Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi patung yang sangat tinggi itu membuat kita tak bisa menatap ekspresi wajahnya dengan jelas. Bila kita berada di Lapangan Banteng atau Pancoran, mendongak ke atas, wajah itu jelas tak kelihatan.
Foto-foto lama pembuatan monumen itu yang memperlihatkan bagian kepala patung dan replika kepala patung yang dibuat khusus Edhi, menunjukkan bahwa wajah yang ada di atas itu ternyata sangat ekspresif. Wajah lelaki, dengan gurat-gurat otot di parasnya, terlihat sedang berteriak. Siapakah model Edhi untuk membuat wajah yang sangat maskulin dan gahar itu?
Ternyata dirinya sendiri. Menurut Edhi, saat membuat patung Pembebasan Irian Barat, yang menjadi penanda bergabungnya Irian Barat menjadi wilayah Indonesia, ia sering berada di hadapan cermin dan berteriak-teriak sendiri tak keruan. Mulutnya menganga, matanya membelalak. ”Saya suruh orang lain berteriak, tetapi gerak wajahnya tidak pas,” kata Edhi mengenang.
Tiga patung monumen karya Edhi: Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Dirgantara, terasa memang sangat maskulin. Dirgantara, misalnya, lambaian kain pada sang patung, unsur maskulinnya sangat terasa.
Patung-patung itu semuanya diciptakan Edhi dalam bidang permukaan yang bertekstur kasar. Tekstur kasar dipilih karena posisi patung yang sangat tinggi tak memberi kesempatan orang melihat detailnya. Justru dengan bidang permukaan kasar itulah, ada sensasi lain jika dilihat dari jauh. Patung-patung tersebut terlihat seperti bergerak di namis dan bukan sekadar siluet.
Edhi menuturkan proses pembuatan ketiga monumen itu tak lepas dari campur tangan Bung Karno. Misalnya, Bung Karno memperlihatkan gerak tubuh menunjukkan bentuk patung Selamat Datang. Tangan kanan mengangkat ke atas seperti menyapa tamu yang berkunjung datang. ”Ide memang datang dari Bung Karno. Tapi saya menggambarkan dengan caraku sendiri,” kata Edhi. ”Bung Karno memberikan kebebasan. Dinamika bentuk diserahkan sepenuhnya kepada seniman.”
Edhi juga meminta tolong temannya menjadi model pria dalam proses pembuatan patung Selamat Datang itu. Ia meminta Sutrisno, salah satu anggota Keluarga Artja, yaitu kelompok kawan-kawannya untuk menggarap patung mo numen Jakarta. Sedangkan untuk patung perempuan, Edhi tak memakai model.
”Pak Edhi tidak kaku menggunakan model. Ketiga mo numen itu adalah siluet wajahnya sendiri,” ujar Mike Susanto, editor buku Edhi Sunarso, Seniman Pejuang. Si luet wajah Edhi sangat jelas tampak pada patung Dirgantara. Mata yang bulat penuh dengan dahi menonjol adalah khas lekuk wajahnya.
Patung Dirgantara adalah penghormatan atas semangat penerbang Indonesia. Gestur patung dibuat laiknya orang yang sedang terbang. Awalnya, ada ornamen pesawat mini di ujung jari tangan patung. Tapi Edhi menilai bentuk itu malah kekanak-kanakan. Bung Karno akhirnya menyetujui pesawat itu dihilangkan.
Patung kemudian dipasang setelah pedestal dibuat, menghadap ke arah lapangan terbang Kemayoran, Jakarta Pusat. Bentuk pedestal yang mirip cungkil mata saat itu diisukan sebagai simbol keterlibatan Bung Karno dengan komunis. Padahal, bentuk pedestal lengkung yang dirancang oleh Sutami itu sebenarnya penggambaran jejak terbang si patung.
Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo