Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sepotong Kisah Animasi dari Jerman

Sembilan film animasi Jerman diputar di Jakarta. Karya non-naratif jadi kecenderungan utama.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah gurun kering, "manusia pasir" itu lunglai terbaring. Alam ganas telah merontokkan semangatnya. Tiba-tiba setitik air jatuh di depannya. Harapannya terbit. Ia bangun dan memburu, tapi air itu segera tenggelam di lautan pasir. Telanjur bangkit, ia tak mau menyerah. Ia menyeberangi dataran kertas, batu, dan besi, yang semuanya berbahaya. Ia berhasil memperoleh air, tapi sang manusia pasir harus membayarnya dengan tubuhnya yang lebur. Film Quest yang kocak dan seru ini telah mengantarkan duet sutradara Thomas Stellmach dan Tyron Montgomery meraih piala Academy Awards untuk kategori film animasi pendek terbaik pada tahun 1997. Mulai pekan lalu sampai pertengahan Maret ini, Quest dan delapan film animasi lain dari Jerman diputar di Galeri I-See Jakarta, atas kerja sama dengan Goethe Institut Jakarta. Tontonan ini diminati publik. Dalam sehari ada sekitar 70 orang yang datang menonton, yakni mereka yang menyatakan ingin menyaksikan film animasi yang lain dari produk Hollywood ataupun Jepang. Arus besar karya seniman animasi Jerman bukanlah naratif. Ada sejarah panjang yang membuat kecenderungan ini lahir. Pada 1919, pasca-Perang Dunia I, seorang arsitek bernama Walter Gropius mendirikan Institut Bauhaus. Murid lembaga ini diajar mengintegrasikan seni, pertukangan, teknologi, pula ekonomi dalam karyanya. Ideologi "seniman yang melek teknologi" dari lembaga ini merembes ke mana-mana. Para artis seni rupa kemudian melirik pada media film sebagai "kanvas" baru yang sedap untuk dilukis. Para pionir yang memulai gerakan ini pada tahun 1920-an adalah Oscar Fishinger, Fiking Eggeling, dan Walter Rutman. Menurut Gotot Prakosa, sutradara dan pengajar di Institut Kesenian Jakarta, kecenderungan non-naratif film animasi Jerman juga dipengaruhi oleh ketiadaan tradisi komik di negara tersebut. Tidak semua film animasi Jerman yang dibawa ke Jakarta adalah film non-naratif. Namun semuanya memperlihatkan jejak gerakan Bauhaus. Film yang tidak memiliki struktur cerita bisa dinikmati sama enaknya dengan film animasi naratif. Flugbild (Gambar Melayang) karya Thomas Meyer-Hermann, misalnya, hanya memunculkan satu ruang yang sudut-sudutnya diisi pelbagai sosok yang melakukan aktivitas berbeda. Namun visualisasi film ini menggelitik karena kamera seolah-olah bertindak ibarat mata serangga yang terbang memutar 360 derajat dengan ketinggian yang berbeda. Film Good Things karya Susanne Franzel juga menarik meski tanpa cerita. Film ini menyodorkan teknik piksilisasi yang menggunakan aktor manusia. Dalam film ini, para pemain tak berakting karena mereka diperlakukan ibarat boneka lempung yang tiap gerakan ter-kecilnya diarahkan sutradara. Beberapa film yang naratif malah mendatangkan kesulitan sendiri bagi penonton. Misalnya Die Beichte (Pengakuan Dosa) karya Jochen Kuhn, yang menuturkan pengakuan dosa bekas pemimpin Jerman Timur Erich Honecker pada Sri Paus. Sindiran dalam film ini sulit ditangkap bila penonton tak tahu siapa tokoh yang dipotret. Film ini "terlalu Jerman" bagi penonton dari belahan dunia lain. Namun film ini jadi unik karena menggunakan kolase lukisan, foto, potongan surat kabar, sebagai bahan dasar pengambilan gambar. Pemutaran film animasi Jerman kali ini memang bukan gambaran peta produk animasi Jerman secara keseluruhan. Soalnya, ada sisi lain dari dunia animasi Jerman yang memiliki tokoh seperti Gerhard Hahn, yang sukses bergerak di jalur film animasi komersial. Studio Hahn, misalnya, telah membuat beberapa film kartun Asterix yang diangkat dari komik karya Gosciny-Uderzo, serta Simsala Grimm dari dongeng karya Grimm bersaudara. Namun kualitas rekaman video yang dipakai cukup mengganggu karena gambar yang tampil buram dan kehilangan warna aslinya. Dialognya pun terdengar lamat-lamat. Beruntung, masih ada suguhan pameran panel gambar, boneka, dan instalasi lain, yang menggambarkan proses pembuatan film, sehingga ada semacam tamasya ke dunia animasi Jerman. Yusi Avianto Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus