Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menyelam ke Dunia Tak Terbatas itu...

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan anak berselonjor di sebuah toko buku terbesar di kota ini. Tentu saja bukan Barnes and Noble, bukan Borders—dua toko buku besar di Amerika Serikat—yang menyediakan satu lantai besar untuk anak-anak. Ini toko buku di Jakarta yang cuma mampu menampilkan buku-buku terjemahan—dengan kualitas terjemahan seadanya—dan sedikit buku impor. Tapi, dengan bau keringat yang masam dan kecerewetan yang menunjukkan kecerdasan, anak-anak itu menunjukkan minat baca yang luar biasa, jauh lebih mengagumkan daripada para orang tua Indonesia yang sudah sangat jelas sangat tak menghargai pentingnya buku untuk pengembangan wawasan.

Maka, sebelum terlambat atau menyesal, di Hari Anak Indonesia ini, ada baiknya membaca beberapa resensi buku sastra dunia dan Indonesia ini, yang bisa membantu untuk memilih buku menarik yang sudah beredar di Indonesia.

Alice's Adventures in Wonderland
Penulis : Lewis Carroll
Ilustrasi: Barry Mosser
Penerbit: Harcourt Brace Jovanovich

Di pengujung sore Natal yang dingin di tahun 1871, penulis anak-anak terkemuka Lewis Carroll mencelupkan pucuk pena ke dalam botol tinta. "Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ribuan anak-anak yang pernah membaca Alice in Wonderland dan pada perhatian yang ditumpahkan pada mimpi masa kanak-kanak saya," demikian tulisnya kepada pembaca anak-anak di seluruh dunia.

Alice in Wonderland karya Carroll—dalam versi Indonesia diberi judul Alice di Negeri Ajaib—adalah karya klasik yang lahir lebih dari seabad silam. Pada 1867, Alice in Wonderland menghebohkan Eropa bukan hanya karena cerita anak-anak yang begitu kelabu (tapi disajikan dengan nada yang ceria), tapi juga karena para kritikus bingung dengan kategorisasi: apakah buku ini adalah buku sastra anak? Dewasa? Psikoanalisis? Filsafat? Matematika?

Buku klasik ini memulai ceritanya dengan adegan Alice yang duduk di bawah pohon, terkantuk-kantuk, dan dikepung oleh rasa bosan. Sang kakak membaca sebuah buku dan tak mengacuhkannya. "Apa gunanya membaca buku yang tak ada gambarnya?" Alice mengeluh sambil melihat kelebatan seekor kelinci di pokok-pokok yang rimbun. Ia berjingkat mengikuti sang kelinci, yang tiba-tiba, entah bagaimana, memaksa Alice ikut nyemplung ke sumur. Dan kemudian, pembaca pun ikut tersedot ke dunia Alice, dunia mimpi yang tak memiliki batas, peraturan, ataupun hukum-hukum realitas.

Di sana, di alam mimpi, ia bertemu dengan berbagai makhluk aneh, yang tak akan ditemuinya di dunia realitas: Kelinci Berdasi, Ratu Kartu, sang Kura-kura. Dunia itu begitu menekan, memberikan rasa tak nyaman, apalagi dengan kecenderungan sang Ratu yang gemar memenggal kepala orang. "Di dunia macam apakah aku ini?"

Buku ini diterbitkan dengan teks asli, tapi ilustrasinya dengan gaya woodcut dengan menggunakan arsiran tinta. Ilustrasi itulah yang membuat buku Alice's Adventures in Wonderland menjadi istimewa. Sebab, cerita ini memang sudah telanjur terkenal, sehingga tak ada yang baru kecuali dia mengajak kita ke dunia mimpi buruk itu. Buku yang ditulis dengan pengantar surat Carroll dan beberapa ulasan kritikus sastra ini sudah tersebar di berbagai toko buku Indonesia, sehingga akan menjadi alternatif yang lebih baik daripada buku terjemahan yang cenderung menyederhanakan persoalan.

Haroun and the Sea of Stories
Penulis : Salman Rushdie
Penerbit: Granta Books

In a sad city, the saddest of cities, a city so ruinously sad that it has forgotten its name, a professional storyteller named Rashid lives with his son Haroun….

Demikianlah Salman Rushdie membuka dongengnya. Novel ini diterbitkan pada 1990, dua tahun setelah The Satanic Verses menghebohkan dunia. Maka, Haroun Khalifa seolah menggugat mereka yang "membenci dongeng-dongeng." Khattam-Shud, Pangeran Penutup Mulut yang memusuhi segala bentuk cerita, segera menjawab, "Dunia ini bukan untuk bersenang-senang. Kehidupan di dunia untuk mengontrol."

Maka, Haroun Khalifa, sang tokoh utama, bersedih hati. Ia adalah putra Rashid Khalifa, pendongeng terkemuka di Negeri Alifbay (sebuah kata Hindustan yang berarti "abjad"). Rashid, beserta istrinya, Soraya, dan anaknya, Haroun, hidup dari lidah dan ludahnya: ia menggoyang kocek pendengar dengan bualan yang memikat. Begitu memabukkan hingga kisah-kisahnya disebut sebagai Ocean of Notion ("Samudra Khayal"), sementara musuhnya menjuluki dia The Shah of Blah ("Raja Omong Kosong").

Setelah novel Midnight's Children dan Grimus, Rushdie memang menunjukkan dirinya sebagai seorang tukang dongeng yang "mabuk bercerita". Rashid Khalifa adalah personifikasi dari dirinya. Ia begitu mabuk sehingga menabrak semua konvensi realitas dan menyeruduk dunia imajinasi ke segala arah. Tapi, berbeda dengan Satanic Verses, novel Haroun and the Sea of Stories ditulis dengan kemampuan mengekang dan penyuntingan yang wajar.

Dalam novel ini, melalui tokoh Rashid dan Haroun, kebebasan berbicara, berpikir, dan mencipta dipertanyakan dengan cara yang jenaka. Tapi ia tetap mengejek kaum penguasa, diwakili oleh Khattam-Shud, yang cenderung ingin mengontrol tanpa batas.

Karena ini adalah sebuah novel anak-anak, Rushdie menyelesaikan cerita itu dengan kemenangan tokoh baik. Khattam-Shud meleleh. Kehidupan dongeng menang. Dengan akhir yang begitu lepas, bebas, dan enteng, kita diingatkan bahwa ini semua hanyalah dongeng anak-anak.

The Boy Who Drew Cats
Diceritakan kembali oleh : David Johnson
Ilustrasi: David Johnson
Penerbit: Rabbit Ear Books

Dia seorang anak lelaki yang hanya gemar melukis. Ia menghabiskan hari dengan melukis kucing-kucing dalam berbagai tingkah dan menghabiskan malam untuk tidur di sebuah kardus kecil. Lalu, ada gunanyakah kumpulan lukisan kucing itu?

Inilah dongeng Jepang yang diceritakan kembali oleh seorang pendongeng dan ilustrator Barat dengan sangat baik. Buku dengan ilustrasi sebagai primadona ini menggunakan teks pendamping yang sederhana tapi tetap puitis. Begitu pentingnya visualisasi sehingga adegan-adegan "kekerasan" disajikan dengan simbolis.

Syahdan, gambar-gambar kucing itu, entah bagaimana, hidup dan "membunuh" jin-jin di suatu malam hingga desa itu damai kembali. Sang anak menjadi seorang pelukis terkemuka dan hingga kini, konon, gambar-gambar kucing itu—lengkap dengan "darah jin" yang menciprat di tembok—menjadi obyek tontonan turis yang mengunjungi desa itu.

Tentu saja setiap ilustrasi adegan demi adegannya menjadi daya tarik utama buku ini. Dongeng adalah dongeng. Semuanya biasanya menarik minat anak-anak (dan orang dewasa). Tapi ilustrasi buku ini bukan hanya terampil menyajikan kehalusan dan detail kehidupan sebuah desa yang warganya hidup dalam ketakutan. Ia juga berhasil memunculkan sekuen dramatis yang unik, misalnya muncratan darah di tembok yang secara simbolis menunjukkan bahwa gambar kucing itu telah "hidup" membunuh para jin.

Selain untuk sebuah bacaan yang menegangkan, buku ini layak dikoleksi karena ilustrasinya yang cemerlang.

The Pooh Story Book
Penulis: A.A. Milne
Ilustrasi: E.H. Sheppard
Penerbit: E.P. Dutton and Co

Tiba-tiba saja beruang jingga yang montok itu ada di mana-mana: di piama, di kaus anak remaja, di sepatu, di gelas, di pensil, di tas, di jepitan, dan di semua pernik rumah tangga. Winnie the Pooh, beruang ciptaan A.A. Milne, pasti tak menyangka dirinya menjadi populer hingga ke pojok Indonesia.

Milne, beserta ilustrator Sheppard, semula menciptakan beruang Pooh yang jauh lebih "langsing" dan berwarna kecokelatan sebagai dunia rekaan tokoh Christopher Robins. Pooh adalah seekor beruang mainan—karena itu, ia tampil dengan jahitan, untuk menunjukkan bahwa dia adalah boneka mainan Robins (yang kemudian "hidup" dalam imajinasi Robins).

Kisah-kisah yang kemudian muncul, seperti A House is Built at Pooh Corner for Eeyore, Piglet is Entirely Surrounded by Water, dan Pooh Invents a New Game and Eeyore Joins In, hanyalah kisah petualangan Winnie the Pooh bersama serombongan kawannya. Di Hundred Acre Woods (Hutan 100 Acre) itulah beruang Pooh yang baik dan pencinta madu, anak babi Piglet yang selalu senewen, keledai Eeyore yang selalu depresif, macan Tiger yang selalu riang berloncatan, kelinci Rabbit yang pemarah, burung hantu Owl yang arif bijaksana, serta ibu-anak Kanga dan Roo selalu mengadakan kegiatan dan petualangan yang mengasyikkan.

Penampilan Pooh yang pertama pada 1967 dengan lukisan yang menggunakan cat air, spidol, dan pensil gambar itu lebih berbentuk ilustrasi dengan teks Sheppard yang puitis. Tak disangka, buku kisah Pooh meledak dan disambut oleh anak-anak serta kritikus sastra. Begitu suksesnya karya ini hingga berbagai kritikus mengulasnya dari berbagai sudut, termasuk—paling terkenal—buku ulasan tentang elemen Buddhisme dalam karakter beruang Pooh.

Bagi anak-anak, petualangan Christopher Robins, Winnie the Pooh, dan kawan-kawan itulah yang penting. Karakterisasinya yang lucu dan penyelesaian persoalan yang bijaksana—tanpa menggurui—mampu menjangkau anak balita (di bawah lima tahun) hingga dewasa.

Hanya setelah perusahaan Walt Disney mulai "masuk" ke arena Hutan 100 Acre itulah beruang Pooh menjadi montok, berwarna jingga, dan bersamaan dengan itu kawan-kawannya pun berubah bentuk seperti sosok kartun yang ceria. Dan apa boleh buat, "jasa" Disney yang tangan konglomerasinya menjangkau berbagai bidang itulah yang menyebabkan beruang Pooh dan kawan-kawan dikenal di Indonesia (dan di piama atau di gelas anak Anda).

Mercedes Ice
Penulis: Philip Ridley
Ilustrator: Chris Riddle
Penerbit: Puffin Books

Di Kota London, Shadow Point menjadi sebuah gedung apartemen yang mengganggu kedamaian. Tembok-temboknya retak dan bayangan besarnya mengungkung kehidupan warga di sekelilingnya. Adalah Mercedes Ice, seorang anak lelaki yang hidup di antara kegelapan itu. Dia lahir dari rahim Hilda, seorang perempuan yang luar biasa tambun dan tak mampu keluar dari kamarnya karena pintunya terlalu sempit untuk meloloskan tubuhnya. Mercedes hidup di dalam kegelapan ruang bawah tanah yang disebutnya sebagai "kerajaan"-nya, sementara Hickory, sang gadis kecil yang sungguh kebelet berkawan dengan dia, berlaku sebagai seorang "pelayan" dari Mercedes.

Ini sebuah dongeng urban untuk anak-anak yang universal karena berkisah tentang nasib anak-anak setelah berbagai bangunan tinggi merampas hak anak untuk bermain. Buku ini menjadi kontekstual bagi anak-anak di dunia mana pun—di banyak negara (berkembang), kebutuhan anak-anak selalu dilupakan. Mercedes adalah sosok anak yang begitu mengerikan, tanpa hati dan tanpa nurani. Ia "memperbudak" semua orang di sekelilingnya karena merasa haknya sebagai anak telah sirna.

Ini memang kisah gelap dan diceritakan dengan lancar dan dramatis oleh Philip Ridley—dengan ilustrasi Chris Riddle yang menggunakan teknik arsir—yang mengingatkan kita pada kefasihan Road Dahl dalam Mathilda yang tersohor itu.

Wolf
Penulis: Sara Fanelli
Ilustrator: Sara Fanelli
Penerbit: Dial Books for Young Readers

Di suatu siang yang cerah, seekor serigala ingin menghirup udara kota. Ia ingin merasakan kehidupan beradab. Ia ingin berkawan, bercakap, dan bermain dengan anak-anak manusia. Ia ingin menolong seorang ibu yang kehilangan sepasang kacamatanya atau membantu seorang bapak memperbaiki mobilnya atau bermain topeng-topengan dengan anak-anak. Tapi serigala dalam dongeng kita adalah makhluk jahat pemakan manusia. Adakah alasan manusia untuk berbaik hati kepada makhluk berbulu, bergigi tajam, dan bermata penuh muslihat itu?

Sara Fanelli menampilkan cerita ini dengan visualisasi yang cemerlang. Dengan teknik kolase—menggunakan guntingan koran, sobekan buku tulis, cat air, dan pensil gambar (untuk sosok sang serigala Wolf)—buku cerita Wolf lebih menampilkan sebuah "sastra visual" daripada pengandalan teks. Bahkan, penyajian teks pun—rata-rata hanya satu kalimat setiap dua halaman—menjadi bagian dari visual karena Fanelli bereksperimen dengan tipografi.

Wolf adalah sebuah persembahan bagi anak-anak (dan orang dewasa) untuk merangsang kita menafsirkan visual menjadi sebuah pemikiran.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum