Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Azhar-Anton, Soal Sopan Santun Saja?

Azhar Achmad SH, mengadu ke Kodak Metro Jaya menuduh hakim Anton Abdurahman Putra SH telah menghina dan menista ketika "mengusir" nya dari kursi pembela sidang perkara mahasiswa.(hk)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU minggu lalu, Azhar Achmad SH malahan berkunjung ke DP-RI. Dia minta "perlindungan hukum terhadap diri pribadi dan profesi advokat . . . " Padahal, seperti terlihat oleh 'kalangan hukum', persoalan sudah boleh dianggap selesai. Hakim Anton Abdurahman Putra SH dan Azhar Achmad sudah saling bersalaman. "Perdamaian" telah dicapai sejak 2 Juni lalu dan majelis hakim dapat menerima kembali Azhar duduk di kursi pembela tanpa harus memperbaharui surat kuasanya. Sidang perkara mahasiswa Rosmel Djalil dan Indra Tjahaya Kadi, yang dituduh menghina kepala negara dan diancam hukuman mati, juga sudah sampai acara pleidoi (pembelaan). Tapi waktu dua kali penundaan sidang, ternyata tak hanya dipergunakan Azhar untuk menyusun pembelaan saja. Dia juga membuat surat pengaduan ke Kodak Metro Jaya menuduh Hakim Anton telah menghina dan menista ketika "mengusir"nya dari kursi pembela, 5 Mei lalu. Tak Dapat Dituntut Ceritanya dimulai 7 April lalu. Karena harus masuk rumahsakit, Azhar permisi absen dan minta agar majelis hakim menunda sidang pemeriksaan saksi. Permintaan ini ditolak. Tapi menurut Azhar, Hakim Anton dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini menjanjikan kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi kelak bila dia hadir kembali. Namun dalam sidang 5 Mei berikutnya setelah Azhar sembuh, ternyata keinginannya bertanya kepada saksi yang telah selesai diperiksa tak diperkenankan majelis. "Dengan tertib dan sopan," kata Azhar, ia meninggalkan ruang sidang sebagai protes atas sikap hakim yang dinilainya telah "ingkar janji." Pada sidang berikutnya, 19 Mei, Azhar hendak kembali duduk sebagai pembela. Hakim Ketua, Anton, menolaknya. Menurut Anton, seperti dikatakannya kepada TEMPO kemudian, cara protes Azhar begitu "tidak dikenal" bahkan "bertentangan dengan hukum acara pidana". Sebab menurutnya protes biasanya dikemukakan dan dicatat oleh panitera untuk dipertimbangkan hakim di pengadilan yang lebih atas. Main tinggalkan kursi, "berarti tidak menyetujui jalan dan proses persidangan majelis," nilai Anton. Hal itu, katanya lagi, menunjukkan suatu sikap "tidak menghargai dan menjatuhkan martabat pengadilan di muka umum." Anton tak merasa mengusir Azhar. "Saya hanya mempersilakan dia meninggalkan kursi pembela dan boleh duduk di kursi hadirin -- sebelum memperbaharui surat kuasanya," kata Anton. Tapi bagaimanapun Azhar merasa terusir -- dan lebih dari itu merasa terhina dan ternista. Usaha mendamaikan perselisihan antara pengacara dan hakim itu diambil oleh Peradin dan pihak kejaksaan. Hasilnya Azhar boleh duduk kembali sebagai pembela. Tapi Azhar masih penasaran. "Mengenai penghinaan terhadap pribadi saya, itu hak saya untuk tetap mengadukannya ke polisi," katanya. Benarkah harus begitu? Peradin Jakarta angkat tangan. Akan pengaduan Azhar, demikian pernyataan Peradin yang dibuat Yan ApuI SH (Ketua) dan Ny. S. Soegondo SH (Sekretaris), "adalah urusan dan hak pribadi yang bersangkutan." Mahkamah Agung cepat menanggapi kasus Anton-Azhar ini. Dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman, 21 Juni Ketua Mahkamah Agung Prof. Oema Seno Adji SH --setelah mendengarkan suara berbagai pihak -- ternyata "membenarkan apa yang telah dilakukan Saudara Anton Abdurahman Putra SH . . . " Tindakan Anton terhadap Azhar, menurut Ketua MA, "bukan merupakan perbuatan yang dapat dituntut (niet vervolgbaar), karena tidak merupakan perbuatan pidana." Sebab apa yang dilakukan Anton, katanya masih "dalam rangka kewenangannya dan kewajibannya berdasarkan hukum acara pidana . . . " Yaitu, "untuk menjaga tata-tertib persidangan." Tembusan surat MA tersebut dikirimkan ke berbagai pejabat seperti Jaksa Agung, Pangkopkamtib, Ka-Bakin, Panglima Kodak Metro Jaya dan lain-lain. Azhar Achmad jadi sewot. Apalagi belakangan pengaduan yang dimasukkannya ke Kepolisian Jakarta ternyata ditolak oleh Markas Besar Kepolisian. Surat MA, nilainya, telah mempengaruhi penyelesaian perkara selagi masih di tinkat penyidikan polisi. Martabat Memang aneh -- apabila berpegang pada ketentuan, bahwa polisi berkewajiban mengurus pengaduan, sementara pendeponiran perkara hanya hak kejaksaan saja. "Ini persoalan prinsipiil," seru Azhar. "Bahkan mengancam hak asasi, martabat dan kehormatan saya selaku advokat." Peradin Pusat menurunkan siaran pers 3 Juli. Dengan hanya menunjuk wewenang dan kewajiban hakim menurut undang-undang saja, seperti sikap MA, menurut Peradin "adalah tidak tepat dan sangat disesalkan". Karena MA, katanya, tidak memperhatikan kewajiban hakim menurut kode kehormatannya dan hak serta martabat advokat. Cara Azhar meninggalkan ruang sidang, menurut Peradin, adalah upaya protes terakhir. Asalkan dilakukan dengan sopan, menghormati norma pengadilan dan tidak mempersulit persidangan. Peradin juga mengingatkan, hakim juga punya kewajiban untuk tidak memihak, tegas, sopan dan sabar serta memberi tauladan yang baik. Menjadi pertanyaan, kata Peradin, apakah tindakan hakim "mengusir" anggotanya masih dalam rangka kode kehormatan hakim? "Kami hanya mempertanyakan, bukan menyatakan Hakim Anton itu tidak sabar atau tidak sopan," kata Ketua Peradin, Tasrif, menjelaskan. Oemar Seno Adji, Ketua MA, tak mau banyak bicara lagi. Pendek saja jawabnya atas pendirian Peradin: "Kalau hakim disuruh sabar, sopan, apa pengacara tidak harus demikian...?" Jadi soal sopan santun saja, 'kan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus