Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Soalnya sih komersiil saja

Para penyanyi pop ramai berdangdut, dan penulis lirik pop banyak yang ikut arus memenuhi selera masyarakat. selera melayu yang dekat pada gambus dan qasidah dalam lagu dangdut lebih sulit dinyanyikan. (ms)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAIK akibat paksaan produser maupun diniati sendiri, banyak penyanyi pop Indonesia sekarang "diperkosa" dangdut. Suara ditarik sesuai dengan keadaan pasar dangdut. Ucok Harahap, orang paling brutal di atas panggung, sudah bikin "rock dangdut" (Duba Record). Achmad Albar yang pernah bercita-cita setia kepada rock murni, sedang sibuk menggarap dangdut, meskipun dengan embel-embel "dangdut warna lain". Jadi rupanya bukan produser yang paling berkuasa, tapi pasang surut pasar dan produser memang kaki tangan pasar -- yang mungkin turut dia ciptakan. Menurut Melky Goeslaw (31 tahun), 80% masyarakat musik kita dari dulu sebenarnya memang penggemar dangdut. "Bahkan kalangan atas juga -- cuma tidak terang-terangan, sebab lingkungan 'tidak memungkinkan'," ujarnya. Yok Koeswoyo, anggota Koes Plus yang juga sempat bikin dangdut (misalnya Cubit-cubitan), ikut mengakui bahwa yang jadi imamnya memang selera masyarakat ia menolak pendapat yang mengatakan selera masyarakat ditentukan produser. Titi Qadarsih (34 tahun) adalah salah seorang artis penyanyi yang "anti dangdut." Tapi sekarang sudah dua album dangdutnya yang bernama 'Gemes' (DD Record). Ia mengatakan dangdutnya bukan paksaan produser, tapi atas mau sendiri. "Bukan karena saya teiah menandatangani kontrak sehingga tak kuasa menentang kehendak produser. Meskipun dikontrak saya tetap memiliki kebebasan," ujarnya. Dangdut Qadarsih, ceritanya, bertolak dari rasa penasaran. Ia suatu malam keluyuran di Monas, Jakarta, untuk mendapat jawaban dari langit kenapa orang mabuk dangdut plus jogetnya. Akhirnya ia coba-coba menyanyi, tak mau ketinggalan dengan artis lain. Eh. "Ternyata menyanyikan dangdut lebih sulit ketimbang lagu rock," ucapnya. Segera disambung: "Namun setelah rekaman itu, ternyata saya jatuh cinta. Dangdut jenis muik yang kena bagi masyarakat. Sungguh-sungguh menghibur kelas bawah yang mayoritas. Dangdut nggak akan mati sampai kapan pun." Hebat. Selain menyanyi, Titi juga mengiringi dangdut Samsuar (D'Lloyd) dengan tarian, di TV. Ini menimbulkan cemooh orang yang merasa dangdut musik kelas kambing. Tapi lihatlah. Titi yang juga dikenal sebagai pragawati bahkan menemukan beberapa keanehan dalam acara pcragaan pakaian sekarang. "Jika musik pengiringnya lagu pop atau Barat, hadirin cuma termangu-mangu. Tapi setelah diganti dangdut, lho, mereka spontan merespons dan langsung bergoyang," tuturnya. Samsuar (32 tahun) membenarkan. Berkat bantuan trio Qadarsih, Nan dan Chitra, yang mengiringi dangdutnya dengan tarian disko di TV, kasetnya laris. Asal mula kelatahannya main dangdut, karena produser mulai sangsi merekam lagu pop. Ia sendiri sudah pernah mencoba "pop Melayu" tatkala dangdut pertama kalinya meledak di sekitar 1975 pada masa Oma Irama dan Elvy Sukaesih masih bersatu. Usahanya untuk mengikuti selera itu, baik dulu mau pun sekarang, ternyata sukses. Kepada M. Latief (penyanyi dangdut) Sam terpaksa bilang: "Gua masuk kampung lhu nih, Tief, assalammualikum." Sebagaimana juga Titi Qadarsih, Sam merasakan menyanyi dangdut sulit. "Saya sebenarnya tak bisa menyanyi seperti penyanyi dangdut menyanyi. Tapi kalau mau cari income dari musik, ya ikuti sajalah apa yang sedang laku," ujarnya. Ini ditunjang oleh Hetty Koes Endang, yang memiliki kontrak Musica Studio sampai 1980. Dari 16 rekaman yang dicanangkan, tiga di antaranya dangdut, atas permintaan produser. Berbeda dengan Sam, Hetty yang juga sering menyanyikan keroncong, merasa tidak menjumpai kesulitan dengan dangdut. Baginya menyanyi dangdut dan lagu pop sama saja, kecuali cengkokan dangdut lebih banyak. Tonny Koeswoyo (Koes Plus) tidak setuju dengan Hetty. Tonny, yang sejak lama berusaha untuk "mengawinkan dangdut dengan pop," merasa tetap tidak bisa lebih kena dibanding Elvy Sukaesih yang juga menyanyikan Cubi-cubitan. "Untuk penjiwaannya kami tidak semaksimal Elvy. Jadi tanggung dan setengah-setengah. Selera Melayu Elvy maksimal," ujarnya dengan jujur. Ia pun mengakui, kaset rekamannya kalah laris dengan kaset Oma Irama. Melky Goeslaw menyokong Tonny. Meskipun kontraknya lagu pop, ia meminta sendiri kepada produser untuk menyanyikan dangdut (Goyang-goyang Syarifah Gadis Malaysia, Kami Asyik Kamu Asyik). Tapi akhirnya ia mengakui, dangdut itu sulit. "Orang yang beragama Kristen seperti saya ini, pasti akan merasa sulit menyanyi dangdut," ujarnya. Selain dekat ke India, irama dangdut menurut Melky dekat pada ambus dan qasidah -- terutama pada lekukan suaranya. MENGENAI merajalelanya dangdut, selain karena kebolehan Oma dan Elvy, Melky menunjuk produser. "Produserlah sebenarnya yang menyebabkan semua itu. Produser tetap jadi pengatur, tetap berkuasa -- dengan uang di tangannya," ujarnya dengan geram. Tapi Yesy Wenas, penulis lagu yang ikut menentukan lagu apa yang layak dilemparkan Yukawi ke pasaran (ia supervisor di sana), menerangkan bahwa kalau dangdut terasa agak menonjol, itu "karena kwalitas lagu pop sekarang sudah menurun," ujarnya. Ia tak mau mengatakan bahwa produserlah yang mengemudikan selera. Ia bilang produser "berusaha mencegat titik yang akan dilewati selera masyarakat. "Menurut pengamatannya, tiap jenis selera hanya berusia 6 volume kaset -- sesudah itu berobah. Titiek Puspa tentu saja tidak setuju ledakan dangdut sekarang disebabkan mutu musik pop yang menurun. "Kalau sekarang ini para penyanyi pop menyanyikan dangdut, itu lebih banyak karena diminta produsernya," katanya. Ia sudah menulis lagu dangdut Aminah dan Hidupku Untuk Cinta. Tapi tak berminat mencoba dangdut dalam sebuah rekaman khusus, karena dangdut memerlukan penjiwaan yang berbeda dengan musik pop. Ia mengakui, dangdut memang lebih dekat dengan rakyat dari lagu pop. Kalau ada penyanyi pop menyanyikan dangdut, baginya normal -- ia justru menganggap sebagai kelebihan. "Karena, maaf saja kalau saya bilang, bahwa sebaliknya penyanyi dangdut lebih susah diterima kalau ia membawakan pop," ujarnya. Memang tidak semua penyanyi pop sudah menyerah pada dangdut. Chrisye misalnya, dari generasi muda pop yang memiliki masa depan, cukup menghargai dangdut. "Dangdut enak didengar. Dan dia memang lebih dulu jadi musik tuan rumah di sini," ujarnya. Sungguhpun demikian untuk mencobanya ia harus pikir-pikir. "Terutama karena saya nggak bisa," katanya. Franky Sahilatua (Franky & Jane) juga tidak berminat. Ia mengatakan akan setia kepada musik country. Juga Bob Tutupoly. "Biarlah dangdut bukan bagian saya. Biarkan penyanyi dangdut menikmati masa panennya sekarang, tidak usah kita recoki. Kita 'kan dulu juga pernah panen," kata Bob kalem Grace Simon, yang pernah bikin dangdut tahun 1973 (kurang berhasil), ikut menolak. "Kalau saya ke dangdut, pertama saya belum tentu berhasil. Kedua saya mengambil porsi orang lain." Tapi segera ditambahkan: "Yah kalau toh nanti saya merekam, akan pakai warna lain-bukan warna India, sebab suara saya suara lagu pop." Kelihatan, masalahnya sebenarnya hampir semata komersiil -- bagi penyanyi pop yang mau (atau lebih tepat: yang cocok untuk) berdangdut. Ini dibenarkan oleh tokoh jazz seperti Jack Lesmana, yang meskipun menyatakan tak berminat berdangdut, di tahun 60-an pernah pegang bas dalam satu rekaman dangdut Adikarso dan Munif. Malah belakangan ada memainkan beberapa "lagu" dangdut dalam irama jazz. "Itu tidak haram. Juga yang diperbuat para penyanyi pop itu, itu semata-mata komersiil," katanya. Bukan idealisme atau apa. MALAHAN para mahasiswa UI yang tergabung dalam PSP alias, Orkes Moral Pancaran Sinar Petromak' (nama ini memang gendeng), mulanya berdangdut hanya karena iseng. Sejak mereka muncul pada perayaan dwiwindu TVRI bersama Elvy dan lawakan Prambors, nama petromak alias stromking itu mulai melejit. Produser kaset lantas menawarkan rekaman, dan tawaran main melimpah -- sampai kuliah mereka terganggu. Lantas pasang harga. Baru mereka mempelajari dangdut lebih serius -- dan eh, bertambah senang. Memang ada yang kelihatan memiliki "idealisme" dalam perkembangan musik. Chrisye misalnya, menganggap perkembangan dangdut yang begitu galak bisa menghambat apresiasi masarakat terhadap 'musik serius'. "Kesempatan untuk tahu musik lain jadi lebih jauh," menurut pendapatnya. Atau oran semacam Guruh Soekarno, yang sebaliknya menyimpan gagasan muluk, begini "Saya ingin musik dangdut tumbuh seperti musik tango, samba, nerengge, bossanova, yang semula merupakan musik masyarakat kelas bawah di Brazil dan kemudian menjadi musik yang disukai kelas atas seantero dunia." Guruh sudah menghasilkan beberapa lagu dangdut dan punya rencana merekamnya. Ia sangat menyukai dangdut Ellya Khadam. Baik sajalah. Toh orang tidak selalu harus beridealisme. Dunia musik pop memang mau tak mau terganggu juga oleh maraknya dangdut ini -- banyak penulis lagu misalnya menderita kemunduran rizki -- walaupun syukur ada yang tetap bertahan. Namun para penyanyi pop yang jadi biduan dangdut itu agaknya akan menyetuju: sikap seperti yang diperlihatkan Samsuar dari D'Lloyd itu. Terhadap mereka yang bertahan, Samsuar bilang: "Yah kalau mereka bisa terus, saya anggap pribadinya hebat. Tapi jika satu ketika sikapnya berobah, menurut saya juga tak apa-apa. Bukan pribadinya luntur, melainkan dia sudah tahu keadaan." Dan keadaan memang sudah berobah. Dunia musik Indonesia tentu saja harus dan memang kelihatan akan tetap memiliki keberbagairagaman -- meskipun kedudukan mayoritas dan minoritas bisa bergeser. Tapi setidaknya dilihat dari perkembangan dangdut sendiri (yang oleh para pendekarnya tampak tetap lebih disukai untuk disebut 'melayu'), keadaan memang sudah berobah dari hanya beberapa tahun lalu. Waktu itu Oma Irama -- dengan sengit, namun toleran -- masih merasa perlu "menyadarkan orang" akan eksistensi dangdut di tengah jenis-jenis lain. Salah satu lagunya: Di mana-mana di atas dunia Banyak orang bermain musik Bermacam-macam warna jenis musik Dari yang pop sampai k(e)lasik Bagi pemusik yang anti-Melayu Boleh benci, jangan mengganggu Biarkan kami mendendangkan lagu Lagu kami lagu Melayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus