Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Setelah Hadiah Bintang Keempat

Surat pengunduran diri Panglima TNI disetujui Presiden. Penganugerahan gelar jenderal kehormatan bagi Hari Sabarno dan Hendropriyono diduga menjadi pemicu.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejarah itu berulang setelah 30 tahun. Syahdan, pada awal 1974, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro datang menghadap Presiden Soeharto. Sang jenderal merasa gagal meredam kerusuhan Lima Belas Januari 1974 (Malari) yang membakar Jakarta itu. Ia pun tak mau dianggap mencoba menyaingi Soeharto karena lebih populer di kalangan demonstran. Soemitro pun melepas jabatannya.

Kini langkah Soemitro itu diulang Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Jumat pekan lalu, Ketua DPR Agung Laksono mengabarkan kepastian pengunduran diri sang Jenderal. ”Hari ini saya terima surat pemberitahuan dari Presiden,” ujarnya. Surat itu berisi kabar pengunduran diri Tarto—begitu namanya biasa dipendekkan—yang telah diterima Presiden pada 24 September lalu.

Maka kontroversi pun meruyak. Soalnya, usia jabatan Jenderal Sutarto sejatinya tinggal dua pekan lagi. Pada 20 Oktober nanti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik dan ia akan mengumumkan susunan kabinetnya. Sutarto boleh jadi tetap menjadi Panglima TNI, bisa juga lengser keprabon.

Alasan resmi pengunduran diri mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat seperti yang tercantum dalam surat itu, menurut Agung, adalah karena Sutarto sudah berusia 57 tahun—dua tahun lebih tua dari usia pensiunnya. Tapi orang tak mudah percaya. Dalam tiga dasawarsa terakhir, tak pernah ada pejabat tinggi militer yang memilih mundur saat berada di puncak kekuasaan.

Kalangan perwira tinggi dan purnawirawan menduga mundurnya Panglima TNI dipicu penganugerahan pangkat kehormatan dari Presiden Megawati kepada Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim Letnan Jenderal (Purn.) Hari Sabarno dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letnan Jenderal (Purn.) Abdullah Makhmud Hendropriyono. Keduanya kini berhak menyandang pangkat jenderal kehormatan. ”Saya mendengar, pengunduran diri itu terkait erat dengan masalah ini,” kata mantan Kepala Staf Teritorial TNI, Letjen (Purn.) Agus Widjojo.

Menurut Agus, penganugerahan pangkat kehormatan itu sebenarnya telah menyalahi prosedur resmi di lingkungan TNI. Pada masa lampau pemberian pangkat kehormatan semacam ini memang sering terjadi karena masih diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6/1990. ”Namun sifat pemberian gelar kehormatan itu biasanya politis,” ujarnya. Peraturan itu saat ini sudah dicabut.

Beberapa tokoh militer pernah mendapatkan kenaikan pangkat kehormatan semacam ini. Mereka antara lain bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman, yang mendapat pangkat jenderal penuh. Mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Azwar Anas, mantan Sekretaris Jenderal Golkar Ary Mardjono, mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Z.A. Maulani, dan mantan Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan Kentot Harseno, serta mantan Pangdam Udayana Sintong Pandjaitan pernah pula mendapat pangkat letnan jenderal kehormatan.

Kebiasaan ini berulang pada zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid. Saat itu Gus Dur menganugerahi Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Perhubungan Agum Gumelar, dan Menteri Perdagangan Luhut B. Pandjaitan sebagai jenderal kehormatan.

Mega kini melengkapinya dengan mengangkat Hari dan Hendro. ”Kesannya, orang jadi lebih mudah mendapatkan bintang ketika sudah pensiun daripada waktu masih dinas,” kata seorang perwira tinggi TNI.

Bintang keempat untuk Hari dan Hendro ternyata tidak diproses bersamaan. Kata staf khusus wakil presiden, Lukman Hakim, Wakil Presiden Hamzah Haz hanya mengusulkan kenaikan pangkat Hari. Usul itu diajukan Hamzah kepada Presiden Mega setelah Hari menggantikan Yudhoyono di posisi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim. Surat tertanggal 27 Juli 2004 itu pula yang dikirimkan tembusannya kepada Panglima TNI. ”Wakil Presiden tidak mengusulkan Hendro,” ujar Lukman. ”Bapak Wakil Presiden memberikan arahan kepada kami untuk mengusulkan kiranya Ibu Presiden berkenan menaikkan pangkat Bapak Hari Sabarno menjadi Jenderal TNI,” begitu potongan surat yang ditandatangani sekretaris wakil presiden, Prijono Tjiptoherijanto. Dalam surat itu disebutkan pertimbangan utama pengajuan itu adalah agar pelaksanaan tugas Hari sebagai menteri koordinator lebih efektif.

Menurut seorang perwira tinggi, Pang-lima TNI terkejut ketika mendapatkan tembusan surat permohonan pangkat kehormatan untuk Hari. Jenderal Sutarto pun segera menjawab usul itu pada awal Agustus lalu. Seperti keterangan Agus Widjojo, kepada Sekretariat Negara, Sutarto mengatakan bahwa secara legal formal, usul kenaikan pangkat itu tidak dibenarkan karena aturannya sudah dicabut.

Namun, setelah surat Sutarto itu dilayangkan, Sekretariat Negara tidak pernah memberikan respons. Sampai tibalah kabar yang membuat Panglima TNI jadi tak enak hati: Presiden yang memberikan ”kado” kepada Hari Sabarno dan Hendropriyono menjadi jenderal bintang empat. Parahnya, berbeda dengan Hari, Markas Besar TNI belum pernah mendapatkan tembusan surat usulan kenaikan pangkat bagi Hendropriyono.  ”Tidak pernah ada surat pengajuan, tapi tiba-tiba Keppres keluar,” kata seorang staf Panglima TNI.

Keputusan presiden itu sendiri dikeluarkan Sekretariat Negara pada 4 Oktober dan ditanggali dua hari sebelumnya. Dalam keputusan itu tertulis bahwa pertimbangan pemberian pangkat kehormatan itu adalah Pasal 4 dan 10 UUD 1945. Konon, 36 orang pensiunan perwira tinggi juga sedang antre untuk memperoleh pangkat kehormatan.

Hari dan Hendro mengaku tidak tahu apakah pemberian pangkat kehormatan itu setahu Markas Besar TNI atau tidak. ”Untuk itu, saya akan melapor dan sudah minta waktu untuk menghadap (Panglima TNI) tapi belum dijadwalkan,” kata Hari. Sedangkan Hendro melihat bahwa pemberian pangkat kehormatan itu hak prerogatif presiden. ”Kalau presiden mau memberikan, itu hak presiden,” ujarnya.

Prijono Tjiptoherijanto mengaku tidak tahu bahwa PP Nomor 6/1990 sudah dihapus. ”Usul itu dilakukan lebih pada kelaziman, karena Menteri Koordinator Politik dan Keamanan membawahkan Panglima TNI yang jenderal bintang empat,” ujarnya. Menurut Agus Widjojo, kelaziman yang salah kaprah itu seharusnya tidak berlaku. ”Menteri itu kan jabatan sipil,” kata Agus.

Motif pemberian pangkat kehormatan, menurut Agus, juga tak jelas. Jika disebut untuk mengefektifkan kerja menteri koordinator karena harus mengkoordinasi Kepala Polri dan Panglima TNI yang berbintang empat, rasanya begitu naif. Sebab, masa jabatan Mega tinggal menghitung hari. ”Saya tidak punya informasi tentang prestasi menonjol kedua pejabat tinggi itu,” kata pengamat militer M.T. Arifin. Malah, sebagai orang pertama BIN, Hendro sedang disorot karena jaringan intelijen luput mendeteksi bom bunuh diri di Kuningan yang menewaskan sembilan orang, 9 September lalu.

Karena itu, dugaan mundurnya Sutarto berkaitan dengan pemberian pangkat kehormatan itu makin kuat. Menurut seorang kawan Sutarto yang tak ingin disebutkan namanya, sekitar Agustus lalu Panglima TNI telah pernah menjelaskan soal pemberian pangkat kehormatan itu kepada Presiden Megawati. ”Namun Mega tetap meneken keputusan itu. Maka Sutarto pun meminta mundur,” kata sumber tersebut.

Tapi saat itu Mega meminta Sutarto menangguhkan keinginannya. ”Ini kan mau pemilu, nanti dululah,” kata Mega sebagaimana ditirukan sumber tadi. Akhirnya disepakati bahwa pengunduran diri Sutarto baru akan dipenuhi pada 5-20 Oktober 2004. ”Jadi sebenarnya ini semua sudah ada pembicaraan,” ujarnya. Masih menurut sumber itu, sebenarnya sudah beberapa kali Sutarto meminta mundur dari jabatannya.

Keinginan mundur pertama terjadi ketika ia masih berpangkat letnan kolonel, sepulang dari Timur Tengah. Tidak terlalu jelas, apa alasannya. Tapi, ”Saat itu ia diselamatkan Prabowo dan dikirim untuk tugas belajar di Inggris,” ujarnya.

Permintaan mundur kedua terjadi ketika ia menjadi komandan pasukan pengaman presiden pada masa Presiden Soeharto. Saat itu ia menolak perintah untuk melibas demonstrasi mahasiswa yang meminta penguasa Orde Baru itu mundur. ”Lebih baik saya mundur daripada melaksanakan perintah itu,” ujarnya kepada majalah Forum Keadilan lima tahun yang lalu.

Kisah ketiga terjadi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Saat itu, bersama beberapa perwira tinggi TNI AD, ia mengancam mundur jika Abdurrahman mengangkat Panglima Kostrad (almarhum) Letjen Agus Wirahadikusumah menjadi KSAD. Agus saat itu tak populer: ia kerap berseberangan pendapat dengan petinggi militer lainnya. Belakangan, ketika menjadi KSAD, Sutarto juga mengancam mundur saat Gus Dur Bertekad mengeluarkan dekrit 22 Juli 2001—buah pertentangannya dengan parlemen.

Ketika menjadi Panglima TNI, pada masa pemerintahan Megawati, telah dua kali Sutarto meminta mundur. Permohonan itu diajukannya ketika ia diminta suami Presiden, Taufiq Kiemas, agar lebih mendukung Mega. ”Sutarto itu orang yang lurus, tidak mau diajak-ajak berpolitik,” kata kawan dekat Sutarto. Dalam pemilu lalu, Sutarto dengan tegas meminta jajaran TNI agar netral.

Hendro mengaku pernah bertukar pikiran dengan Sutarto tentang rencana mundur itu. ”Dia memang pernah minta berhenti,” ujarnya. Namun, sebagai bekas atasan Sutarto saat menjadi Panglima Kodam Jaya, Hendro menyarankan agar Sutarto menyelesaikan tugasnya sampai akhir. Kabarnya, saat itu Sutarto hanya manggut-manggut. Hendro pun membenarkan bahwa keinginan mundur itu sudah lama diajukan namun secara tertulis baru disampaikan setelah pemilihan presiden.

Jenderal Sutarto sendiri belum mau bertemu wartawan. Rumahnya kosong melompong. ”Bapak tidak ada di rumah,” kata seorang penjaga. Telepon genggam Sutarto juga tak aktif.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin mengakui atasannya telah beberapa kali mengajukan permintaan mundur. Tapi ia mengelak ketika ditanya penyebab terakhir mundurnya Sutarto. Ia membantah dugaan bahwa hal ini terkait dengan pemberian pangkat kehormatan Hari dan Hendro. ”Panglima kan sudah dua kali diperpanjang masa dinasnya, beliau berhak meminta pensiun,” ujarnya. Soal pemberian pangkat itu, Sjafrie mempersilakan untuk menanyakan langsung kepada Sekretariat Negara. ”Semua proses bermula dan berakhir di sana,” ujarnya.

Meski surat dari Presiden sudah sampai di DPR, dan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu telah ditunjuk Mega untuk menggantikannya, toh hingga kini, menurut Sjafrie, jabatan Panglima TNI masih berada di tangan Sutarto. ”TNI masih menunggu proses yang dilakukan lembaga kepresidenan dan autentifikasi dan dasar hukum dari DPR,” ujarnya.

Menurut Pasal 13 ayat 4 UU TNI, seorang panglima haruslah seorang Kepala Staf TNI atau orang yang pernah menjadi Kepala Staf TNI. Ryamizard memang memiliki kans yang lebih kuat daripada dua Kepala Staf TNI yang lain, karena dialah yang paling muda. Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Chappy Hakim dan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh usianya sudah lewat 55 tahun.

Namun, hingga kini Ryamizard masih berkutat dengan urusan kesehatan fisik. Operasi di Jepang untuk memperbaiki urat yang terjepit di tulang belakangnya sudah dilakukan beberapa waktu, tapi sampai kini dia masih terus menjalani fisioterapi. Keseleo urat itu akibat kecelakaan saat Mizard terjun payung beberapa tempo silam. ”Sekarang kan bukan zaman Pak Dirman. Waktu itu panglima TNI sakit nggak apa-apa,” ujar mantan anggota Komisi Pertahanan DPR, Effendy Choirie.

Dipastikan, DPR tak akan begitu saja menyetujui pengunduran diri itu. Bukan apa-apa, saat ini DPR 2004-2009 baru saja dilantik, sementara komisi-komisi parlemen belum lagi terbentuk. Senin pekan ini pimpinan DPR akan memanggil pimpinan fraksi untuk rapat konsultasi. Namun, menurut Choirie, parlemen sebaiknya mengeluarkan keputusan setelah 20 Oktober 2004.

Dari kubu presiden terpilih, wakil presiden terpilih Jusuf Kalla, Sabtu lalu, berharap penggantian Panglima TNI dibicarakan dengan presiden terpilih. ”Karena ini presiden (Megawati) tinggal kurang lebih 10 hari, sedang panglima yang akan datang akan bersama-sama dengan presiden terpilih selama lima tahun. Maka, semestinya sangat sopan dan etis jika diatur secara bersama-sama dengan presiden terpilih,” kata Kalla di rumahnya di Makassar. Namun, Kalla menyerahkan proses penggantian Panglima TNI itu ke DPR. ”Kita lihat nanti prosesnya di DPR,” ujarnya.

Keputusan ini memang bikin repot. Kini yang dituding adalah Megawati, yang telah menyatakan menerima permintaan pengunduran diri Panglima TNI, bahkan sekaligus mencalonkan Jenderal Ryamizard sebagai penggantinya. ”Secara etika apakah layak seorang presiden yang sudah mau pensiun membuat keputusan strategis?” kata Choirie.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Ali Anwar, Fajar W. Hermawan, Yandhrie Arfian


Jalan Hidup Jenderal Mundur

Endriartono Sutarto Tempat Tanggal Lahir:

  • Purworejo, 29 April 1947
Pendidikan:
  • Akabri (1971)
Karier:
  • Danton Ban A/305 Kostrad (1972)
  • Danton I A/305 Kostrad (1972)
  • Danki B/305 Kostrad (1976)
  • Kasi Ops. Denma 17/Kostrad (1978)
  • Danki C 330/Kostrad (1979)
  • Kasi Ops 330/Kostrad (1980)
  • Guru Militer Secapa (1982)
  • Pejabat Sementara Danyonif 514/Kostrad (1985)
  • Pabandya Ops Staf Operasi Kostrad (1987)
  • Perwira Ahli Kostrad (1988)
  • Kas Brigif Linud 17/Kostrad (1988)
  • Pabandya 2 Opsdika PBN V Kostrad (1991)
  • Asisten Operasi Kasdam Jaya (1993)
  • Danrem 173 Kodam Trikora (1994)
  • Pamen Kodam Trikora (1995)
  • Kepala Staf Divisi I Kostrad (1995)
  • Wakil Asrenum Pangab (1996)
  • Wakil Asisten Operasi KSAD (1996)
  • Komandan Paspampres (Juni 1997- September 1998)
  • Asisten Operasi Kasum TNI (September 1998- Maret 1999)
  • Komandan Sesko ABRI (Desember 1999- Maret 2000)
  • Wakasad (Maret 2000-Oktober 2000)
  • Kasad (Oktober 2000)
  • Panglima TNI (Oktober 2001)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus