ARAFAT: TERRORIST OR PEACE MAKER ? Oleh: Alan Hart Penerbit: Sidgwick & Jackson, London, 1984, 480 halaman JIKA politik adalah seni, yang bermodalkan peluang dan kemungkinan, seperti dikatakan Lord Butler, maka barangkali Yasser Arafat adalah tokoh yang tepat untuk itu. Sejak mendirikan organisasi gerilya Al-Fatah pada 1963, Arafat berusaha merebut tiap peluang dan memanfaatkan tiap kesempatan. Dia tidak kecil hati ketika para pemimpin RRC menasihatkan bahwa perang gerilya bukanlah cara yang tepat untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Manakala Syria, Yordania, dan Mesir menolak kerja sama, karena tidak mau terlibat perang dengan Israel, Arafat tidak putus asa. Bahkan ketika Al-Fatah yang baru dibentuk itu terancam perpecahan, karena sebagian besar anggotanya menolak perjuangan bersenjata, semangatnya untuk bergerilya justru kian menggebu. Dibuat berdasarkan 200 jam wawancara dengan Arafat dan beberapa tokoh teras PLO (Organisasi Pembebasan Palestina), karya Alan Hart ini ternyata menyodorkan inside story yang sangat berharga. Banyak bagian gelap dari sejarah perjuangan Palestina diuraikan secara lengkap sampai ke detail. Mulai gerakan bawah tanah Fatah, perang Arab-Israel (1967), Black September (1970), perang Arab-Israel (1973), hingga penumpasan terhadap PLO di Libanon (1983). Dua bab pertama dikhususkan Hart untuk bercerita tentang masa kecil Arafat. Tokoh yang diakui Hart sebagai "master of tactic" ini, sejak kecil sudah suka sekali main perang-perangan. Dua kegemarannya yang lain ialah mengorganisasikan anak-anak Palestina di Kairo, dan menekuni sejarah bangsanya. Cita-cita membebaskan Palestina sudah bersemi dalam dirinya sejak usia belasan tahun. Dan Arafat melakukan apa saja untuk cita-cita itu. Ia pernah menjadi perantara dalam jual beli senjata gelap, pernah mendapat latihan militer intensif dari seorang Jerman yang namanya dirahasiakan, pernah pula disiksa berat dalam sebuah penjara di Libanon. Dari masa kecil yang serba gemuruh itu, tumbuh seorang Arafat, tokoh yang menurut penilaian Hart mampu "memindahkan gunung". Benarkah? Hart punya segudang alasan untuk itu. Berpengalaman 20 tahun meliput peristiwa di berbagai negara, ia jelas bukan tipe katak di bawah tempurung. Sebelum berkesempatan mengenal Arafat dan PLO, Hart sudah membina hubungan baik dengan para pemimpin Israel, di antaranya PM Golda Meir, PM Menachem Begin, Menhan Moshe Dayan, dan tidak terkecuali beberapa direktur Mossad, dinas rahasia Israel yang tersohor itu. Di kubu Arab, penulis Inggris ini juga tak ubahnya ikan dalam air. Ia kenal baik dengan Raja Hussein dan Presiden Anwar Sadat. Dan Hart begitu dipercaya oleh kedua pihak hingga pada 1979 diminta memperkuat misi penghubung antara Arafat dan beberapa pemimpin Israel masa itu. Namun, misi ini disabot, begitu Begin terpilih sebagai PM. Hatta, perjuangan kemerdekaan Palestina dimulai Arafat dengan gerakan bawah tanah yang diberi nama samaran Assifa. Secara kecil-kecilan, Assifa melancarkan sabotase ke wilayah Israel dari Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dengan meledakkan tangki air dan menggulingkan bis, gerilyawan Palestina mencoba "memberi pelajaran pada Israel". Moshe Dayan penasaran. Ketika Menhan Israel itu mencanangkan akan menggempur Karameh, sebuah kamp pengungsi Palestina di Yordania yang sekaligus merangkap basis Al-Fatah maka Arafat pun melihat bahwa akan ada peluang emas yang bisa dimanfaatkan. Titik balik perjuangan bawah tanah Assifa memang terjadi dalam pertempuran Karameh, 21 Maret 1969. Dalam pertempuran satu hari itu, 18 tank Israel hancur, 28 prajuritnya tewas, 90 luka-luka. Sedangkan pejuang Palestina, yang sering kali disebut fedayeen, mencatat kehilangan cukup besar: lebih dari 100 gerilyawan tewas, sementara tentara Yordania, yang belakangan ikut berperang, kehilangan sebanyak ltu pula. Tapi pertempuran di Karameh mendatangkan kejutan listrik ke semua negara Arab. Para pemimpin Arab yang, menurut Arafat, pengecut dan cuma bisa bersikap defensif itu kini memperoleh kekuatan baru. Presiden Mesir Nasser, yang sejak dulu mencurigai Arafat, berbalik merangkulnya. PLO, yang semula dibentuk Nasser sebagai organisasi boneka, kini dipercayakan sepenuhnya pada Arafat. Al-Fatah menggabung ke sana. Pemerintah Yordania bahkan memberi keleluasaan bergerak bagi PLO di wilayahnya. Berbagai kesempatan ini membulatkan tekad Arafat. Dalam pasal 9 Anggaran Dasar PLO dicantumkannya bahwa perjuangan bersenjata adalah satu-satunya cara untuk membebaskan Palestina. Dengan tegas pula ia menolak eksistensi Israel. Dan tujuan PLO sudah tidak bisa ditawar-tawar, yakni merebut kembali seluruh tanah air Palestina yang kini sebagian sudah menjadi negara orang Yahudi. Penulis buku ini yang telah dengan saksama menggambarkan pasang surut perjuangan Arafat dan PLO-nya, sampai pada kesimpulan bahwa Karameh adalah puncak yang tidak terulang pada masa-masa berikutnya. Militansi pejuang Palestina, kelompok kiri khususnya, kemudian menjebloskan Arafat dalam malapetaka September Hitam pada 1970. Penolakan mereka untuk beralih ke perjuangan politik, yang disulut oleh "ancaman terselubung" AS agar Raja Yordania Hussein mengusir semua gerilyawan PLO dari wilayahnya, untuk pertama kali memojokkan Arafat dalam dilema. Pada hakikatnya, Arafat menyetujui prakarsa ke meja perundingan seperti yang disepakati Nasser-Hussein dengan Israel, tapi bagi PLO akibatnya fatal. Kelompok radikal yang dipimpin George Habbash akan berontak dan Arafat khawatir PLO bisa pecah. Apa yang terjadi kemudian menunjukkan bahwa Abu Ammar, begitulah pemimpin PLO itu sering dipanggil anak buahnya, tidak bisa mengontrol kelompok kiri. Presiden Nasser yang menjadi sasaran penghinaan mereka mengisyaratkan pada Hussein agar bertindak. Ternyata, Raja Yordania itu bertindak terlalu jauh. Ia menumpas basis PLO malah Arafat ditargetkan untuk dibunuh. Sang pemimpin lolos, tapi sejak itu ia terus dirongrong dari dalam oleh pejuang PLO militan. Dan ia terjerumus untuk kedua kali. Dalam upaya merebut peluang untuk mempersatukan PLO, Arafat terdorong berkompromi, antara lain dengan merestui teror Olimpiade Munich, pada September 1972. Seperti kata Hart, teror yang dilancarkan sayap kiri telah dimanfaatkan Israel untuk mencap PLO sebagai sindikat pembunuh. Dari sini berkembang "mitologi" Israel tentang Arafat yang kata mereka adalah tokoh angkara murka dengan rasa dendam yang tidak habis-habisnya. Timbul pertanyaan: Mengapa Arafat berkompromi dengan kelompok kiri? Apakah ia tidak menyadari bahwa terorisme telah sangat merugikan perjuangan Palestina? Untuk menjawab pertanyaan ini, Hart menelusuri sejarah kontemporer sampai ke liku-likunya yang paling tersembunyi. Lima bab terakhir seluruhnya digunakan untuk mengkaji teror PLO dan akibat-akibatnya, watak kepemimpinan Arafat yang agak individual, serta peluang yang kian lama kian menciut. Hart melihat bagaimana dalam tempo 20 tahun, di pentas Timur Tengah yang gegap gempita itu, peran PLO semakin tidak diperhitung-kan, bahkan dipojokkan oleh berbagai pemimpin Arab, kecuali Raja Saudi, Feisal. Bersama-sama dinas rahasia AS, CIA, di pentas itu berperan dengan sangat lihainya Menlu AS Henry Kissinger, orang dengan aneka muslihat yang hanya memikirkan kepentingan minyak Amerika dan sukses dirinya sendiri. Di sana juga muncul Presiden Anwar Sadat yang melancarkan perang bukan untuk memperkuat front Arab tapi, menurut Hart, hanya untuk sebuah kompromi dari AS. Di samping itu, ada Presiden Syria Hafez Assad, yang sama gencar dengan dinas rahasia Israel Mossad dalam kegiatan berburu nyawa Arafat. Di atas semua itu bermain Israel, yang tiap kali melakukan "pemerasan politik" terhadap AS dan berusaha dengan segala cara agar gagasan negara Palestina sirna untuk selama-lamanya dari muka bumi. Pentas Timur Tengah itu, seperti yang diteorikan dalam buku ini ternyata menarik sekali. Sebagai sekutu Israel, AS tidak pernah bersungguh-sungguh mencarikan penyelesaian politik bagi masalah Palestina, satu hal yang pada gilirannya memperkuat kecenderungan radikal dalam tubuh PLO. Presiden Richard Nixon, yang dapat melihat masalah itu lebih jernih ketimbang pemimpin AS yang mana pun, sudah melakukan beberapa pendekatan positif, seraya mengekang Kissinger tentu saja. Tapi ia keburu terpental oleh Skandal Watergate. Arafat tidak tinggal diarn. Ia mencoret perjuangan bersenjata dari kamus PLO, dan sejak 1974, dengan tangkas menampilkan formula negara kecil Palestina yang wilayahnya meliputi Tepi Barat dan Jalur Gaza - hanya 30% dari seluruh tanah air leluhurnya. Dalam formula itu secara implisit tercakup pengakuan pada Israel, suatu setback jika dibandingkan gagasan negara Palestina dari tahun 1969. Arafat ternyata bisa realistis, tapi anak buahnya kelompok radikal PLO tidak. Sekalipun begitu, Abu Ammar pantang menyerah. Agar gagasan negara kecil memperoleh dukungan PNC (Parlemen Palestina dalam pengasingan), Arafat me-lobby 300 anggota lembaga itu satu per satu dalam tempo lima tahun (1974-1979). Ia cukup puas ketika akhirnya hanya 4 dari 300 anggota yang menolak gagasan tersebut. Sesudah menguraikan 20 tahun sejarah perjuangan Arafat dan PLO, Hart menghadapkan pembaca dengan satu pertanyaan: Arafat itu teroris atau pejuang perdamaian. Hart dengan argumentasi kuat memastikan bahwa Arafat telah memperjuangkan perdamaian lebih dari pemimpin Arab mana pun. Tapi ia cemas kalau-kalau Abu Ammar terlambat. Mengapa? Adu kekuatan di Timur Tengah sudah terlalu meruncing, hingga aspirasi Arafat akhirnya tidak akan mendapat tempat. Bertolak dari kekhawatiran itu, Hart mendedikasikan buku yang sangat berharga ini kepada warga Israel dan teman-teman baiknya orang Yahudi. Ia mengimbau mereka agar membuka peluang bagi perdamaian. Tapi seruan Hart, bekas wartawan BBC, tak ubahnya setitik air jatuh ke pasir. Pengeboman Israel terhadap markas PLO di Tunis, Oktober lalu, membuktikan hal itu. Berbeda dengan belasan buku tentang PLO dan Arafat sebelum ini, Hart berusaha keras membawa pembaca lebih dekat kepada kebenaran. Sistem cek, yang dilakukan berulang kali, telah sangat menunjang usaha itu. Hart sadar bahwa perjuangan PLO adalah perjuangan kemerdekaan yang tidak ada duanya dalam sejarah modern. Untuk itu ia menukik jauh ke bawah permukaan, suatu upaya yang tentu amat sukar. Kecenderungannya untuk mengutip keterangan sumber secara lengkap memang bisa mengganggu kelancaran membaca. Tapi cacat ini tertutupi, karena keterangan panjang lebar itu justru menyajikan fakta yang belum pernah terungkapkan sebelumnya. Contohnya, antara lain, misteri pembunuhan Raja Feisal. Sekalipun sepintas tampak seperti biografi, toh buku ini cuma 10% membeberkan riwayat hidup Arafat. Sisanya dihabiskan untuk sejarah PLO, yang penulisannya benar-benar digerakkan oleh semangat perdamaian. Tidak kurang penting dari itu adalah kenyataan bahwa dalam menulis Hart bersikap 100% sebagai wartawan. Ia membiarkan fakta lebih banyak bicara, ketimbang opini dan analisa. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini