Kumpulan sajak Simfoni Dua menampilkan kehidupan yang utuh dan bergairah. Tapi, H.B. Jasin melihatnya sebagai sajak pesimistis. SIMfONI DUA, SAJAK-SAJAK SUBAGIO SASTROWARDOYO Penulis: Subagio Sastrowardoyo Penerbit: Balai Pustaka, 1990, 103 halaman Musim berulang dan hujan turun lagi di halaman (tetapi setiap kali lain). Tetes air yang meleleh dari dahi ke mulut terasa pahit di lidah. Apa maknanya? Aku tak berani bertanya kepada tuan yang berhuni di rumah. INI sajak pengantar Simfoni II. Kumpulan sajak Subagio, Simfoni Dua, yang baru saja terbit, terdiri dari dua bagian. Simfoni I yang dicetak tiga kali 1957, 1971, dan 1975, dan Simfoni II. Simfoni I -- tanpa empat judul "Monolith", "Merah", "Tanda", dan "Kota Suci" -- digabungkan begitu saja dalam buku Simfoni Dua. Bagian Simfoni II sendiri ada 46 judul. Kritikus sastra H.B. Jassin menanggapi sajak-sajak Subagio dengan nada pesimistis. Dalam eseinya, "Simfoni, Himpunan Puisi Subagio Sastrowardoyo" (Simfoni I, Jassin menyerang: "... penyair begitu berhasil membawa saya secara estetis masuk ke dalam dunia yang begitu muram mencengkam ...." Tuduhan pesimistis itu pun dijawab Subagio: "Aku tidak mau sombong, Saudara Jassin, tetapi aku bernggapan bahwa mereka yang tidak bisa melihat alamat-alamat kebenaran di tengah alam berlambang ini adalah mereka yang tidak sanggup melihat dengan mata hati, tidak bisa membiarkan rohnya (atau apa saja yang hendak disebut bawah sadar, intuisi atau roso-nya) bersuara." Saya, dalam menikmati sajak, cenderung menempatkan diri sebagai pendengar yang baik dan berusaha dhong, memahami, pandangan yang diajukan, betapapun saya sama sekali tak sependapat. Karena itu, saya menikmati Simfoni I sebagai ungkapan keprihatinan Subagio, seperti terlukis pada bait terakhir sajak "Dewa Telah Mati": Bumi ini perempuan jalang/ yang menarik laki-laki jantan dan pertapa/ ke rawa-rawa mesum ini/ dan membunuhnya pagi hari. Sajak dalam kumpulan Simfoni I, menurut saya, tak semuanya membayangkan keprihatinan Subagio. Ada sajak berjudul "Jarak" yang membayangkan ketakmampuan penyair menangkap makna keilahian di sekelilingnya, tetapi ada sajak lain, "Burung" yang menyejukkan hati. "Burung/ masih dekat dengan malaikat/ karena bersayap/ dan berbisik dengan kapak/ dalam basa/ asing tertangkap. Lagu tak berkata mendesir/ di mula dan akhir hari/ Serintis angin/ berembus di pinggir bumi/ Hidup jadi berarti dan/ keramat". Apa yang nampak sekarang, Subagio, dalam kepenyairannya, berada dalam pergulatan dengan tema-tema pengalamannya yang beragam. Pengalaman itu, termasuk kekecewaannya karena "Dewa Telah Mati", agaknya, berangkat dari kesadaran akan kehadirannya sendiri. Kehadiran itu dihayatinya dan dipertanyakannya kembali, yang membuahkan permenungannya dengan sekitarnya, bahkan kehadirannya sebagai penyair, seperti terlukis dalam "Sajak". Diungkapkannya, "Apakah arti sajak ini/ Kalau anak semalam batuk-batuk ..." yang kemudian dijawabnya sendiri, "Sajak ini melupakan kepada bunuh diri." Dan bagi Subagio, sajak adalah alat ekspresi yang dipilihnya paling pas, setelah ia mengalami menjadi penyanyi, pelukis, kolomnis, dan penulis cerita pendek berbakat, seperti dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing. Saya tak tahu persis, tetapi agaknya sajak-sajak yang terhimpun dalam Simfoni I (1957) adalah karya puisinya pada awal kepenyairannya. Setelah 32 tahun lewat, Simfoni II (1989) muncul, dan keduanya bergabung dalam Simfoni Dua. Apa yang menarik, dalam dua simfoni itu kepenyairan Subagio hampir tidak berubah. Dalam Simfoni I muncul sajak "Abad 20" yang menegaskan "Setiap muka mengandung penipuan", sedangkan dalam Simfoni II muncul "Aku Tidak Bisa Menulis Puisi Lagi" yang menekankan kenyataan hidup semrawut. "Ketika becak-becak dicemplungkan/ ke laut karena bang becak melanggar/ peraturan DKI/". Ia pun lalu mengatakan tak bisa menulis puisi lagi dengan ungkapan "sejak keindahan punah dari bumi". Hilangnya keindahan itu sudah nampak pada beberapa tema dalam Simfoni I. Hanya saja, gaya ucap pada kumpulan Simfoni II ada beberapa cenderung lebih lugas, misalnya pada sajak "Kisah Kasih". Alinea terakhirnya berbunyi demikian: "Kalau kasihku mati aku akan kehilangan sumber ilham buat bikin puisi/ dan penyair tak punya arti. Lantas aku/ boleh minum baygon dan tersuruk di/ kubangan penuh tai." Sementara itu, sajak "Ambarawa 1989" mengisahkan kenangannya. Ambarawa sebagai kota perang di zaman revolusi dan ia ikut ambil bagian membedili Belanda. Sekarang, perang tinggal terjadi dalam roman dan nampak di layar TV. Karena itu, ia berkata, "Ah, biarlah kedamaian berlanjut/ begini. Semua -- - bunga, dinding, lampu,/ kursi, istri -- terliput dalam kabut puisi/ Suling mengalun menembus/ malam. Aku tak tahan lagi melihat darah." Entah bagaimana, keluguannya menyentuhkan nada humor. Kesan saya, Simfoni II lebih banyak menyajikan sajak yang mengalir. Pertimbangan akan pilihan kata nampak tidak seketat kumpulan sajak Simfoni I. Mungkin, perenungan filsafati tidak lagi dirasakan menggigit-mendesak. Namun, tenaga puitisnya tetap kuat. Subagio, bagi saya, memang seorang penyair. Subagio, dengan kekuatan kepenyairannya, juga bisa mengancam, misalnya pada "Sajak Tak Pernah Mati": "Injak, robek atau bakarlah/ sajak, jerit sakit masih menyayat/ malam sunyi." Dan kita barangkali, hanya tersenyum setelah diancam puisi Simfoni II yang nampaknya lebih kaya akan tema. Namun, di samping itu, ada sesuatu yang sangat penting dicatat. Dalam sajak, Subagio nampak begitu bergairah. Sajaknya yang kadang terasa keras menyentak masalah kemasyarakatan. Tatkala gundah dalam sepi, ataupun duka karena hidup yang semrawut dan muram, ia membayangkan percintaan yang kuat dengan kehidupan. Gairah itu sudah menyala sejak ia menuliskan sajak dalam kumpulan Simfoni I, 1957. Gairah akan hidup tidak membayangkan pandangannya yang hedonistis, karena juga sekaligus merenungi kematian, misalnya sajak percintaan yang dahsyat, "Sajak Untuk Aida". Dikatakannya, "Semua tertutup/ kecuali pintu di mana cinta menanti/ yang menunjuk ke arah mati." Pada bagian terakhir sajak ini, Subagio berkata lagi, "Begitu dekat jarak antara cinta dan maut." Penyair sadar bahwa yang dilakukannya tidak seyogianya, tetapi ia menjalaninya tetap dengan gairah. Pandangan Subagio terhadap hidup nampak utuh. Pandangan seperti ini yang memungkinkan ia tak bosan-bosannya menggunakan ucapan Yesus di kayu salib, "Bapa mengapa Kau Tinggalkan Daku," seperti pada sajak "Tanda" (Simfoni I), yang membayangkan kesediaan berkorban karena kasih, seperti nampak juga pada sajak "Paskah di Kentucky Fried Chicken" dan "Sajak Tak Pernah Mati". Pandangannya yang utuh ini agaknya berkait erat dengan gairah hidupnya, seperti pada sajak "Variasi pada Tema Maut, VII: kembali". "Kalau aku mati, kalau aku mati/ aku boleh kembali ke dunia ini" karena, katanya, "masih banyak buku belum dibaca, banyak negeri belum dikunjungi, dan banyak perawan belum disedoti." Jassin menangkap kemuraman sajak Subagio, barangkali karena ia belum menikmati (waktu itu) kumpulan Simfoni II. Saya lebih beruntung. Belajar dari pengalaman Jassin, saya punya kesempatan menikmati Simfoni II. Karena itu, saya ikut serta dalam gairah hidup Subagio. Gairah yang tak usah meradang-menerjang ala Chairil. Sebab, dengan munculnya Simfoni II, kumpulan itu menjadi lebih utuh. Dan sosok pribadi penyair menjadi lebih jelas. Bakdi Soemanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini