Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuh-tubuh yang bergerak, saling menanggapi, yang berkomunikasi dengan batu, gendang, bencana, musik. Kecuali Sakyamuni Itu Saja (Perlu Mati) karya Cokorda Sawitri. Pertunjukan Cok, saya rasa, bertumpu dan berkembang pada dan dari puisi.
Sembilan penari dalam remang berjajar empat di kiri dan lima di kanan, dari gelap di belakang muncul perempuan berpayung yang bersuara: “Selesai pada keinginan. Selesai pada lamunan. Selesai juga. Mati itu selesai….” Dengan suara datar hampir tanpa ekspresi, puisi itu dibacakan sepanjang pertunjukan, membangun suasana sangkan paraning dumadi, asal dan akhir segala yang duniawi: selesai, mati, kuburan. Di antara kata-kata itu kadang terdengar nama-nama: Buddha, Sakyamuni, Kalika.
Penutup adalah imaji kekosongan. Yang berpayung berjalan ke belakang panggung sambil berpuisi: Selesai. Mati. Gelap. Terang. Mantra bisu. Doa bungkam. Langit dan bumi juga selesai. Para penari bergerak ke samping. Lampu temaram, ruang kosong. Tepuk tangan, sebentar; panggung tetap kosong, para pemain tidak kembali naik ke panggung seperti lazimnya. Selesai.
Ketika puisi terdengar, yang di pentas adalah tubuh-tubuh berkostum merah, jingga, putih, sedikit hijau, sedikit hiasan. Kostum yang mengingatkan pada pakaian perempuan Tibet: menutup dari leher hingga mata kaki dengan warna cerah. Mereka bergerak minimal, seolah-olah takut mengganggu pembacaan puisi. Pada suatu ketika mereka duduk, memegang topeng, dan menirukan sang pembaca puisi yang mengucapkan, mungkin, mantra atau doa dalam bahasa Sanskerta. Suatu saat, dua yang berkostum putih bergerak dalam tarian Bali, dengan tembang Bali, dan pembacaan puisi terus terdengar, tak mengacuhkan yang terjadi.
Sang pembaca puisi itu, bergaun panjang putih, berkemben merah, berselimut kain transparan merah, dengan payung yang bening, adalah suatu tampilan yang memecah keseluruhan sajian rupa yang hampir senada. Terasakan kemudian, Sakyamuni Itu Saja adalah sebuah undangan untuk merenung tentang dari mana, mengapa, dan ke mana untuk sampai pada “Selesai”. Seperti ending pertunjukan yang mendahului, Luminous Emptiness Melati Suryo-darmo dan Katsura Kan, ketika bergema tembang pangkur: bali alaming ngasuwung… /mulih mula mulanira; kembali kosong, kembali ke asal yang muasal.
Begitu juga pertunjukan kedua (Melati pertama dan Cok ketiga), Sangketohawa Ery Mefri, dari sudut tubuh menghadirkan suasana mengarah kembali ke muasal. Di awal adalah sugesti awal keberadaan. Seorang penari berkostum gaun bawah putih dan berbaju kelabu-kecokelatan tanpa lengan telentang pada permukaan gendang yang hanya menampung tubuh, sehingga kepala, tangan, dan kaki bebas bergerak—bersilangan, merentang menjauh. Kedua tangan membentuk lengkung, pelan, sesekali cepat. Dan kemudian ia menggulingkan diri turun. Terkesan suatu proses kelahiran, dan perempuan itu lahir untuk berdialog dengan gendang. Telapak tangan yang diwarnai merah itu memukul-mukul gendang dalam irama teratur, cenderung tunggal nada, sebentar keras, sebentar tepukan ringan hampir tanpa bunyi. Lalu sesosok hitam menghampiri, abai, tapi kemudian bergabung menepuk-nepuk gendang. Tepukan pada gendang diselingi tepukan pada perut ketika penari itu mendongak dan sedikit mencondongkan tubuh ke belakang. Suatu komposisi gerak dinamis, suatu dialog antara gendang yang masif dan tubuh yang lentur.
Seluruh Sangketohawa terfokus pada gendang. Kedua penari bergerak hampir hanya di sekitar gendang, cepat, lambat, keras, halus silih berganti. Suatu ketika, tepukan pada gendang begitu ringan, diselingi tepukan pada perut, paha, dan seluruh tubuh. Lalu keduanya jongkok. Tak ada suara, tangan itu hanya mengusap-usap. Seorang penari menempelkan telinga ke permukaan gendang, seperti mencari suara yang hilang. Mereka berdiri, mencondongkan tubuh hingga kening beradu; terbentuk-lah segitiga dan gendang itu diam di garis dasar. Yang hitam meng-elus-elus pipi yang kelabu. Sepi, sejenak. Terdengar nyanyian, sendu. Lampu sorot padam. Selesai. Dalam gelap ada yang tak terjawab, ke mana gaduh itu menghilang.
Bagi saya, tiga pertunjukan di hari pertama itu merupakan tontonan yang sinuksmaya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu; dirasakan dalam keheningan, disimpan dalam di lubuk hati. Mesti disebutkan tata suara, tata lampu, dan tata panggung sangat mendukung semua pertunjukan tampil utuh.
BAMBANG BUJONO, PENULIS SENI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo