebelum menikah), extramarital (di luar nikah), tante girang, om senang, wanita simpanan, perek, gigolo, dan sebagainya. Wanita melakukan hubungan seks bebas karena alasan-alasan psikologis, sosial, biologis, dan ekonomi. Berbagai akibat muncul dari perilaku seks bebas bagi wanita. Terjadi salah kaprah, akibat kekeliruan mengidentifikasikan kebebasan seks dengan kemandirian. Seks menjadi simbol kemandirian, padahal tanpa kemandirian psikologis dan emosional, kebebasan seks adalah kemandirian semu, yang rapuh dan tidak bisa bertahan. Lebih celaka lagi, kebebasan seks wanita membuat mereka lebih mudah dimanfaatkan pria, yang katanya poligamis itu. Memang masih terdapat nilai ganda yang tak beranjak dari zaman Siti Nurbaya: bahwa wanita monogam, dan pria poligam. Dengan demikian, bila laki-laki melakukan seks bebas, ini dapat diterima, ia toh sekadar mengekspresikan "kodratnya". Sedang wanita yang promiscuous -- dengan perkataan lain, poligam -- dicap negatif oleh masyarakat karena mengingkari "kodratnya" yang katanya monogam itu. Zaman sekarang poligami klasik versi Datuk Meringgih agaknya sudah berkurang. Tetapi berbagai bentuk kontemporer dari poligami versi kelas menengah dan atas itu ada: gejala wanita simpanan, promiscuity, dan pelacuran. Ada juga "gejala geisha", yakni laki-laki menggunakan istrinya untuk menunjang keluarga dan karier, dan "wanita kedua" untuk kesenangan. Akibat nilai ganda dan "kodratisme", wanita yang tadinya menganut seks bebas sering terperosok ke dalam pola hubungan konvensional akibat norma masyarakat yang masih konvensional. Tambahan lagi, wanita masih sering ambivalen mengenai kemandirian dan jati dirinya, serta haknya untuk menikmati seks sebagai subyek, dan bukan obyek. Dalam era pembangunan yang bertumpu pada industrialisasi dan bisnis, wanita sering menjadi obyek seks. Di berbagai sektor industri yang menggantungkan diri kepada tenaga wanita, sering wanita harus menderita sexual harassment. Di sini wanita pekerja terpaksa memberi pelayanan seks kepada para mandor atau tamu-tamu. Di kalangan atas, dalam dunia bisnis sudah menjadi kelaziman bahwa wanita dipakai untuk menyervis klien. Bahkan bila itu seorang business woman, mungkin ia sendiri yang menyervis mitra usahanya atau pejabat yang memberi tanda tangan untuk melancarkan usahanya. Keadaan di atas ini tak jauh berbeda dengan keadaan Siti Nurbaya yang dikorbankan secara seksual untuk kepentingan ekonomi: bisnis ayahandanya, dan nafsu si pedagang kaya Datuk Meringgih untuk uang dan wanita. Baik di zaman Siti Nurbaya maupun sekarang, wanita sangat fungsional: menunjang keluarga, untuk menopang karier, memperlancar usaha, sebagai "mainan", dan sebagai obyek seks. Akan menarik, tetapi juga menyedihkan, untuk menyadur Siti Nurbaya ke dalam versi kontemporer. Hal ini akan sangat mudah karena banyak sekali hal yang sejajar, bahkan identik. Indonesia, seperti Padang ketika itu, cenderung kapitalistik, Indonesia di tahun 1990-an pun masih berada pada zaman perubahan, antara modernitas dan tradisionalitas. Bedanya, dengan satu cara atau lainnya, semua orang -- jelas yang kelas menengah dan elite -- sudah terkena pengaruh Barat, apakah itu melalui teknologi, pendidikan, sistem manajemen, hiburan, dan tata krama pergaulan. Samsul Bahri masa kini adalah seorang profesional dari kelas menengah baru ayahnya, Sutan Mahmud, adalah pejabat yang semakin pudar wibawanya Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya, adalah pengusaha tradisional yang terdesak Datuk Meringgih, sang konglomerat sekarang yang menguasai dan memonopoli berbagai sektor usaha. Sedang Siti Nurbaya memainkan peran bukan hanya wanita dari kalangan elite atau menengah, tapi semua wanita dari kelas lainnya, yang jangan-jangan, seperti Nurbaya, menjadi tumbal yang sia-sia untuk pembangunan ekonomi dan bisnis Indonesia. Namun, yang amat berbeda, bila dalam versi lama semua tokoh akhirnya mati, pada versi modern dari Siti Nurbaya, Datuk Meringgih yang buruk rupa itu hidup terus dan berjaya. * * * * Catatan Kaki: 1. Keempat masalah ini berkaitan dengan konsep-konsep yang cukup rumit yang membutuhkan penjabaran tersendiri. Konteks tulisan ini tidak memungkinkan saya untuk memberikan penjelasan konseptual yang panjang. Dalam uraian selanjutnya, semua konsep dan masalah sudah saya jalin sehingga tak tampak lagi satuan-satuannya. 2. Dikotomi-dikotomi ini yang bisa dijabarkan sebagai pria: wanita = formal: informal = publik: pribadi = produktif: nonproduktif, adalah kategori konseptual yang sering dipakai dalam ilmu sosial untuk mendefinisikan pembagian kerja secara sosial antara wanita dan pria. Meskipun konsep-konsep ini semula dibuat untuk kategorisasi dan analisa, pada akhirnya dapat menjauhkan dari suatu pemahaman yang utuh tentang hubungan pria-wanita. Lebih parah lagi dikotomi-dikotomi ini memberikan suatu hierarki yang implisit dengan kedudukan subordinasi kepada wanita karena kategori yang diduduki pria diberi nilai yang lebih tinggi. Julia I. Suryakusuma, 36 tahun, menghabiskan sebagian besar masa remajanya di luar negeri sebagai anak seorang diplomat. Ketika kembali ke Tanah Air dan belajar di SMA IKIP Jakarta, selama dua tahun berturut-turut (1972-73) ia memenangkan sayembara penulisan esei tentang novel Iwan Simatupang, Merahnya Merah dan Ziarah. Kini sebagai penulis ia juga sering berceramah tentang kebudayaan dan kewanitaan. . Potret Perempuan dalam Novel Indonesia LEILA S. CHUDORI "... Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang cuma meminta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkan sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh di hadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia" (Armijn Pane, Belenggu, hlm. 16-17, 1990) SEBENARNYA Dokter Sukartono bukan suami yang terlalu banyak menuntut. Paling tidak untuk ukuran pada awal tahun 1930-an. Tapi "sang dalang" yang bernama Armijn Pane sudah menakdirkan dokter yang berdedikasi ini untuk menikah dengan perempuan beradat keras semacam Tini. Seorang istri yang di mata Tono, jangankan membukakan sepatu suaminya, mencatatkan pasien suaminya pun emoh. Apakah Tini seorang feminis? Entahlah. Pada tahun 1932, rasanya kata feminisme masih merupakan benda asing. Bahkan protes Virginia Woolf tentang sikap patriarkis di Inggris melalui A Room of One's Own masih dibaca oleh kaum lelaki sambil terbatuk geli. Tapi toh tokoh perempuan yang menggugat diskriminasi berdasarkan jenis kelamin sudah mulai bermunculan di berbagai roman di Indonesia. (1) Dari berbagai novel sastra Indonesia, Siti Nurbaya dianggap salah satu dari sedikit roman Indonesia yang menurut sejarahwan Taufik Abdullah "seakan-akan telah merupakan lambang wanita modern yang teraniaya oleh kekuasaan adat." (2) Siti Nurbaya digambarkan sebagai seorang perempuan yang lahir pada abad peralihan. Sebuah masa di mana bukan saja lelaki, bahkan perempuan pun masih dikungkung oleh alam patriarkis, di mana beristri satu orang adalah hal yang memalukan dan "tak baik anak perempuan disekolahkan". (3) Karena itu, pemikiran progresif yang dimiliki Nurbaya, karena berani menggugat tradisi daerahnya sendiri, menjadi sebuah pemberontakan mental yang keras gaungnya. * * * * Ketika seorang perempuan, apakah ia bernama Sitti Nurbaya, Tini, Yah, Tuti, Maria, ataupun Olenka, menjadi fokus sebuah cerita, yang terlihat adalah bagaimana tokoh tersebut menerjemahkan diri dalam masyarakat (dalam novel) dan sebaliknya, bagaimana masyarakat (dalam novel) memandang tokoh-tokoh perempuan tersebut. Secara sederhana, cara memandang perempuan dalam novel-novel bisa dibagi dalam dua kategori. Kategori pertama adalah perempuan yang melihat perannya berdasarkan keadaan biologisnya (istri, ibu, obyek seks, "perawan tua") atau berdasarkan tradisi lingkungannya. Sedangkan kategori lainnya adalah perempuan yang mencoba menembus batas stereotip kedudukan perempuan dan melihat dirinya sendiri sebagai individu dan bukan sekadar pendamping lelaki. Katakanlah tokoh-tokoh perempuan semacam ini adalah mereka yang biasa disebut perempuan feminis dalam definisi yang paling sederhana), yakni yang berusaha mandiri dalam berpikir dan bertindak dan menyadari hak-haknya. (4) Sesungguhnya Siti Nurbaya maupun Alimah, dan berbagai tokoh lelaki seperti Ahmad Maulana, adalah tokoh yang sudah menyadari kelemahan tradisi yang mengungkung mereka. Tapi protes mereka yang terlihat di dalam percakapan-percakapan masih terbatas hingga pemikiran yang belum dapat dilaksanakan ke dalam kata kerja. Sementara itu, Fatimah adalah tipe tokoh yang mengasosiasikan peran perempuan sesuai dengan keadaan biologisnya dan tradisi lingkungannya. "... sudah adat kita begitu, bagaimana hendak diubah? ... bila kita beranak laki-laki, alangkah malunya kita ... bila hanya seorang saja isterinya sebagai orang yang tak laku kepada perempuan." (5) Demikian ujar Fatimah kepada suaminya sendiri, Ahmad Maulana. Yang menarik justru Maulana melihat adanya ketidakadilan dalam sikap semacam itu. Berjam-jam lamanya, Maulana mendebat istrinya, dan agaknya pemikiran Maulana yang progresif menarik simpati Marah Rusli terhadap kedudukan perempuan saat itu. Lelaki macam Maulana mengingatkan kita kepada tokoh Yusuf dalam Layar Terkembang. Yusuf, dalam karya St. Takdir Alisjahbana ini, sangat mendukung pemikiran Tuti yang progresif tentang posisi perempuan. Meski pada awalnya dia jatuh cinta pada Maria, sesungguhnya Yusuf amat mengagumi kemandirian Tuti. Perbedaan Tuti dan Maria, sebagai dua bersaudara, memang menarik dibicarakan. Tuti, yang tertua, adalah seorang perempuan yang pandai, rasional, banyak membaca, dan aktif dalam gerakan Putri Sedar. Sedangkan Maria adalah perempuan yang dibahasakan Takdir bak "anak burung mengepak-ngepakkan sayap (yang) belum mendapat tempat bertengger ...". (6) Berbeda dengan kakaknya, Maria igambarkan sangat emosional, sangat menurutkan kata hatinya, dan menghadapi kehidupan dengan keriangan khas remaja. Sejak awal, Takdir sudah memperkenalkan perbedaan watak kedua bersaudara ini, hingga dengan mudah pembaca langsung bisa mengategorikan bahwa Tuti adalah seorang perempuan yang (mencoba) mandiri, sementara adiknya bersender kepadanya dan kepada Yusuf, kekasihnya. Maria, secara sadar atau tidak, adalah perempuan yang mengasosiasikan dirinya dengan keadaan biologisnya. Ia tidak bercita-cita setinggi kakaknya, dan berpendapat bahwa Tuti yang pada usia 27 tahun belum kawin juga sebagai "korban dari kecakapannya". (7) Maria juga digambarkan sebagai perempuan yang memilih untuk pasif dalam situasi tertentu, misalnya ketika berhadapan dengan lelaki. Di tengah hutan yang rindang akhirnya Yusuf mengucapkan kalimat yang ditunggu-tunggu. "Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?" Dan Maria pun berbisik, "lama benar engkau menyuruh saya menanti katamu ...." (8) Pembicaraan sepasang kekasih ini adalah indikasi bahwa perempuan saat itu dibiasakan tidak ingin berinisiatif lebih dulu dalam hubungannya dengan lelaki. Masyarakat zaman itu, dan agaknya hingga kini, menekankan sebaiknya perempuan tidak bersikap agresif dalam pernyataan cinta maupun hubungan seks. Perempuan macam Maria adalah tipe ideal pada zamannya. Paling tidak bagi kebanyakan orang, yang dalam novel ini diwakili oleh suami istri Partadihardja. Di mata mereka, Maria sungguh beruntung karena mendapat jodoh seorang "setuden Tabib Tinggi". Sementara itu, Tuti, yang sangat agresif dalam bertutur, mempunyai keyakinan yang tetap dan konsekuen dengan pendiriannya, justru akan menjadi bahan lecehan lingkungannya. Untuk priayi macam keluarga Partadihardja yang menganggap nasib perempuan adalah untuk tinggal di rumah, sikap mandiri Tuti menjadi persoalan. Bayangkan, perawan pada usia setinggi 27 tahun (di masa itu!), belum jelas jodohnya. Padahal, seperti kata Yusuf, "Tuti hanya dapat hidup bersama-sama dengan orang yang luar biasa seperti ia pula". (9) Pandangan masyarakat dalam karya Takdir ini adalah potret pandangan masyarakat Indonesia terhadap perempuan yang sesungguhnya. Dan sebenarnya dikotomi maskulin dan feminin yang dijejalkan masyarakat Indonesia ini paralel dengan situasi di Eropa pada awal abad ke-20. Bagi penulis Inggris Virginia Woolf, segregasi berdasarkan jenis kelamin adalah hasil dikte masyarakat, sehingga lelaki membentuk "hak-hak dan kewajiban" mereka sebagai kaum maskulin. (10) Sementara perempuan, secara sadar atau tidak, dipaksa untuk percaya "hak-hak dan kewajiban" mereka sebagai kaum feminin. Maka, dengan alasan biologis dan tradisi, sangat mudah untuk memanipulasi perempuan hingga mereka sendiri terjebak di dalam apa yang kita kenal sebagai "kodrat wanita". Tuti adalah seorang tokoh rekaan Takdir tentang seorang perempuan yang menolak penjara "kodrat wanita" itu. Ia adalah perempuan yang percaya "sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah". (11) Artinya, Tuti menolak untuk menjadi apa yang disebut sastrawan Prancis Simone de Beauvoir sebagai the second sex, yakni kaum yang dianggap makhluk yang lain (atau yang kedua) setelah laki-laki. (12) Namun, kuatkah Tuti berdiri seorang diri di tengah kungkungan patriarkisme lingkungannya? Sesekali Takdir memperlihatkan juga kebimbangan Tuti. Ternyata ia gelisah setelah menolak beberapa lelaki yang mencintainya. Tuti tak menginginkan hubungan dengan cinta sepihak, sementara masyarakat sudah mengejeknya ("bu guru kita ini tak laku-laku juga ..." demikian kata muridnya. (13). Kegelisahan yang dialami perempuan seperti Tuti adalah perasaan bersalah -- untuk "mementingkan dirinya sendiri" -- yang secara psikologis telah disuntikkan oleh masyarakat secara intens. Kegelisahan ini pula yang dialami Tini dalam Belenggu. Belenggu adalah karya Armijn Pane yang awalnya cukup kontroversial, karena penerbitannya pernah ditolak oleh Balai Pustaka. Tapi menonjolnya novel ini bukan hanya sekadar keributan di balik penerbitannya. Dalam arti teknik penyajian, Belenggu adalah sebuah terobosan baru dibandingkan karya-karya sebelumnya. Tak banyak penulis novel Indonesia, bahkan hingga kini, yang mampu mengaitkan keadaan jiwa tokoh dengan alam di sekitarnya seperti halnya Armijn Pane. Namun, terlepas dari orisinalitas penyajiannya, konsep penokohan perempuan dalam roman ini sebenarnya tak banyak bedanya dengan Layar Terkembang. Yah adalah perempuan yang melihat dirinya berdasarkan fungsi biologis. Ia juga dianggap oleh Sukartono sebagai "perempuan sejati". Entah karena fungsinya sebagai "pelipur lara" atau karena Yah bersedia membukakan sepatu Tono. Sementara itu, Tini, istri Tono, adalah perempuan yang mencoba untuk mandiri dan mengenyahkan stereotip masyarakat tentang kedudukan perempuan. Seperti Tuti dalam Layar Terkembang, Tini pun mengalami kegelisahan identitas dirinya dan mencoba untuk bisa berdiri sendiri. Yang membedakan Tini (Belenggu) dengan Tuti (Layar Terkembang) adalah karakterisasi keduanya. Tuti adalah perempuan yang sudah tahu apa yang diinginkannya dalam persamaan hak antara perempuan dan lelaki. Ia juga kritis terhadap perempuan yang salah kaprah terhadap konsep modernisme (yang mengartikan perkumpulan perempuan untuk bermain tenis, makan-makan, dan piknik-piknik saja). Sedangkan Tini dalam Belenggu digambarkan sebagai perempuan yang masih dalam proses mencari bentuk sebuah pemberontakan. Ia tak keberatan untuk ikut kegiatan bazar ibu-ibu pejabat yang penuh kesemuan, meski ia tahu dirinya sering digunjingkan. Di antara ibu-ibu, Tini dianggap terlalu lincah karena "berlaku seperti anak gadis" dan atau "mengenakan kutang yang terlalu longgar". Bagi masyarakat Indonesia yang kompromistis, tentu saja penampilan dan tingkah laku Tini menjadi sebuah keganjilan. Apalagi dalam berbagai pesta, Tini dan suaminya selalu datang secara terpisah. Persoalan pasangan itu bukan sekadar karena Tini tak bisa melupakan kekasihnya yang dulu, tapi ia ingin mempunyai bayangan yang kongkret tentang dirinya. Sebagai seorang istri dari kelas menengah yang di mata masyarakat kekurangan apa-apa, Tini menghadapi apa yang disebut Betty Friedan sebagai "problem tak bernama" (14). Dalam The Feminine Mistique, Friedan menggambarkan perempuan kelas menengah Barat tak mengerti kenapa mereka merasa ada suatu kekosongan dalam hidup. Secara ekonomis, mereka tidak dieksploitasi seperti halnya buruh perempuan. Tapi entah bagaimana, mereka tak tahu apa yang diinginkan. Terlepas dari berbagai kelemahan analisis Friedan, sesungguhnya ia telah berhasil menunjuk suatu persoalan jiwa perempuan yang tak terbahasakan. Dan Armijn Pane berhasil menggambarkan "problem tak bernama" ini dengan baik. Dari tiga roman klasik ini, secara umum kita bisa melihat pemotretan perempuan-perempuan yang berdiri di ujung spektrum yang berlawanan. Ada perempuan-perempuan yang melihat perannya berdasarkan fungsi biologis atau berdasarkan tradisi lingkungannya seperti Fatimah (Siti Nurbaya), Maria (Layar Terkembang), dan Yah (Belenggu). Di ujung spektrum yang berlawanan berdirilah Siti Nurbaya dan Alimah (Siti Nurbaya), Tuti (Layar Terkembang), dan Tini (Belenggu). Dalam novel sastra tahun 1970-an, pemberontakan perempuan untuk menjadi sebuah pribadi yang mandiri terlihat semakin nyata dan lebih padat. Seiring bentuk dan susunan masyarakat yang berkembang menjadi kompleks, nampaknya karya sastra setelah tahun 1970 telah ikut pula menggambarkan jiwa mandiri perempuan dengan kompleks. Tokoh Sri dalam Pada. Sebuah Kapal karya N.H. Dini memang cukup unik. Setelah kematian tunangannya, dengan tiba-tiba Sri berani memutuskan untuk menikah dengan lelaki Prancis yang tak dicintainya. Tapi salah satu keputusannya untuk mengawini Charles Vincent ini menunjukkan sisi "tradisional" yang masih mengungkung Sri. "Aku kawin dengan dia karena aku suka kepadanya, dan karena aku takut. Aku sadar akan kehilanganku. Pemuda-pemuda di negeriku menganggap seorang wanita yang telah kehilangan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah .... Dan apakah nasibnya wanita-wanita seperti aku yang telah menyerahkan segala yang dipunyainya kepada seorang laki-laki ....?" (15) Dan Sri telah membuat keputusan fatal. Ternyata Vincent adalah seorang lelaki yang kasar dan gemar memaki istri sendiri di muka umum. Di sinilah N.H. Dini menggambarkan pemberontakan Sri untuk lahir menjadi seorang pribadi yang mandiri. Dengan bahasa yang indah dan detail yang mengagumkan, kita melihat Sri yang bangkit menjadi seorang perempuan yang berani melawan arus pemikiran lingkungannya. "Selama 24 tahun aku dijejali pemikiran bahwa seorang istri adalah bayangan suaminya. Bahwa surga seorang istri terletak di telapak kaki suaminya. Bahwa suami adalah ratu dan wakil Tuhan yang harus dianut dan diikuti segala perintahnya .... Tetapi itu semua kini telah berlalu. Aku menjadi kebal. Biarlah aku tidak usah menjadi istri sempurna seperti yang selalu dijejalkan orang-orang tua kepadaku ...." (16) Ketika Sri berkenalan dan bercinta dengan Michel, kita mendapatkan indikasi bahwa Sri telah berani memilih. Ia merasa dirinya berhak mencari kebahagiaan. "Aku semula menyesali tingkah pelanggaran terhadap pagar ayu seorang perempuan setia, kini menerima semua ini dengan seadanya .... Aku juga berhak untuk mencinta, untuk mengenal kebahagiaan mencinta yang semula hanya kukenal di film-film atau di buku-buku ...." (17) Dibandingkan novel-novel yang terdahulu, penggambaran tokoh utama perempuan dalam Pada Sebuah Kapal memang lebih kompleks. Keinginan Sri untuk tampil mandiri -- tanpa harus meledak-ledak -- tumbuh secara alami karena penderitaan yang datang bertubi-tubi. Sri ingin eksis sebagai seorang manusia yang utuh dan bukan sekadar "sebagian dari barang-barang rumah tangga. "(18) Ia ingin diberi kesempatan untuk mengucapkan pikirannya sendiri, karena selama berumah tangga dengan Vincent, ia hanya dianggap perpanjangan dari suaminya. Penderitaan Sri sesungguhnya melambangkan penderitaan banyak perempuan di Indonesia hingga kini, di mana seorang istri dianggap sebagai sekadar pendukung suami. Ini bukan hanya refleksi dari pandangan masyarakat Indonesia terhadap perempuan, tapi sebuah pemikiran yang bahkan disokong sepenuhnya oleh program pemerintah dalam PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) melalui Panca Darma Wanita. (19) Keberanian Sri untuk menentang arus adalah bagian dari karakternya yang sudah diperlihatkan pengarangnya sejak dini. Dari awal cerita kita sudah diperkenalkan kekerasan karakter Sri. Dia tak menangis ketika ibunya meninggal. Dia berani berbuat sesuatu yang dianggap "lain" oleh saudara-saudaranya, misalnya belajar menari Bali, padahal sebelumnya ia biasa menari Jawa. "Persiapan" karakterisasi perempuan yang kuat ini juga terlihat dalam Bawuk karya Umar Kayam. (20) Melalui sebuah adegan flashback yang memikat, kita melihat masa kecil Bawuk yang diwarnai dengan keunikan tingkahnya. Berbeda dengan kakak-kakaknya, tingkah laku Bawuk tidak menggambarkan "tipe anak priayi". Makan tebu di belakang kandang kuda dengan anak desa atau tiduran di atas balai-balai mendengarkan cerita bediende adalah kegemaran Bawuk yang sebenarnya tak disukai orangtuanya. Tapi sejak kecil Kayam telah menggambarkan Bawuk sebagai putri keluarga Surjo yang "paling ribut tetapi juga paling mengasyikkan, paling cerdas, dan pemurah." (21) Ketika ia menikah dengan Hassan -- seorang aktivis komunis -- ia tahu bahwa pilihannya itu adalah "sesuatu yang lain" dibandingkan kakak-kakaknya yang menikah dengan brigjen atau dirjen. Bawuk sadar betul -- meski pernikahannya tidak ditentang -- ia tidak akan lagi berada di lingkaran priayi seperti yang diharapkan keluarganya. "Aku? Aku kawin dengan seorang pemimpin gila," kata batin Bawuk ketika harus menghadapi kakak-kakak dan para iparnya. Bawuk memang harus menjawab sebuah pertanyaan yang kompleks. Apa hubungannya dengan PKI? Buat Bawuk sendiri, ia bukan anggota PKI. Tapi mengapa ia membantu menjalankan tugas-tugas PKI sebagai kurir? Bawuk sendiri tak mengerti. "Saya selalu kesulitan dalam mencoba mengerti tentang hubungan dengan PKI itu. Satu-satunya hal yang terang bagiku hanya hubunganku dengan Hassan." (22) Melalui dialog yang mencekam, Kayam mampu memunculkan Bawuk sebagai pribadi yang kompleks. Ia menyadari kedudukannya sebagai seorang istri yang setia. Dan sejak semula, "Bawuk selalu merasa pertama-tama kawin dengan seorang Hassan daripada seorang komunis ...." (23) Bahwa kekomunisan Hassan menjadi semacam "setan kecil yang sepenuhnya telah menguasai suaminya" baru disadarinya belakangan. Dalam masa pencarian suaminya, Bawuk mulai tak yakin apakah "intensitas gerakannya itu lebih banyak didorong karena keinginannya untuk menemukan Hasan, ataukah memang idealisme yang suda ditancapkan oleh Hassan serta kawan-kawannya selama ini betul-betul sudah merasuk dalam darah dagingnya, sehingga kedua dorongan itu sudah bersenyawa menjadi satu." (24) Di sinilah keberhasilan Kayam memunculkan berbagai dimensi dari jiwa seorang perempuan. Berkali-kali Bawuk menekankan perannya sebagai seorang istri (aktivis komunis) yang sedang mencari suaminya. Dan toh sepanjang pencarian itu ia menerima tugas kawan-kawan suaminya sebagai kurir. Yang Bawuk ketahui, ia telah memilih kehidupan itu, sebuah "dunia abangan .. yang selalu resah dan gelisah, dunia yang penuh ilusi yang memang sering bisa indah sekali". (25) Bawuk menunjukkan kemandiriannya dengan pilihan hidupnya yang menentang arus, yang "non-konformis" tapi toh tetap sebuah pilihan seorang istri yang setia kepada suami. Jadi sesungguhnya ada semacam kontradiksi dalam tindakan Bawuk. Di satu pihak, Bawuk menunjukkan bahwa ia seorang individu yang bisa memilih jalan kehidupannya sendiri. Tapi, di lain pihak, ia juga melihat dirinya sebagai seorang istri -- yang sadar bahwa suaminya adalah seorang pemimpin gila -- dan membabi-buta mempertahankan kesetiaan itu dengan (sadar atau tak sadar) membantu PKI sebagai kurir. Perempuan-perempuan yang bisa memilih dari menyatakan diri untuk mampu memilih jalan hidup mereka (tanpa pengaruh tekanan masyarakat, memang belum tentu akan bahagia dengan pilihannya. Bawuk akhirnya memilih sebuah jalan hidup yang belakangan membahayakan dirinya. Sementara itu, Olenka, sebuah pribadi lain, ciptaan Budidarma, adalah seorang perempuan yang sesungguhnya memilih jalan hidupnya atas dasa impuls-impuls. Olenka hidup di dalam dunianya sendiri. Melalui narator Fanton Drummond, pembaca diperkenalkan pada tingkah laku Olenka yang ganjil. Dari kegemarannya membaca buku seperti karya Perry Miller yang berbicara tentang bagaimana Tuhan memberikan "nasib" dan "kemauan bebas" kepada manusia, hingga petualangan Olenka dalam dunia lesbianisme. (26) Olenka bukanlah perempuan gendheng, meski tingkah lakunya inkonvensional. Menurut Wayne, suami Olenka, perempuan itu bersedia mengawininya karena Olenka percaya Wayne sangat berbakat menjadi pengarang. Olenka menganggap Wayne adalah "seorang primitif yang bakat jeniusnya terpendam di bawah karang." Semula, Olenka mengabdi pada Wayne secara membabi buta. Siang malam mencari nafkah, terbirit-birit mencarikan naskah cerpen Wayne, memijiti tangannya atau mengambilkan minum. Lama-lama, Olenka capek diperbudak. Apalagi Wayne tak kunjung menjadi sastrawan terkemuka. Tapi toh setelah Wayne mengizinkan Olenka untuk meninggalkannya, Olenka buru-buru memuja Wayne seraya "membujuk-bujuk saya untuk menggarapnya sebagai abdi," demikian cerita Wayne kepada Fanton dengan bangga. Harap ingat, meski berbagai pengamat -- termasuk Budi Darma sendiri -- - mengatakan ini bukan novel absurd, Olenka tetap bukan sebuah karya konvensional dengan tokoh-tokoh linier. Tokoh-tokoh Budi Darma adalah orang yang berkecamuk dengan pikiran dan bayangannya sendiri serta lingkungannya. Olenka sendiri, paling tidak di mata Fanton, adalah sebuah labirin. Olenka merasa diperkosa suaminya, dan akibatnya dia membenci Steve, anaknya. Setelah Steve lahir, Olenka bertualang dengan berbagai demenan hingga akhirnya terbentur pada Fanton Drummond. Tapi toh setelah pergi ke sana-kemari, Olenka tetap mengatakan "... apa pun yang terjadi, Wayne adalah suami saya. Saya yakin bahwa dia tidak akan sanggup mencari uang, baik buat dia sendiri, apalagi buat dia dan Steve ... dan bagaimanapun juga Steve adalah anak saya ...." (27) Melihat kepribadian Olenka, nampaknya agak mengejutkan jika pada akhirnya Olenka memilih statusnya semula, yakni: istri (dari suami gendheng) dan seorang ibu. Itulah sebabnya Olenka adalah sebuah labirin. Pada setiap lembar halaman novel (yang artinya lembaran kehidupan Olenka), kita menemukan sesuatu yang baru. Bahkan ketika pada lembaran terakhir, ketika kita dan Drummond mengetahui bahwa Olenka adalah seorang pemalsu lukisan, itu pun adalah bagian dari labirin Olenka. Berbeda dengan Sri dalam Pada Sebuah Kapal, Olenka sudah menjadi pribadi yang mandiri sejak awal cerita. Mungkin karena ia adalah seorang perempuan Amerika, diskriminasi seks -- meski tetap ada -- tidak menjadi persoalan terbesar dalam hidupnya. Budi Darma adalah penulis yang lebih tertarik kepada kehidupan batin tokoh-tokohnya. Artinya, kita tak melihat peristiwa besar yang bersifat jasmaniah dalam Olenka. Karena itu pula, meski Olenka diasumsikan seorang perempuan Amerika, tak sedetik pun kita mendapatkan bayangan bahwa dia seorang anggota pergerakan perempuan macam Tuti dalam Layar Terkembang. Olenka juga tak mengalami konflik politik dalam kehidupan pribadinya seperti yang dialami Bawuk dalam Bawuk. Olenka, seperti juga Drummond, adalah pribadi yang membiarkan segala sesuatu mengalir begitu saja di luar dirinya. Ia menikmati nilai sensasi dalam kehidupan sehari-hari, terutama setelah menikah dengan Wayne, dan saya kira, alasan utama Olenka untuk tidak menceraikan Wayne adalah untuk memelihara sensasi tersebut. * * * * Apa yang bisa dikatakan tentang Nurbaya, Tuti, Tini, Sri, Bawuk, dan Olenka? Bagaimana mereka menerjemahkan diri di dalam masyarakat (dalam novel) dan bagaimana pula masyarakat (dalam novel) menilai mereka? Nurbaya, Tuti, dan Tini hidup di dalam masyarakat (dalam novel) yang sedang mengalami perubahan. Masyarakat (dalam novel) tersebut mempunyai pandangan yang beragam tentang sikap-sikap kemandirian tokoh-tokoh ini. Sementara menyadari patriarkisme yang mengungkung dan menghalangi keinginan mereka, tokoh-tokoh ini mencoba menerjemahkan diri sebagai perempuan yang ingin menembus batas stereotip ini. Upaya untuk tampil sebagai manusia yang mandiri -- dan bukan sekadar pendamping lelaki -- diekspresikan oleh tokoh novel tersebut dengan cara yang berbeda. Pemberontakan Nurbaya terhadap kekuasaan adat yang mengungkungnya masih berupa gugatan. Pemberontakan Tini dalam Belenggu diperlihatkan dengan tindakan yang dianggap tidak lazim bagi perempuan saat itu, sementara Tuti mengekspresikan seluruh pemikiran emansipasi melalui aktivitasnya dalam gerakan perempuan. Mungkin untuk menunjukkan pandangan masyarakat (dalam novel) saat itu, para pengarang agaknya harus memunculkan tokoh-tokoh perempuan yang berdiri di ujung spektrum yang berlawanan dengan tokoh-tokoh utama tadi. Artinya, tokoh-tokoh perempuan ini tak harus dianggap antagonistis. Mereka adalah perempuan-perempuan yang, sadar atau tak sadar, mendukung stereotip serta "hak-hak dan kewajiban wanita" yang dibebankan masyarakat. Fatimah, Yah, Maria, jelas merupakan tokoh novel yang menerjemahkan dirinya berdasarkan fungsi biologis atau tradisi lingkungannya. Tokoh perempuan seperti ini adalah mereka yang justru mempertahankan kelangsungan hidup perempuan sebagai the second sex dan tunduk di bawah mitos "kodrat wanita". (28) Sementara itu, Sri (Pada Sebuah Kapal), Bawuk (Bawuk), dan Olenka (Olenka) adalah tokoh perempuan dalam novel sastra tahun 1970-an yang mempunyai kepribadian yang lebih kompleks. Mereka adalah perempuan yang mandiri, yang mencoba menerjemahkan dirinya sebagai individu yang mempunyai pilihan hidupnya sendiri. Masyarakat dalam novel-novel ini sesungguhnya masih merupakan masyarakat yang mempertahankan mitos "kodrat wanita". Namun, Sri, Bawuk, dan Olenka adalah tokoh perempuan yang, dengan caranya sendiri-sendiri, mampu menentukan hidupnya tanpa terganggu oleh harapan masyarakat (dalam novel) terhadap mereka. Baik N.H. Dini, Umar Kayam, maupun Budi Darma tidak menciptakan tokoh perempuan yang masih mempertahankan pandangan mitos "kodrat wanita" sebagai "lawan" dari tokoh utama perempuan tadi. Pembaca diseret sepenuhnya untuk mendalami kompleksnya setiap tokoh perempuan tadi. Kenapa Sri, yang sudah berani memilih bercinta dengan lelaki yang bukan suaminya, tak kunjung bercerai dari Vincent? Apakah masih ada sekelumit elemen "pengaruh tradisi lingkungan" yang menghalanginya? Atau itu kepentingan estetika Dini? (Memang keindahan novel itu justru karena Dini mengakhirinya dengan open ending. Seandainya perceraian terjadi dan Sri hidup berbahagia dengan Michel, belum tentu novel ini akan menarik). Persoalan tokoh perempuan dalam novel 70-an ini juga lebih luas dan kompleks. Masalah perempuan dalam novel Pada Sebuah Kapal, Bawuk, dan Olenka bukan hanya berbicara soal hubungan percintaan, perkawinan, dan pendidikan belaka, melainkan persoalan politik (Bawuk) dan proses mencari diri (Pada Sebuah Kapal dan Olenka). Dalam perluasan tema, Bawuk adalah contoh yang paling menarik untuk dibicarakan. Baik Bawuk maupun lingkungannya (dalam novel) masih mencari tahu, apakah intensitas gerakan Bawuk didorong keinginan bertemu dengan suaminya ataukah ia, secara tak sadar, sudah mulai menjadi pengikut PKI. Baginya, tak mudah untuk menjawab pertanyaan itu, karena secara ideologis ia tak menganggap dirinya PKI. Persoalan Bawuk menjadi gabungan antara masalah perempuan sebagai seorang istri yang mencintai suaminya dan masalah politik. Sebuah tema yang memperlihatkan bahwa dunia perempuan bukan sekadar menunggui suami dan menyediakan makan malam, tapi perempuan dilibatkan ke dalam berbagai aspek dunia yang kompleks. Kini, di tahun 1990-an, barangkali sastra Indonesia akan menggambarkan persoalan perempuan yang jauh lebih kompleks dan mencakup beragam masalah baru. Berbagai istilah baru yang dikonotasikan kepada perempuan muncul, di antaranya "wanita karier" dan "peran ganda". (29) Istilah-istilah yang harus mengalami perdebatan karena masih patriarkis dan menunjukkan bahwa emansipasi perempuan masih merupakan perjalanan yang panjang dan getir. Catatan Belakang: 1) Saya sengaja membatasi diri dalam pemilihan novel-novel sastra ini. Artinya, saya mengabaikan apa yang biasa disebut sastra pop, karena pembahasan kategori sastra pop akan mempunyai latar belakang tersendiri. Saya juga tidak memasukkan novel/cerpen/prosa Indonesia yang menokohkan perempuan desa seperti Ronggeng Dukuh Paruk, Pengakuan Pariyem, atau Sri Sumarah, karena tokoh-tokoh ini mempunyai kesempatan mengaktualisasikan diri -- kalaupun ada -- yang jauh lebih kecil daripada perempuan kelas menengah di kota. Salah satu sebabnya adalah karena masih ada aspek elementer, yakni perempuan-perempuan ini masih harus berjuang mencari uang. Prosa-prosa tersebut akan saya bicarakan dalam tulisan yang berbeda. (2) Taufik Abdullah, Siti Nurbaya: Roman, Wanita dan Sejarah, 1990 (3) Marah Rusli, Siti Nurbaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) hlm. 193-200 (3) Pemilihan novel-novel sastra ini dari puluhan novel dipilih yang secara pribadi saya anggap menarik dan cukup mewakili zamannya tanpa mengabaikan apresiasi terhadap novel sastra lainnya yang tak sempat saya sebut. (4) Ada berbagai definisi feminisme. Dan saya hanya akan mengambil definisi feminisme yang paling sederhana untuk kepentingan praktis dalam rangka membandingkannya dengan kategori pertama. (5) Rusli, Siti Nurbaya, hlm. 193 (6) St. Takdir Alisjahbana Layar Terkembang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) hlm. 9 (7) Ibid., hlm 100 (8) Ibid, hlm 59 (9) Ibid. hlm. 100 (10) Lihat Virginia Woolf, A Room of One's Own (London: Granada Publishing Ltd., 1983) (11) Ibid., hlm. 37 (12) Lihat Simone de Beauvoir, The Second Sex, (New York: Alfred Knopf, Inc., 1952) (13) Alisjahbana, Layar Terkembang, hlm. 96 (14) Betty Friedan, The Feminine Mystique (London: Penguin, 1968) hlm. 13-17. (15) N.H. Dini, Pada Sebuah Kapal, (Jakarta: PT Gramedia, 1985) hlm. 123 (16) Ibid., hlm 130 (17) Ibid., hlm 179 (18) Ibid., hlm 129 (19) Dalam PKK, Panca Darma Wanita dirumuskan dalam lima peran yang penting: 1. Istri Pendamping Suami 2. Pengelola Rumah Tangga 3. Ibu Penerus Keturunan. 4. Ibu Pendidik Anak 5. Warga Negara Indonesia (Lihat Norma Sullivan, Indonesian Women in Development: State Theory and Urban Kampung Practice, in Lenore Manderson (ed.) Women's Role, Economics and Everyday Live in Indonesia, Malaysia and Singapore, Canberra: Australian National University) hlm. 147. (20) Sebenarnya Bawuk karya Umar Kayam bukanlah sebuah novel melainkan apa yang disebut pengarangnya sendiri sebagai " cerpenpan" (cerita pendek panjang). Baca: Tentang Proses Penulisan Cerita Saya oleh Umar Kayam dalam Dua Puluh Sastrawan Bicara yang dikumpulkan oleh Dewan Kesenian Jakarta (Jakarta: Sinar Harapan) hlm. 158. Sesuai dengan yang disarankan namanya, saya tak ragu untuk ikut memasukkannya dalam tulisan ini berdasarkan segi pemotretan tokoh Bawuk sebagai seorang perempuan (21) Umar Kayam, Sawuk dalam kumpulan Sri Sumarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986) hlm. 104 (22) Ibid., hlm. 143 (23) Ibid., hlm. 127 (24) Ibid., hlm. 137 (25) Ibid., hlm. 149 (26) Dalam catatan kaki Budidarma, pemikiran Perry Mileer dalam novel itu ia rombak dan ia campur dengan pemikiran Nathalie Hawthorne, Budidarma Olenka, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm 35 dan 226 (27) Ibid., hlm. 170 (28) "Kodrat Wanita" buat saya adalah sebuah terminologi yang eksis. Istilah "kodrat wanita" menghadapkan kita kepada pandangan pembagian kerja berdasarkan seksual, yakni: lelaki bekerja mencari natkah dan perempuan di rumah mengurus rumah tangga. Adalah benar perempuan adalah makhluk yang melahirkan dan menyusui, tapi alasan biologis ini sering dimanipulasi sehingga menghalangi gerak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu contohnya, dulu perempuan sulit mendapatkan pendidikan tinggi, sekarang perempuan yang bekerja dan berkarier masih dipersoalkan (29). Saya tidak sepenuhnya menyetujui terminologi "Peran Ganda Wanita". Istilah ini kembali menghadapkan kita kepada dikotomi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, yakni: lelaki di luar rumah dan perempuan di dalam rumah. Jadi, perempuan yang melakukan pekerjaan di luar rumah plus berumah tangga lantas disebut: "berperan ganda". Padahal, baik lelaki maupun perempuan sebagai manusia sama-sama mempunyai berbagai (tidak hanya dua) tugas. Leila S. Chudori, 28 tahun, adalah tamatan Trent University Peterborough, Ontario, Kanada. Mula-mula tampil sebagai penulis cerita anak-anak, belakangan dikenal sebagai penulis cerita pendek. Pernah menjadi wartawan Jakarta-Jakarta, ia menghasilkan beberapa artikel yang dimuat di beberapa majalah, antara lain Femina dan Matra sedangkan esei dan cerpennya dimuat di Kompas, Horison (Jakarta), dan Solidarity (Manila). Kumpulan cerpennya, Malam Terakhir, diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus