Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia terpesona oleh suasana senja sebuah pantai di Maroko. Horizon menjauh. Langit redup. Ia tercekat oleh perubahan warna air laut, perubahan cuaca langit. Seluruh pera-sa-annya seperti bercampur aduk. -Hasrat-nya terbuka....
Dan ia membayangkan tertidur di-ayun ombak….
Impresi-impresi itu yang agaknya ingin- disampaikan oleh Abou Lagraa, 36 tahun, malam itu, Rabu pekan la-lu. Ko-reografer Prancis keturunan Alja-zair- ini menampilkan Allegoria Stanza, sebuah alegori terhadap langit dan laut.
Panggung menampilkan dekor sebuah- layar lebar. Sepuluh penarinya di-ba-lut kostum oranye. Dance music—ber-irama Magribi—menghangatkan sua-sana, nuansa etnis yang dikemas dalam spirit lantai dansa. Layar menampilkan visual pusaran gelombang- bergulung-gulung. Sepanjang satu jam, visual berganti-ganti: awan be-r-arak di ufuk cerah, awan kuning kehitaman, buncah-buncah ombak, gemu-ruh kilat petir, titik-titik hujan fajar merah. Transisi alam yang liar. Dari warna ke warna. Dari temperamen ke temperamen.
Tapi itu tidak menjadikan ekspresi- dan komposisi para penari naratif atau ornamentik. Mereka menyebar, memperlihatkan energi yang dinamis. Memberikan aksen-aksen. Menggapai puncak, luruh, lalu kembali naik. Ge-rak mereka tidak mendeskripsikan apa yang ada dalam tayangan visual, tapi memberikan titik-titik makna.
Lagraa membangun vokabuler ge-rak penarinya dengan banyak unsur hip-hop. Lagraa, dengan kelompok La Baraka-nya, sebelumnya memang di-kenal banyak mencipta karya berbau breakdance. Tiga dari sepuluh pe-mainnya malam itu adalah penari hip-hop. Namun, gerak-gerak hip-hop diekspresikan secara halus, tak mencolok. Secara keseluruhan, hip-hop, tari anak jalanan itu, disuling Lagraa menjadi puitis.
Dan lihatlah ekspresi penari perempuan pirang itu. Laut tampak membuatnya gelisah. Tangannya bergerak seolah mengenyahkan sesuatu. Berkali-kali kepalanya ditelentangkan jauh ke belakang. Lalu kedua tangannya direntangkan. Secara fisikal, ia seolah pribadi yang resah. Guyah. Tapi membinarkan sensualitas.
Sesungguhnya pergerakan-perge-rakan penari tak membentuk blocking- yang mengejutkan. Dialog antara para penari juga tak menghasilkan interak-si menakjubkan. ”Saya cuma ingin membiarkan mereka mengalir menem-pati ruang kosong,” kata Lagraa. Dan ”ruang kosong” adalah ruang di de-pan layar. Di situ sosok para penari akan memancar menjadi siluet hitam besar di layar yang menampilkan galur-galur laut. Hingga seolah mereka bergerak di antara keganasan gelombang biru putih. Bercengkerama atau berpagutan di sela-sela ombak. Menghirup, bernapas dalam air.
Bagian yang paling puitis terjadi ketika seorang penarinya tiba-tiba menyungkup di sisi layar, seperti seorang menepi di gigir pantai, terlelap, membiar tubuhnya disentuh oleh buih-buih, dijamah oleh dingin. Lalu, dua penari laki-laki dengan gerak balet, meng-angkat, seperti menjauhkannya dari mara bahaya.
Bila pertunjukan malam itu ber-henti- di situ, pertunjukan itu berakhir- sempurna. Namun Abou Lagraa ma-sih- ingin bercerita banyak. Terpukau oleh irama alam, ia seperti kurang me-nahan ritme pertunjukannya sendiri. Pa-rade siluet yang ditampilkannya men-jadi tidak menggumpal. Siluet-siluet eksotisnya tak mampu menghasilkan klimaks yang meninggalkan ke-san mendalam.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo