MELIHAT begitu banyak anak-anak yang gemar menari dan begitu
banyak pelatih tari muncul, Dewan Kesenian Jakarta tertarik
mengadakan Festival Tari Anak-anak. Untuk memperoleh data taraf
kemampuan menari pada anak-anak secara kelompok di Jakarta, juga
untuk menyusun perencanaan pembinaan dan pengembangan tari
anak-anak, tulis pedoman festival ini.
Sambutan cukup besar. Ada 30 grup yang mendaftar. Berlangsung
mulai 25 Juni s/d akhir pekan lalu di Teater Arena dan Tertutup,
TIM, peserta diwajibkan menampilkan 2 jenis tarian. Jenis
pertama tari hasil latihan kelompok 3 sampai 12 penari. Dari
jenis ini hendak dilihat ketrampilan teknis para penari. Jenis
kedua garapan tari. Dari jenis ini akan dinilai kemampuan
pelatih merangsang daya kreasi anak-anak. Sikap pelatih dalam
menghadapi anak-anak asuhannya pun, bisa dilihat dari jenis yang
diharuskan menampilkan 1530 penari ini. Misalnya apakah pelatih
itu hanya mendikte, atau memberi kebebasan anak asuhannya.
Kasihan
Kebanyakan peserta berangkat dengan materi tari tradisi: Bali,
Jawa, Sunda, Sumatera. Hanya 4 kelompok tampil dengan balet. Tak
ada kreasi baru -- memang tak dituntut meskipun diharapkan
muncul.
Menurut Sal Murgiyanto, salah seorang juri: "Memang tak ada
peserta yang melepaskan diri dari ikatan tari tradisi, dan itu
bukanlah keharusan." Yang menjadi masalah, begitu tutur
Murgiyanro, bukannya keterikatan atau keterlepasan dari tradisi,
melainkan bagaimana sebaiknya seorang pelatih mengambil sikap
dalam melatih anak-anak. Dari festival ini dia melihat betapa
luar biasa kemampuan reproduktif anak-anak. "Tetapi sesudah
seorang anak bisa menari Legong dengan bagus, lantas apa? Apa
manfaat kemampuan reproduksi itu bagi perkembangan jiwa si mak
itu sendiri?" katanya.
Murgiyanto rupanya termasuk salah seorang yang merasa bahwa
sistim pendidikan tari anak-anak harus segera diluruskan. "Seni
tari sudah diakui juga sebagai unsur pembina watak dan
kepribadian. Sikap pelatih yang hanya menyuruh anak-anak sekedar
meniru dan mematuhi pakem tari tradisi yang serba mengikat itu,
mesti dirubah," katanya.
Di samping adanya kemampuan meniru pada anak-anak luar biasa,
Murgiyanto juga melihat hampir semua peserta kehilangan
kesegarannya sebagai kanak-kanak. Anak-anak di bawah 13 tahun
itu tak nampak gembira, gairah bermain dan spontanitas anak-anak
yang lugu dan mungkin lucu. Mereka bergerak di pentas dengan
kaku harus mematuhi aturan yang diterapkan oleh pelatihnya.
Misalnya, ada satu peserta yang mengangkat cerita yang biasa
dimainkan oleh wayang orang. Ceritanya itu sendiri didekati
dengan pikiran orang dewasa, sehingga anak-anak hanya menjadi
pelaku yang kaku dari lakon. Dunia kanakkanaknya tak muncul.
Yang ada ialah wayang orang yang pelakunya anak kecil.
"Ketrampilannya memang boleh dipuji, tapi melihat hal itu, saya
menjadi sedih," komentar Sal.
Buto Ijo
Untunglah tak semuanya menyedihkan. Ada satu dua peserta yang
menggembirakan, yaitu yang pelatihnya sudah juga memikirkan
kepentingan anak asuhannya sebagai bocah. Ruang bagi munculnya
dunia mereka sendiri diberikan, sehingga anak-anak itu bisa
kelihatan bebas 'bermain' di pentas, bisa secara spontan tertawa
melihat tingkah yang lucu dari kawan bermainnya. Sambil menari,
mereka punya kesempatan untuk sedikit mengembara dalam imajinasi
atau fantasi masing-masing.
Misalnya ada cerita tentang Buto Ijo -- yang selama ini dikenal
oleh anak-anak sebagai makhluk menakutkan -- didekati secara
menyenangkan. Buto Ijo itu dibuat tidak menakutkan lagi. Bahkan
menjadi sahabat anak-anak perempuan yang membantu dan melindungi
mereka dari gangguan anak-anak lelaki. Pendekaran dan pemilihan
cerita semacam itu ternyata mengundang keterlibatan spontan
masing-masing penari -- dan juga dari penonton anak-anak. Dalam
pada itu keindahannya sebagai tarian tetap bisa dijaga.
Dengan kata lain, para pelatih tak layak mencangkokkan dunianya
ke dunia mereka yang dilatihnya. Sebagaimana dikatakan Sal
"Sampai anak berusia delapan tahun, yang diperlukan sebagai
pelajaran dasarnya ialah, cukup tentang pengenalan gerak, tari
dan nyanyi. Karena bagi anak seusia itu meniru dengan baik satu
tarian tradisi belum penting. Baru jika anak-anak itu berusia
delapan tahun ke atas, tari yang sifatnya reproduktif bisa
diberikan, sambil tetap juga memperhitungkan kondisi jiwanya
sebagai anak-anak." Tapi bagaimana dengan ibu-ibu yang nampaknya
justru lebih bersemangat -- untuk kebanggaannya -- dalam
'memaksa' anak-anaknya agar pandai menari?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini