Nasionalisme untuk Demokrasi MOCHTAR PABOTTINGGI SOSIO-demokrasi ...," tulis Bung Karno, "timbul karena sosionasionalisme." Di sini ia menyatakan "bahwa demokrasi yang murni hanya dapat lahir dari suatu paham kebangsaan yang benar dan mendalam. Ia ingin agar masyarakat atau bangsa kita tetap menjadi subyek demokrasi sehingga sumber-sumber daya politik dan ekonomi bisa dinikmati rakyat secara merata. Bung Karno memahami gejala bangsa bersama Renan. Bangsa adalah "solidaritas luhur" yang timbul dari ikatan sejarah dan cita-cita. Termasuk di dalamnya adalah tekad untuk tetap bahu-membahu menempuh pasang-surut kehidupan. Solidaritas ini mengatasi ikatan ras, bahasa, agama, bahkan tanah air. Begitulah maka Bung Karno menulis bahwa rasa cinta-bangsa itu lebar dan luas, "sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya, segala hal yang hidup". Paham kebangsaan demikian memang bisa sangat membantu terwujudnya demokrasi. Bukankah demokrasi menuntut adanya semangat egaliter dan resiprokalitas yang dinamis? Bangsa yang mencintai keluasan peluang dan kebebasan, yang tidak menyukai pengkastakastaan dalam kehidupan ekonomi dan politik, yang tinggi penghargaannya pada harkat manusia, dan yang mampu mengatur diri dan kegiatannya sendiri, adalah bangsa yang memilih dan biasanya memang mempertahankan demokrasi. Harus diakui bahwa bangsa banyak sekali hanyalah menjadi klaim segelintir politikus. Bung Karno pun dituduh memperlakukan bangsa seperti ini. Bangsa adalah yang diperatasnamakan untuk mengejar kepentingan-kepentingan sendiri. Begitulah maka Robert Dahl (1989) menyatakan, "Demokrasi Yunani sesungguhnya bukanlah demokrasi Yunani. Ia adalah demokrasi Athena, atau Korinthia ...." Meskipun demikian, Dahl agaknya lupa bahwa loncatan dari negara-kota ke negara-bangsa bukanlah sesuatu yang artifisial. Terlepas dari kenyataan bahwa lingkup pelaksana demokrasi selamanya memang lebih kecil daripada yang diklaim, suatu loncatan kuantum dari menyebarnya pelaksana itu benar-benar terjadi seiring dengan meluasnya lingkup kolektivitas politik. Sulit bagi kita untuk menyebut "demokrasi Amerika" lain dari "demokrasi Amerika" hanya karena beberapa cacatnya. Maka, perlu disadari bahwa eksklusivisme dalam pelaksanaan kebangsaan atau demokrasi tidaklah membatalkan daya inklusif demokrasi itu. Dalam kehidupan politik, tarik-menarik antara eksklusivisme dan inklusivisme adalah hal yang lumrah. Itulah sebabnya maka Renan dengan arif mengemukakan perumpamaan bahwa bangsa hidup dari "plebisit" yang berlangsung setiap hari. Saat kita mengikuti pertandingan tim nasional, mendengarkan pembacaan puisi, bertamasya bersama, menyimak buku-buku sejarah, membaca tulisan tentang pahlawan-pahlawan bangsa, muda maupun tua, yang kini tetap menetaskan baktinya, dan seterusnya, kita diam-diam mencari dan menghitung "suara-suara" yang membuat kita betah bernaung di bawah nama Indonesia. Menyadari bahwa "plebisit" sesungguhnya berlangsung tiap hari itulah maka pejuang demokrasi kapan saja harus mampu menunjukkan komitmennya pada paham kebangsaan kita yang lapang dan egaliter. Ini terutama sangat penting bagi bangsa-bangsa bekas jajahan. Bangsa kita lahir dari berbagai distorsi kolonial yang parah, dan belum semua proses serta dampak distorsi ini terlacak atau terkendalikan. Dengan tertanamnya struktur koloni, distorsi kolonial tak lagi terjadi hanya dari muslihat penjajah, tapi selanjutnya juga dari "penyerahan" si terjajah. Daya-daya distorsi dari zaman kolonial masih terus bekerja di tengah-tengah kita. Kumulasi distorsi itu menyulitkan langkah kita ke satu arah. Kita masih tetap bangsa dengan otosentrisitas yang lemah. Kemerdekaan politik kita selama ini tidaklah menghentikan proses serta dampak distorsi ekonomi dari zaman kolonial. Penghadapan bangsa kita kini dengan beberapa perkembangan transformatif di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan serta makin gencarnya pertandingan global pada ketiga bidang itu, tidak mustahil akan memperkuat kembali daya-daya distorsi itu. Akibatnya, kita bisa terjebak ke dalam perkembangan yang justru semakin menjauh dari cita-cita kita sebagai bangsa. Maka, perjuangan menegakkan demokrasi mestinya tertuju pada dua sasaran. Kita harus membenahi lembaga-lembaga demokrasi yang sudah ada, terutama menyangkut pemurnian prinsip perwakilan rakyat. Tapi tak kurang pentingnya, kita juga harus tetap menempa "solidaritas luhur" kita dari waktu ke waktu. Penempaan ini menuntut sejumlah bukti dan terjemahan baru. Misalnya, kelompok-kelompok yang dulu tak lebur di dalam pergerakan nasional kita, sekarang sudah harus kita terima sebagai bagian tak terpisahkan dari diri kita. Kita tak punya pilihan lain. Khusus untuk hal-hal yang belum diantisipasi oleh para pendiri republik kita, harus ditandaskan bahwa kesetiaan kita tidaklah tertuju kepada aksara, melainkan kepada cita-cita. Kita harus membuka diri bagi penajaman konsensus-konsensus awal kita menyangkut cita-cita bangsa demi meningkatkan dinamika serta mempertegas arah yang kita tuju. Praktek bahasa sudah ditakdirkan untuk selamanya berlabur. Tak terkecuali praktek bahasa dalam konsensus-konsensus awal itu. Di sana-sini laburnya harus diseka agar cita-cita yang dikandungnya tampak lebih jelas dan lebih jernih. Zaman berubah. Begitu pula mestinya cakrawala dan persiapan kita mengejar cita-cita. Menolak berubah umumnya berarti bunuh diri. Penempaan semangat kebangsaan bukanlah sesuatu yang sudah selesai dengan Bung Karno. Penempaan itu harus terus diperbarui. Begitu juga lingkup dan patokan-patokan nyata dari kolektivitas kita. Untuk demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini