DI daerah Genteng, di bagian tengah Kota Surabaya, terdapat sebuah gang bernama Genteng Arnowo. Di salah sebuah rumah di dalam gang itulah Doel Arnowo, atau lebih dikenal oleh arek-arek Suroboyo dengan panggilan Cak Doel, lahir dan menjadi dewasa. Walikota pertama Surabaya dan tokoh Front Marhaenis itu, kini sudah agak uzur. Dalam usia 78 tahun tubuhnya selalu sakit-sakitan. Dua kali seminggu ia harus mengunjungi shinshe -- dan setiap kali tak kurang dari 14 jarum halus ditusukkan ke tubuhnya. "Kalau sudah begitu, badan yang tadinya semutan, menjadi segar kembali," ujar Cak Doel. Namun semangatnya masih menggelora. Terutama bila ia menceritakan pengalamannya. Ia salah seorang sesepuh arek Suroboyo yang namanya tak bisa dipisahkan dari kisah Hari Pahlawan. Ketika itu, Oktober-November 1945, bersama tokoh-tokoh lain ia memimpin perlawanan rakyat terhadap pasukan Inggris yang ingin menggantikan Belanda menguasai Indonesia kembali. Ada pengalaman Cak Doel mengenai terbunuhnya Brigjen A.W.S. Mallaby, komandan pasukan Inggris, yang kontroversial itu. Selasa sore 30 Oktober 1945 itu, Cak Doel bersama para anggota Kontak-Biro (penghubung Indonesia-Inggris) mendekati Gedung Internatio, tempat pasukan Inggris bermarkas. Mereka akan menyampaikan pesan penghentian tembak-menembak. Mallaby dan perwira Inggris lainnya ada di markas itu. Sepuluh menit telah berlalu ketika utusan yang membawa pesan perdamaian itu keluar dari Gedung Internatio. Mendadak terdengar tembakan gencar dari arah markas. Puluhan rakyat bersenjata di luar gedung itu tersungkur, yang lain menyelamatkan diri. Cak Doel, bersama anggota Kontak Biro lainnya, meloncat ke pinggir Kali Mas. Bersamaan dengan itu terdengar dentuman-dentuman bom. Seorang pemuda meloncat ke Kali Mas, lantas berbisik: "Sudah beres pak". Cak Doel kaget. "Apanya yang beres?", tanyanya. "Jenderalnya Inggris pak. Mobilnya terbakar dan meledak," sahut pemuda itu. Sampai sekarang pembunuh jenderal itu tidak diketahui. Inggris menuduh Indonesia, sedang menurut pihak Indonesia, Mallaby terbunuh oleh peluru pasukan Inggris sendiri yang ditembakkan dari Internatio. "Saya menyaksikan sendiri yang mulai melepaskan tembakan adalah pasukan Inggris," kata Cak Doel mengutip Roeslan Abdulgani, salah seorang anggota Kontak Biro ketika itu, dalam bukunya 100 Hari di Surabaya. Sekarang Cak Doel menghabiskan hari-hari tuanya di kawasan Ketintang Jaya, Surabaya bagian selatan, di sebuah rumah yang cukup mewah. "Ini saya beli dengan hasil keringat saya sendiri," katanya. Di rumah yang besar dan berhalaman luas itu ia tinggal bersama istrinya, ditemani tiga pembantu rumahtangga. SETIAP bulan ia menerima pensiun sebagai bekas residen hampir Rp 100.000. Pensiun ini mulai ia nikmati pada 1970 setelah 12 tahun diperjuangkan. Mestinya ia menerima rapel pensiun sekitar Rp 3 juta. "Tapi setelah dipotong macam-macam, yang saya terima tinggal Rp 250.000," katanya dengan nada jengkel. Sebenarnya ia juga berhak menerima pensiun sebagai Walikota Surabaya pertama (1949-1952). Berkali-kali ia berusaha mendapatkannya, "Tapi gagal terus. Akhirnya saya tidak bernafsu lagi mengurusnya. Biarlah," katanya lagi. Di masa muda, ia ingin menjadi ahli bangunan. Namun cita-cita itu kandas di tengah jalan. Ayahnya meninggal ketika Doel kecil baru duduk di kelas II MTS, sekolah menengah teknik di zaman penjajahan. "Sejak itu terpaksa saya cari makan sendiri," tuturnya. Ternyata semangat perjuangan politik yang menggelegak dalam darah ayahnya juga mengalir dalam darahnya Arnowo, ayahnya itu, pernah menjadi salah seorang pimpinan Sarekat Islam cabang Surabaya. Rumah Arnowo di Gang Genteng, Surabaya, sering menjadi tempat berkumpul tokoh-tokoh Sl termasuk H.O.S. Tjokroaminoto sendiri. Karena itulah Gang Genteng juga dikenal dengan sebutan Gang Genteng Arnowo. "Sebutan seperti itu sudah ada sejak zaman Belanda, bukan karena saya pernah menjadi walikota," kata Cak Doel. Polisi rahasia Belanda waktu itu rupanya ingin menandai bahwa di gang itu ada Arnowo yang dicurigai pemerintah Belanda. Ketika menjadi kerani di kantor pos (1922-1933), Cak Doel juga aktif sebagai Wakil Ketua Partindo (Partai Indonesia) cabang Surabaya. Tentu saja ia diincar polisi Belanda. Ia harus memilih: tetap menjadi pegawai negeri atau menjadi orang partai. Dan Doel Arnowo memilih yang kedua, meskipun ketika itu gajinya cukup besar: 125 gulden/bulan. "Mungkin hal itu sama dengan keharusan monoloyalitas seperti sekarang," katanya lagi sambil tertawa lebar. Sejak itulah ia menjadi langganan polisi Belanda. Lebih-lebih setelah ia menerbitkan koran Berdjoeang yang menyiarkan tulisan-tulisan mengkritik pemerintah dengan pedas. Ia ditangkap (1934) dan ditahan di penjara Kalisosok selama sembilan buan. Dituduh mau menggulingkan Pemerintah Hindia Belanda, ia dihukum penjara 15 bulan. Keluar dari penjara, ia kelbali memimpin koran Berdjoeang. Tapi tak lama, sebab suratkabar itu bangkrut. "Para pembaca koran Berdjoeang takut dicurigai," katanya. Tapi di Malang, Cak Doel kembali menerbitkan koran Pergaoelan. Tapi koran ini juga tidak berumur panjang, hanya tiga bulan. Ketika 4 Juli, 55 tahun yang lalu PNI didirikan Bung Karno bersama empat nasionalis lainnya di Bandung, beberapa waktu kemudian Doel Arnowo bergabung dengan cabang Surabaya. Sejak semula katanya ia sudah sepaham dengan gagasan gagasan dan perjuangan Ir. Soekarno. Sebab sejak remaja, Cak Doel memang mengenal Bung Karno. Ia sering mengikuti diskusi politik yang diadakan Ir. Soekarno. "Bung Karno sering mengajak ngobrol mengenai politik, kadang-kadang hanya dengan duduk-duduk di Jembatan Peneleh saja," kisah Cak Doel. Tulisan-tulisan Bung Karno di Fikiran Rakjat atau Soeloeh Indonesia selalu diikutinya. Ia juga penganut marhaenisme, gagas Bung Karno mengenai sosialisme Indonesia. Ketika kemudian Cak Do membaca Das Kapital Karl Marx, kesadaran akan perlunya memperjuangkan nasib rakyat kecil itu semakin kokoh. "Saya mengagumi pikiran-pikiran Karl Marx dalam membela rakyat kecil," katanya. "Dan kebetulan marhaenismenya Bung Karno juga memperjuangkan rakyat yang tertindas," tambah Doel Arnowo. Di zaman penjajahan Belanda, Cak Doel dikenal luas oleh massa marhaen. Ia aktif masuk-keluar kampung menyelenggarakan kursus-kursus politik. Karirnya menanjak terus, hingga ia menduduki kursi tertinggi dalam kepemimpinan PNI Ja-Tim. Ia bahkan juga menjadi anggota MPP (Majelis Permusyawaratan Partai) di tingkat pusat. Ketika PNI fusi dalam Pol, 1970, Cak Doel sempat menjadi Ketua DPW PDI Ja-Tim sampai 1974. Ia mengundurkan diri dari kepemimpinan PDI sebab merasa tidak cocok. "Seharusnya dalam fusi semua parpol seia-sekata. Tapi nyatanya masing-masing masih punya keyakinan politik yang tak bisa dicampuraduk," katanya. Merindukan PNI hidup kembali, bersama tokoh-tokoh tua lainnya -- seperti Mr. Hardi dan Mr. Soenarjo -- pada awal 1981 di Malang, Cak Doel membentuk PNI- baru, singkatan dari Pergerakan Nasional Indonesia. Utusan dari berbagai daerah juga datang. "Sebenarnya hanya sebagai wadah pendidikan sosial, berpijak pada ajaran marhaenisme Bung Karno," ujar Cak Doel. Seperti diakuinya sendiri, PNI baru itu "baru dalam taraf penjajakan, sebagai angan-angan. Tapi wujudnya belum ada". Sikap hidupnya yang konsisten sebagai marhaenis pernah membuat Cak Doel repot. Bersama beberapa tokoh PNI, ia mendirikan Universitas Brawijaya di Malang pada 1963. Cak Doel tampil sebagai rektor pertama. Setahun kemudian jabatan itu dikukuhkan dengan SK Presiden, dan universitas itu pun dinegerikan. Ketika G30S/PKI gagal memberontak, sang rektor didaulat agar turun. Sebab ketika itu orang-orang PNI memang menjadi sasaran. Di masa tuanya kini, ada satu yang membuat Cak Doel sangat sedih: pamor Front Marhaenis pudar, sementara massa marhaen semakin tipis. "Hal itu karena beberapa fitnahan dan yang difitnah sebagai komunis, berindikasi G30S/PKI atau orde lama," katanya. Ayah dari 10 anak dan kakek 26 cucu itu juga prihatin adanya kekhawatiran terhadap segala sesuatu yang berbau marhaenisme. "Buktinya Yayasan Pendidikan Soekarno tidak diizinkan berdiri di Surabaya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini