Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Siapa yang menari ? anak-anak

Dewan kesenian jakarta mengadakan festival tari anak-anak di tim, diikuti oleh 30 grup. dalam tarian-tarian itu anak-anak kehilangan kesegarannya, karena harus mematuhi aturan-aturan.(tr)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELIHAT begitu banyak anak-anak yang gemar menari dan begitu banyak pelatih tari muncul, Dewan Kesenian Jakarta tertarik mengadakan Festival Tari Anak-anak. Untuk memperoleh data taraf kemampuan menari pada anak-anak secara kelompok di Jakarta, juga untuk menyusun perencanaan pembinaan dan pengembangan tari anak-anak, tulis pedoman festival ini. Sambutan cukup besar. Ada 30 grup yang mendaftar. Berlangsung mulai 25 Juni s/d akhir pekan lalu di Teater Arena dan Tertutup, TIM, peserta diwajibkan menampilkan 2 jenis tarian. Jenis pertama tari hasil latihan kelompok 3 sampai 12 penari. Dari jenis ini hendak dilihat ketrampilan teknis para penari. Jenis kedua garapan tari. Dari jenis ini akan dinilai kemampuan pelatih merangsang daya kreasi anak-anak. Sikap pelatih dalam menghadapi anak-anak asuhannya pun, bisa dilihat dari jenis yang diharuskan menampilkan 1530 penari ini. Misalnya apakah pelatih itu hanya mendikte, atau memberi kebebasan anak asuhannya. Kasihan Kebanyakan peserta berangkat dengan materi tari tradisi: Bali, Jawa, Sunda, Sumatera. Hanya 4 kelompok tampil dengan balet. Tak ada kreasi baru -- memang tak dituntut meskipun diharapkan muncul. Menurut Sal Murgiyanto, salah seorang juri: "Memang tak ada peserta yang melepaskan diri dari ikatan tari tradisi, dan itu bukanlah keharusan." Yang menjadi masalah, begitu tutur Murgiyanro, bukannya keterikatan atau keterlepasan dari tradisi, melainkan bagaimana sebaiknya seorang pelatih mengambil sikap dalam melatih anak-anak. Dari festival ini dia melihat betapa luar biasa kemampuan reproduktif anak-anak. "Tetapi sesudah seorang anak bisa menari Legong dengan bagus, lantas apa? Apa manfaat kemampuan reproduksi itu bagi perkembangan jiwa si mak itu sendiri?" katanya. Murgiyanto rupanya termasuk salah seorang yang merasa bahwa sistim pendidikan tari anak-anak harus segera diluruskan. "Seni tari sudah diakui juga sebagai unsur pembina watak dan kepribadian. Sikap pelatih yang hanya menyuruh anak-anak sekedar meniru dan mematuhi pakem tari tradisi yang serba mengikat itu, mesti dirubah," katanya. Di samping adanya kemampuan meniru pada anak-anak luar biasa, Murgiyanto juga melihat hampir semua peserta kehilangan kesegarannya sebagai kanak-kanak. Anak-anak di bawah 13 tahun itu tak nampak gembira, gairah bermain dan spontanitas anak-anak yang lugu dan mungkin lucu. Mereka bergerak di pentas dengan kaku harus mematuhi aturan yang diterapkan oleh pelatihnya. Misalnya, ada satu peserta yang mengangkat cerita yang biasa dimainkan oleh wayang orang. Ceritanya itu sendiri didekati dengan pikiran orang dewasa, sehingga anak-anak hanya menjadi pelaku yang kaku dari lakon. Dunia kanakkanaknya tak muncul. Yang ada ialah wayang orang yang pelakunya anak kecil. "Ketrampilannya memang boleh dipuji, tapi melihat hal itu, saya menjadi sedih," komentar Sal. Buto Ijo Untunglah tak semuanya menyedihkan. Ada satu dua peserta yang menggembirakan, yaitu yang pelatihnya sudah juga memikirkan kepentingan anak asuhannya sebagai bocah. Ruang bagi munculnya dunia mereka sendiri diberikan, sehingga anak-anak itu bisa kelihatan bebas 'bermain' di pentas, bisa secara spontan tertawa melihat tingkah yang lucu dari kawan bermainnya. Sambil menari, mereka punya kesempatan untuk sedikit mengembara dalam imajinasi atau fantasi masing-masing. Misalnya ada cerita tentang Buto Ijo -- yang selama ini dikenal oleh anak-anak sebagai makhluk menakutkan -- didekati secara menyenangkan. Buto Ijo itu dibuat tidak menakutkan lagi. Bahkan menjadi sahabat anak-anak perempuan yang membantu dan melindungi mereka dari gangguan anak-anak lelaki. Pendekaran dan pemilihan cerita semacam itu ternyata mengundang keterlibatan spontan masing-masing penari -- dan juga dari penonton anak-anak. Dalam pada itu keindahannya sebagai tarian tetap bisa dijaga. Dengan kata lain, para pelatih tak layak mencangkokkan dunianya ke dunia mereka yang dilatihnya. Sebagaimana dikatakan Sal "Sampai anak berusia delapan tahun, yang diperlukan sebagai pelajaran dasarnya ialah, cukup tentang pengenalan gerak, tari dan nyanyi. Karena bagi anak seusia itu meniru dengan baik satu tarian tradisi belum penting. Baru jika anak-anak itu berusia delapan tahun ke atas, tari yang sifatnya reproduktif bisa diberikan, sambil tetap juga memperhitungkan kondisi jiwanya sebagai anak-anak." Tapi bagaimana dengan ibu-ibu yang nampaknya justru lebih bersemangat -- untuk kebanggaannya -- dalam 'memaksa' anak-anaknya agar pandai menari?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus