Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gadis pon atau marathon

Sutradara: chaerul umam pemain: yenny rachman, roy marten, rachmat hidayat resensi oleh: isma sawitri. (fl)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GADIS MARATHON pemain: Yenny Rachman, Roy Marten, Rachmat Hidayat skenario: Sjumandjaya sutradara: Chaerul Umam DI Lembang, lomba lari jarak jauh putri ternyata dapat perhatian luar biasa. Penonton riuh-rendah memberi semangat. Ada lurah, ada ibu dan adik-adik pelari, ada pula seorang pria penggugup yang tiap kali menggigit-gigit kukunya. Sekilas nampak, di kota kecil Jawa Barat itu yang namanya olahraga "sudah memasyarakat". Lancar sejak awal, film Gadis Marathon mengantarkan kisah tentang bagaimana semboyan yang satu lagi, yang berbunyi "mengolahragakan masyarakat" sebaliknya tidak juga terwujud. Kenapa? Barangkali mencoba mencarikan jawabannya, skenario yang ditulis Sjumandjaya secara agak samar melibatkan tokoh-tokoh pembina olahraga seperti Ketua KONI Ja-Bar Pandu Winata, dan Gatot, anggota KONI yang dikenal sebagai saudagar alat olahraga. Adapun sang juara adalah Nita (Yenny Rachman), seorang anak yatim dari keluarga miskin. Setelah memenangkan maraton di Lembang, sang lurah, Natalegawa, menolong Nita melanjutkan pelajarannya ke SMA di Bandung. Di sini Nita berlatih di bawah asuhan Anton Sudirgo (Roy Marten) yang bekas juara Asia. Hidup bagi Nita terasa cerah, hingga pada suatu hari Freddy (Pong Hardjatmo), pria yang suka menggigit-gigit kuku itu, merasa amat tersinggung dan berang kepadanya. Freddy, yang katanya ditunangkan dengan Nita sejak kecil, rupanya cemburu pada Anton. Pelatih ini memang paham sekali keadaan Nita, kemurnian jiwa dan cita-citanya. Ia memupuk "bakat alam" itu sepenuh kasih sayang, satu kenyataan yang juga tidak disukai Nunung (Hanna Wijaya), pelari juara Ja-Bar. Apalagi dalam beberapa uji-coba terbukti Nita dapat mengalahkan Nunung. Maka ada dua manusia dilanda cemburu: Freddy dan Nunung. Freddy menghasut ayahnya di kampung, hingga juragan kaya itu memerintahkan ibu Nita meninggalkan rumah "pinjaman" yang selama ini mereka tempati. Untung Lurah Natalegawa yang "manunggal dengan rakyat" sedia menampung mereka. Tapi hukuman tidak langsung ini justru merobohkan Nita. Dalam POR Ja-Bar ia terjatuh menjelang garis akhir. Nunung keluar sebagai juara. Toh ia belum berhasil merebut hati Anton. Demi cinta, barangkali, Nunung lalu berkomplot dengan Gatot, saudagar itu. Ia mengancam mengundurkan diri kalau Anton tetap dipertahankan sebagai pelatih kontingen Ja-Bar. Terdesak, PASI Ja-Bar tunduk. Anton tergeser bahkan terpaksa mendekam di rumah sakit. Begitu pula Nunung: gadis yang tidak sportif ini tiba-tiba mengalami kecelakaan lalu-lintas, dan terbukalah peluang Nita mengadu nasib di PON Jakarta. Gadis Marathon kalau tidak salah adalah film Indonesia kedua bertemakan olahraga -- sesudah Gadis Olahraga, produksi 1950-an. Tidak istimewa, namun tergolong satu dari sedikit film bermutu yang bisa disaksikan segenap lapisan penonton. Meski terikat pada tema olahraga, watak-watak culas yang dihadirkannya bisa ditemukan di mana saja. Watak-watak itu justru meracuni lingkungannya dengan mudah -- karena bukanlah olahraga dunia bersih bagi mereka yang sportif. Olahraga dengan begitu disorot tidak semata-mata sebagai gelanggang ptestasi fisik. Tapi lebih tinggi lagi gelanggang menguji kejujuran. Tidak heran bila pada akhir film terselip pesan "Kemenangan yang sejati adalah mengalahkan diri sendiri." Seperti kata-kata Nabi. Kematian Anton sebagai penutup, di samping kemenangan Nita di arena PON membubuhkan kepekatan yang terasa berlebihan. Akhir yang dramatik ini mungkin dianggap perlu untuk menyindir bagaimana sebuah prestasi harus dibayar mahal dengan pengorbanan. Tepatnya, nyawa. Dan nyawa itu milik seorang pelatih andalan, yang fungsinya dalam peningkatan olahraga di negeri ini terhitung masih kurang dihargai. Tentu saja tidak tepat bila misalnya kita mencoba membandingkan Gadis marathon dengan film Rocky atau Chariots of Fire pemenang Oscar tahun ini. Temanya olahraga, tapi permasalahan jauh berbeda. Rocky berkisah tentang manusia tidak beruntung yang untung-untungan mencoba melawan seorang juara dunia. Chariots of Fire menampilkan profil olahragawan tahun 1920-an dengan motivasi masing-masing. Sedang Gadis Marathon menggambarkan dalam garis besar dunia olahraga di Indonesia, khususnya atletik, yang kurang diperhatikan, kurang beruntung dan amat kurang menghasilkan medali. Plus tidak begitu memasyarakat. Bahwa sutradara Chaerul Umam memilih dunia seperti itu untuk difilmkan, patut dipuji. Dengan keterbatasan teknis ia coba menjiwai olahraga, menghidupkan gerak fisik dan jiwa, melantunkannya dalam gambar-gambar berirama lincah. Tidak kurang menarik adalah film dokumenter PON X yang dengan molek disisipkan dan nampak menyatu. Memang, kehadiran Presiden Soeharto dalam sisipan itu agaknya bagi sebagian penonton bisa dianggap kurang perlu. Tapi untuk menghadirkan satu peristiwa olahraga yang mutakhir dan berskala nasional, bagi Umam kelihatannya tidak ada pilihan lain. Bisa jadi gagasan pembuatan film ini justru diilhami oleh PON X itu. Yang pasti Yenny Rachman dan Roy Marten bermain baik, akting mereka nampak bersih, terperinci. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus