GADIS MARATHON
pemain: Yenny Rachman, Roy Marten, Rachmat Hidayat
skenario: Sjumandjaya
sutradara: Chaerul Umam
DI Lembang, lomba lari jarak jauh putri ternyata dapat
perhatian luar biasa. Penonton riuh-rendah memberi semangat. Ada
lurah, ada ibu dan adik-adik pelari, ada pula seorang pria
penggugup yang tiap kali menggigit-gigit kukunya. Sekilas
nampak, di kota kecil Jawa Barat itu yang namanya olahraga
"sudah memasyarakat".
Lancar sejak awal, film Gadis Marathon mengantarkan kisah
tentang bagaimana semboyan yang satu lagi, yang berbunyi
"mengolahragakan masyarakat" sebaliknya tidak juga terwujud.
Kenapa? Barangkali mencoba mencarikan jawabannya, skenario yang
ditulis Sjumandjaya secara agak samar melibatkan tokoh-tokoh
pembina olahraga seperti Ketua KONI Ja-Bar Pandu Winata, dan
Gatot, anggota KONI yang dikenal sebagai saudagar alat olahraga.
Adapun sang juara adalah Nita (Yenny Rachman), seorang anak
yatim dari keluarga miskin. Setelah memenangkan maraton di
Lembang, sang lurah, Natalegawa, menolong Nita melanjutkan
pelajarannya ke SMA di Bandung. Di sini Nita berlatih di bawah
asuhan Anton Sudirgo (Roy Marten) yang bekas juara Asia. Hidup
bagi Nita terasa cerah, hingga pada suatu hari Freddy (Pong
Hardjatmo), pria yang suka menggigit-gigit kuku itu, merasa amat
tersinggung dan berang kepadanya.
Freddy, yang katanya ditunangkan dengan Nita sejak kecil,
rupanya cemburu pada Anton. Pelatih ini memang paham sekali
keadaan Nita, kemurnian jiwa dan cita-citanya. Ia memupuk "bakat
alam" itu sepenuh kasih sayang, satu kenyataan yang juga tidak
disukai Nunung (Hanna Wijaya), pelari juara Ja-Bar. Apalagi
dalam beberapa uji-coba terbukti Nita dapat mengalahkan Nunung.
Maka ada dua manusia dilanda cemburu: Freddy dan Nunung. Freddy
menghasut ayahnya di kampung, hingga juragan kaya itu
memerintahkan ibu Nita meninggalkan rumah "pinjaman" yang selama
ini mereka tempati. Untung Lurah Natalegawa yang "manunggal
dengan rakyat" sedia menampung mereka. Tapi hukuman tidak
langsung ini justru merobohkan Nita. Dalam POR Ja-Bar ia
terjatuh menjelang garis akhir. Nunung keluar sebagai juara.
Toh ia belum berhasil merebut hati Anton. Demi cinta,
barangkali, Nunung lalu berkomplot dengan Gatot, saudagar itu.
Ia mengancam mengundurkan diri kalau Anton tetap dipertahankan
sebagai pelatih kontingen Ja-Bar. Terdesak, PASI Ja-Bar tunduk.
Anton tergeser bahkan terpaksa mendekam di rumah sakit. Begitu
pula Nunung: gadis yang tidak sportif ini tiba-tiba mengalami
kecelakaan lalu-lintas, dan terbukalah peluang Nita mengadu
nasib di PON Jakarta.
Gadis Marathon kalau tidak salah adalah film Indonesia kedua
bertemakan olahraga -- sesudah Gadis Olahraga, produksi 1950-an.
Tidak istimewa, namun tergolong satu dari sedikit film bermutu
yang bisa disaksikan segenap lapisan penonton. Meski terikat
pada tema olahraga, watak-watak culas yang dihadirkannya bisa
ditemukan di mana saja. Watak-watak itu justru meracuni
lingkungannya dengan mudah -- karena bukanlah olahraga dunia
bersih bagi mereka yang sportif.
Olahraga dengan begitu disorot tidak semata-mata sebagai
gelanggang ptestasi fisik. Tapi lebih tinggi lagi gelanggang
menguji kejujuran. Tidak heran bila pada akhir film terselip
pesan "Kemenangan yang sejati adalah mengalahkan diri sendiri."
Seperti kata-kata Nabi.
Kematian Anton sebagai penutup, di samping kemenangan Nita di
arena PON membubuhkan kepekatan yang terasa berlebihan. Akhir
yang dramatik ini mungkin dianggap perlu untuk menyindir
bagaimana sebuah prestasi harus dibayar mahal dengan
pengorbanan. Tepatnya, nyawa. Dan nyawa itu milik seorang
pelatih andalan, yang fungsinya dalam peningkatan olahraga di
negeri ini terhitung masih kurang dihargai.
Tentu saja tidak tepat bila misalnya kita mencoba membandingkan
Gadis marathon dengan film Rocky atau Chariots of Fire pemenang
Oscar tahun ini. Temanya olahraga, tapi permasalahan jauh
berbeda. Rocky berkisah tentang manusia tidak beruntung yang
untung-untungan mencoba melawan seorang juara dunia. Chariots of
Fire menampilkan profil olahragawan tahun 1920-an dengan
motivasi masing-masing. Sedang Gadis Marathon menggambarkan
dalam garis besar dunia olahraga di Indonesia, khususnya
atletik, yang kurang diperhatikan, kurang beruntung dan amat
kurang menghasilkan medali. Plus tidak begitu memasyarakat.
Bahwa sutradara Chaerul Umam memilih dunia seperti itu untuk
difilmkan, patut dipuji. Dengan keterbatasan teknis ia coba
menjiwai olahraga, menghidupkan gerak fisik dan jiwa,
melantunkannya dalam gambar-gambar berirama lincah. Tidak kurang
menarik adalah film dokumenter PON X yang dengan molek
disisipkan dan nampak menyatu. Memang, kehadiran Presiden
Soeharto dalam sisipan itu agaknya bagi sebagian penonton bisa
dianggap kurang perlu. Tapi untuk menghadirkan satu peristiwa
olahraga yang mutakhir dan berskala nasional, bagi Umam
kelihatannya tidak ada pilihan lain. Bisa jadi gagasan pembuatan
film ini justru diilhami oleh PON X itu. Yang pasti Yenny
Rachman dan Roy Marten bermain baik, akting mereka nampak
bersih, terperinci.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini