Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Jompet Kuswidananto, instalasi yang menggugah dengan beragam eksplorasi sejarah masa lalu.
Karya Jompet berbasis suara ingatan yang terlupa dan tak tercatat tentang kuasa dan perlawanan yang tersembunyi di balik kode-kode suara.
Karya-karya ini memunculkan narasi sejarah yang tersembunyi dan personal.
SUARA berisik kompresor di ruangan yang berukuran tak lebih dari 2 x 3 meter itu begitu meneror. Seiring dengan bunyi gemuruh tersebut, perlahan-lahan bendera merah dengan selarik notasi mulai terangkat di tali. Berkibar-kibar tertiup kompresor yang menyala beberapa detik, setelah itu bendera mulai terempas perlahan seiring dengan matinya mesin. Karya ini diberi judul Mnemonic #1 (2024).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya tersebut merupakan pembuka pameran tunggal Jompet Kuswidananto di Baik Art Gallery, Jakarta, yang bertajuk “March”. Pameran ini dihelat pada 22 Maret-27 April 2024 dan menampilkan karya-karya terbaru Jompet. Ada juga satu karya lawas Jompet yang memenuhi ruangan lantai 2 berjudul After Voice. Lewat karya berbasis suara, ia menggaungkan lagi ingatan akan kuasa dan perlawanan masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya bendera yang secara mekanis berkibar dan terempas itu merupakan visualisasi sebuah memori dan arsip masa lalu bangsa ini. Pada bendera tersebut, notasi numerik itu ditranskripsikan dari skor musik film propaganda antikomunis. Pemerintah Orde Baru saban tahun menayangkan film propaganda tentang G-30-S yang ikonik dan membekas pada anak-anak hingga remaja 1980-an. Film dengan musik bernada singkat dan sederhana yang mencekam mengiringi adegan-adegan kejam dalam film itu. “Notasi pendek ini, meski sederhana, berhasil mengunci ingatan-ingatan dan perspektif kekejaman komunisme untuk jangka waktu tertentu,” ucap Jompet.
Sebelum menjelajahi karya Jompet yang lain, sebuah pesawat telepon kabel jadul tergeletak di pojok tangga menuju lantai dua. Karya ini tak terlalu menarik perhatian. Namun, jika gagang telepon itu kita dekatkan ke telinga, suara Jompet menyambut, memperdengarkan sebuah nyanyian melankolis. Karya ini diberi judul Mnemonic #3 (2024). Jompet menuliskan lirik musik mendayu-dayu, mengingatkan kita kepada lagu 1980-an. Ada nuansa nostalgia dalam lagu ini bagi mereka yang mengalami masa-masa tersebut.
Karya Jompet Kuswidananto berjudul Mnemonic #2 dalam pameran bertajuk "March" di Baik Art, Jakarta, 17 April 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Dari anak tangga terlihat puluhan bendera beraneka warna dan kain-kain berisi pesan tergantung di langit-langit ruangan. Beberapa setang motor ikut digantung bersama boneka Teletubbies. Belasan potongan maneken sebatas dada dilengkapi sepasang tangan yang tergantung di bagian bawahnya.
Maneken ini ada yang berhelm serta bertutup muka dan ada yang kelihatan bagian matanya saja. Puluhan pasang sepatu tersusun rapi. Jompet memperlihatkan karya ini diriuhi bunyi pukulan snare drum. Di bagian dinding terproyeksikan video ratusan orang berkonvoi. Mereka mengendarai sepeda motor dengan atribut berbagai bendera organisasi. Ini mengingatkan kita kepada konvoi panjang dalam kampanye pemilihan umum di masa lalu selepas Orde Baru atau ketika kelompok-kelompok masyarakat berunjuk rasa mengekspresikan tuntutan mereka. Sebuah karya lawas berjudul After Voices yang dibuat pada 2016 atas pesanan Sherman Contemporary Art Foundation, Sydney, Australia. Biasanya massa akan menyanyikan lagu-lagu penyemangat dan menyuarakan tuntutan dalam orasi-orasi.
Karya ini merupakan bagian seri karyanya yang merefleksikan demokrasi yang dilatih dan dipertontonkan kepada publik pada dekade awal Reformasi. Seniman ini mengeksplorasi aspek performatif demokrasi: aspek visual yang cukup mencolok. Yang ditampilkan adalah visualisasi identitas dengan simbol-simbol yang diperlihatkan melalui bendera, penutup muka, lagu marching, penggunaan sistem suara secara ekstensif, alat mobilisasi massa, dan konvoi yang menarik perhatian.
Jompet secara lebih khusus memperjelas maneken bertutup muka menjadi sebuah karya patung bercat hitam. Patung ini ditempatkan hampir di sudut ruangan, seperti tengah menatap parade atau menyerupai konvoi puluhan pasang sepatu. Maneken dan setang motor menyimbolkan “massa” dan pergerakan mereka. Selarik angka-angka ditorehkan di bagian dalam maneken itu, sebuah notasi lagu.
Di ruangan pojok, Jompet kembali menampilkan karya bendera merahnya yang berjudul Mnemonic #2 (2024). Tapi di bendera ini lamat-lamat terlihat tulisan pesan visual bendera yang naik-turun secara otomatis tercelup pada sebuah ember seng berisi cairan pemutih yang melunturkan kain merah. Tetes demi tetes cairan merah jatuh di ember dan sekitarnya. Lirik dalam kain merah itu adalah lirik lagu pop 1980-an yang melankolis. Saat itu lagu-lagu melankolis yang mendayu-dayu serta lagu percintaan yang merintih-rintih dan menye-menye sangat tenar. Pada masa tersebut pemerintah melarang lagu-lagu cengeng karena tak mencerminkan semangat pembangunan. Larangan ini merupakan bagian kecil dari operasi rezim untuk mengendalikan narasi kekuasaan.
Satu lagi karya terbaru Jompet menampilkan “fragmen” yang mengingatkan kita kepada tari tradisi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Masyarakat setempat menyebutnya secara berbeda, yakni tari Ndolalak, Angguk, Kubro Siswo, Rodat, atau Glipang. Tarian tersebut terinspirasi dari sekelompok seni tari pertunjukan tradisional di wilayah pusaran konflik Perang Jawa (1825-1830) dan area eksploitasi industri perkebunan kolonial selepas perang. Ada pula karya instalasi berjudul Grand Parade (2024). Karya itu menampilkan dua maneken berseragam lengkap dengan sepatu dan pernak-pernik tradisi.
Posisi maneken tersebut setengah berjongkok dengan bertumpu pada lutut, berhadapan tapi dipisahkan dua drum yang diatur secara mekanis. Dua drum itu dipukul dalam waktu yang telah diatur bersama rebana. Terdapat juga dua kendil sebagai tempat meletakkan pengeras suara. Menariknya, di rebana itu terdapat gambar laki-laki dengan senjata api. Ia berdiri dengan binatang buruannya yang telah mati. Di samping mereka divisualkan tali kekang serta dua pelana dan ekor yang tergantung seperti menggambarkan dua ekor kuda. Di dinding, latar rimbun hijau dedaunan menyeruak. Di kejauhan, si jago merah melahap bangunan dengan dua menara yang tampak menyerupai bangunan pabrik gula. Dua maneken ini seperti melakukan performance di panggung dengan beralas tikar pandan khas Jawa.
Karya ini seperti sebuah arsip hidup yang ditangkap Jompet dari masa lampau. Kostum penari merupakan refleksi pengaruh para perwira kolonial Belanda. Sementara itu, koreografinya menggambarkan pertarungan yang lembut dalam iringan perkusi dan lantunan penyanyi yang memuji Tuhan. Ia ingin menunjukkan kenangan peperangan yang dicatat dan diwujudkan oleh mereka yang kalah melalui tarian kepada penjajah mereka. Karya ini merupakan kelanjutan ketertarikan Jompet pada warisan kenangan kekalahan dalam Perang Jawa sebagai titik balik besar perubahan politik dan budaya Jawa. Sebuah proyek yang dikembangkan sejak 2007.
Mnemomnic #2 karya Jompet Kuswidananto dalam pameran "March" di Baik Art, Jakarta, 17 April 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Jompet memberi judul pamerannya “March”, meminjam nama satu jenis musik yang ditulis untuk mengiringi pergerakan sekelompok orang yang berjalan secara serempak. Berdasarkan sejarah, jenis musik ini dipakai untuk mengiringi prajurit dalam perang. Ini juga bertujuan memudahkan ingatan karena pameran dimulai pada Maret.
Ide pameran ini, Jompet menjelaskan, adalah menggali ingatan yang terlupakan dan tak tercatat tentang kuasa dan perlawanan yang tersembunyi di balik kode-kode suara. “Karya saya merupakan serangkaian refleksi atas kompleksitas auditif dalam keseharian hidup di Indonesia,” ujarnya. Ini terlihat dari tren lagu cengeng 1980-an hingga ledakan musik mars pasca-Reformasi. Juga dari musik latar film propaganda Orde Baru hingga trauma kolonialisme yang tersirat dalam lantunan mantra.
“Saya tertarik membicarakan sejarah dengan material non-arsip yang bagi saya memungkinkan untuk memunculkan narasi sejarah yang tersembunyi dan personal,” tuturnya kepada Tempo.
Dalam pameran bertajuk “Dream Express: Personalized History of Mysticism” pada 2023, ia mengeksplorasi narasi mistisisme untuk menggali ingatannya yang tak tercatat. Pada pameran kali ini ia menggeluti suara sebagai pintu masuk ke ruang ingatan yang tersembunyi, sekaligus menelusuri suara yang berperan membentuk perspektif dan keyakinan dalam sejarah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suara dan Obyek, Metafora Kuasa-Perlawanan Masa Lalu"