SABTU minggu lalu, Azhar Achmad SH malahan berkunjung ke DP-RI.
Dia minta "perlindungan hukum terhadap diri pribadi dan profesi
advokat . . . " Padahal, seperti terlihat oleh 'kalangan hukum',
persoalan sudah boleh dianggap selesai.
Hakim Anton Abdurahman Putra SH dan Azhar Achmad sudah saling
bersalaman. "Perdamaian" telah dicapai sejak 2 Juni lalu dan
majelis hakim dapat menerima kembali Azhar duduk di kursi
pembela tanpa harus memperbaharui surat kuasanya. Sidang perkara
mahasiswa Rosmel Djalil dan Indra Tjahaya Kadi, yang dituduh
menghina kepala negara dan diancam hukuman mati, juga sudah
sampai acara pleidoi (pembelaan).
Tapi waktu dua kali penundaan sidang, ternyata tak hanya
dipergunakan Azhar untuk menyusun pembelaan saja. Dia juga
membuat surat pengaduan ke Kodak Metro Jaya menuduh Hakim Anton
telah menghina dan menista ketika "mengusir"nya dari kursi
pembela, 5 Mei lalu.
Tak Dapat Dituntut
Ceritanya dimulai 7 April lalu. Karena harus masuk rumahsakit,
Azhar permisi absen dan minta agar majelis hakim menunda sidang
pemeriksaan saksi. Permintaan ini ditolak. Tapi menurut Azhar,
Hakim Anton dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini menjanjikan
kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi kelak bila dia
hadir kembali.
Namun dalam sidang 5 Mei berikutnya setelah Azhar sembuh,
ternyata keinginannya bertanya kepada saksi yang telah selesai
diperiksa tak diperkenankan majelis. "Dengan tertib dan sopan,"
kata Azhar, ia meninggalkan ruang sidang sebagai protes atas
sikap hakim yang dinilainya telah "ingkar janji."
Pada sidang berikutnya, 19 Mei, Azhar hendak kembali duduk
sebagai pembela. Hakim Ketua, Anton, menolaknya. Menurut Anton,
seperti dikatakannya kepada TEMPO kemudian, cara protes Azhar
begitu "tidak dikenal" bahkan "bertentangan dengan hukum acara
pidana". Sebab menurutnya protes biasanya dikemukakan dan
dicatat oleh panitera untuk dipertimbangkan hakim di pengadilan
yang lebih atas. Main tinggalkan kursi, "berarti tidak
menyetujui jalan dan proses persidangan majelis," nilai Anton.
Hal itu, katanya lagi, menunjukkan suatu sikap "tidak menghargai
dan menjatuhkan martabat pengadilan di muka umum."
Anton tak merasa mengusir Azhar. "Saya hanya mempersilakan dia
meninggalkan kursi pembela dan boleh duduk di kursi hadirin --
sebelum memperbaharui surat kuasanya," kata Anton. Tapi
bagaimanapun Azhar merasa terusir -- dan lebih dari itu merasa
terhina dan ternista.
Usaha mendamaikan perselisihan antara pengacara dan hakim itu
diambil oleh Peradin dan pihak kejaksaan. Hasilnya Azhar boleh
duduk kembali sebagai pembela. Tapi Azhar masih penasaran.
"Mengenai penghinaan terhadap pribadi saya, itu hak saya untuk
tetap mengadukannya ke polisi," katanya. Benarkah harus begitu?
Peradin Jakarta angkat tangan. Akan pengaduan Azhar, demikian
pernyataan Peradin yang dibuat Yan ApuI SH (Ketua) dan Ny. S.
Soegondo SH (Sekretaris), "adalah urusan dan hak pribadi yang
bersangkutan."
Mahkamah Agung cepat menanggapi kasus Anton-Azhar ini. Dalam
suratnya kepada Menteri Kehakiman, 21 Juni Ketua Mahkamah Agung
Prof. Oema Seno Adji SH --setelah mendengarkan suara berbagai
pihak -- ternyata "membenarkan apa yang telah dilakukan Saudara
Anton Abdurahman Putra SH . . . " Tindakan Anton terhadap
Azhar, menurut Ketua MA, "bukan merupakan perbuatan yang dapat
dituntut (niet vervolgbaar), karena tidak merupakan perbuatan
pidana." Sebab apa yang dilakukan Anton, katanya masih "dalam
rangka kewenangannya dan kewajibannya berdasarkan hukum acara
pidana . . . " Yaitu, "untuk menjaga tata-tertib persidangan."
Tembusan surat MA tersebut dikirimkan ke berbagai pejabat
seperti Jaksa Agung, Pangkopkamtib, Ka-Bakin, Panglima Kodak
Metro Jaya dan lain-lain. Azhar Achmad jadi sewot. Apalagi
belakangan pengaduan yang dimasukkannya ke Kepolisian Jakarta
ternyata ditolak oleh Markas Besar Kepolisian. Surat MA,
nilainya, telah mempengaruhi penyelesaian perkara selagi masih
di tinkat penyidikan polisi.
Martabat
Memang aneh -- apabila berpegang pada ketentuan, bahwa polisi
berkewajiban mengurus pengaduan, sementara pendeponiran perkara
hanya hak kejaksaan saja. "Ini persoalan prinsipiil," seru
Azhar. "Bahkan mengancam hak asasi, martabat dan kehormatan saya
selaku advokat."
Peradin Pusat menurunkan siaran pers 3 Juli. Dengan hanya
menunjuk wewenang dan kewajiban hakim menurut undang-undang
saja, seperti sikap MA, menurut Peradin "adalah tidak tepat dan
sangat disesalkan". Karena MA, katanya, tidak memperhatikan
kewajiban hakim menurut kode kehormatannya dan hak serta
martabat advokat.
Cara Azhar meninggalkan ruang sidang, menurut Peradin, adalah
upaya protes terakhir. Asalkan dilakukan dengan sopan,
menghormati norma pengadilan dan tidak mempersulit persidangan.
Peradin juga mengingatkan, hakim juga punya kewajiban untuk
tidak memihak, tegas, sopan dan sabar serta memberi tauladan
yang baik. Menjadi pertanyaan, kata Peradin, apakah tindakan
hakim "mengusir" anggotanya masih dalam rangka kode kehormatan
hakim?
"Kami hanya mempertanyakan, bukan menyatakan Hakim Anton itu
tidak sabar atau tidak sopan," kata Ketua Peradin, Tasrif,
menjelaskan. Oemar Seno Adji, Ketua MA, tak mau banyak bicara
lagi. Pendek saja jawabnya atas pendirian Peradin: "Kalau hakim
disuruh sabar, sopan, apa pengacara tidak harus demikian...?"
Jadi soal sopan santun saja, 'kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini