BAIK akibat paksaan produser maupun diniati sendiri, banyak
penyanyi pop Indonesia sekarang "diperkosa" dangdut. Suara
ditarik sesuai dengan keadaan pasar dangdut. Ucok Harahap, orang
paling brutal di atas panggung, sudah bikin "rock dangdut" (Duba
Record). Achmad Albar yang pernah bercita-cita setia kepada rock
murni, sedang sibuk menggarap dangdut, meskipun dengan
embel-embel "dangdut warna lain".
Jadi rupanya bukan produser yang paling berkuasa, tapi pasang
surut pasar dan produser memang kaki tangan pasar -- yang
mungkin turut dia ciptakan. Menurut Melky Goeslaw (31 tahun),
80% masyarakat musik kita dari dulu sebenarnya memang penggemar
dangdut. "Bahkan kalangan atas juga -- cuma tidak
terang-terangan, sebab lingkungan 'tidak memungkinkan',"
ujarnya.
Yok Koeswoyo, anggota Koes Plus yang juga sempat bikin dangdut
(misalnya Cubit-cubitan), ikut mengakui bahwa yang jadi imamnya
memang selera masyarakat ia menolak pendapat yang mengatakan
selera masyarakat ditentukan produser.
Titi Qadarsih (34 tahun) adalah salah seorang artis penyanyi
yang "anti dangdut." Tapi sekarang sudah dua album dangdutnya
yang bernama 'Gemes' (DD Record). Ia mengatakan dangdutnya bukan
paksaan produser, tapi atas mau sendiri. "Bukan karena saya
teiah menandatangani kontrak sehingga tak kuasa menentang
kehendak produser. Meskipun dikontrak saya tetap memiliki
kebebasan," ujarnya.
Dangdut Qadarsih, ceritanya, bertolak dari rasa penasaran. Ia
suatu malam keluyuran di Monas, Jakarta, untuk mendapat jawaban
dari langit kenapa orang mabuk dangdut plus jogetnya. Akhirnya
ia coba-coba menyanyi, tak mau ketinggalan dengan artis lain.
Eh. "Ternyata menyanyikan dangdut lebih sulit ketimbang lagu
rock," ucapnya. Segera disambung: "Namun setelah rekaman itu,
ternyata saya jatuh cinta. Dangdut jenis muik yang kena bagi
masyarakat. Sungguh-sungguh menghibur kelas bawah yang
mayoritas. Dangdut nggak akan mati sampai kapan pun." Hebat.
Selain menyanyi, Titi juga mengiringi dangdut Samsuar (D'Lloyd)
dengan tarian, di TV. Ini menimbulkan cemooh orang yang merasa
dangdut musik kelas kambing. Tapi lihatlah. Titi yang juga
dikenal sebagai pragawati bahkan menemukan beberapa keanehan
dalam acara pcragaan pakaian sekarang. "Jika musik pengiringnya
lagu pop atau Barat, hadirin cuma termangu-mangu. Tapi setelah
diganti dangdut, lho, mereka spontan merespons dan langsung
bergoyang," tuturnya.
Samsuar (32 tahun) membenarkan. Berkat bantuan trio Qadarsih,
Nan dan Chitra, yang mengiringi dangdutnya dengan tarian disko
di TV, kasetnya laris.
Asal mula kelatahannya main dangdut, karena produser mulai
sangsi merekam lagu pop. Ia sendiri sudah pernah mencoba "pop
Melayu" tatkala dangdut pertama kalinya meledak di sekitar 1975
pada masa Oma Irama dan Elvy Sukaesih masih bersatu. Usahanya
untuk mengikuti selera itu, baik dulu mau pun sekarang, ternyata
sukses. Kepada M. Latief (penyanyi dangdut) Sam terpaksa bilang:
"Gua masuk kampung lhu nih, Tief, assalammualikum."
Sebagaimana juga Titi Qadarsih, Sam merasakan menyanyi dangdut
sulit. "Saya sebenarnya tak bisa menyanyi seperti penyanyi
dangdut menyanyi. Tapi kalau mau cari income dari musik, ya
ikuti sajalah apa yang sedang laku," ujarnya. Ini ditunjang oleh
Hetty Koes Endang, yang memiliki kontrak Musica Studio sampai
1980. Dari 16 rekaman yang dicanangkan, tiga di antaranya
dangdut, atas permintaan produser.
Berbeda dengan Sam, Hetty yang juga sering menyanyikan
keroncong, merasa tidak menjumpai kesulitan dengan dangdut.
Baginya menyanyi dangdut dan lagu pop sama saja, kecuali
cengkokan dangdut lebih banyak.
Tonny Koeswoyo (Koes Plus) tidak setuju dengan Hetty. Tonny,
yang sejak lama berusaha untuk "mengawinkan dangdut dengan pop,"
merasa tetap tidak bisa lebih kena dibanding Elvy Sukaesih yang
juga menyanyikan Cubi-cubitan. "Untuk penjiwaannya kami tidak
semaksimal Elvy. Jadi tanggung dan setengah-setengah. Selera
Melayu Elvy maksimal," ujarnya dengan jujur. Ia pun mengakui,
kaset rekamannya kalah laris dengan kaset Oma Irama.
Melky Goeslaw menyokong Tonny. Meskipun kontraknya lagu pop, ia
meminta sendiri kepada produser untuk menyanyikan dangdut
(Goyang-goyang Syarifah Gadis Malaysia, Kami Asyik Kamu
Asyik). Tapi akhirnya ia mengakui, dangdut itu sulit. "Orang
yang beragama Kristen seperti saya ini, pasti akan merasa sulit
menyanyi dangdut," ujarnya. Selain dekat ke India, irama dangdut
menurut Melky dekat pada ambus dan qasidah -- terutama pada
lekukan suaranya.
MENGENAI merajalelanya dangdut, selain karena kebolehan Oma dan
Elvy, Melky menunjuk produser. "Produserlah sebenarnya yang
menyebabkan semua itu. Produser tetap jadi pengatur, tetap
berkuasa -- dengan uang di tangannya," ujarnya dengan geram.
Tapi Yesy Wenas, penulis lagu yang ikut menentukan lagu apa
yang layak dilemparkan Yukawi ke pasaran (ia supervisor di
sana), menerangkan bahwa kalau dangdut terasa agak menonjol, itu
"karena kwalitas lagu pop sekarang sudah menurun," ujarnya. Ia
tak mau mengatakan bahwa produserlah yang mengemudikan selera.
Ia bilang produser "berusaha mencegat titik yang akan dilewati
selera masyarakat. "Menurut pengamatannya, tiap jenis selera
hanya berusia 6 volume kaset -- sesudah itu berobah.
Titiek Puspa tentu saja tidak setuju ledakan dangdut sekarang
disebabkan mutu musik pop yang menurun. "Kalau sekarang ini
para penyanyi pop menyanyikan dangdut, itu lebih banyak karena
diminta produsernya," katanya.
Ia sudah menulis lagu dangdut Aminah dan Hidupku Untuk Cinta.
Tapi tak berminat mencoba dangdut dalam sebuah rekaman khusus,
karena dangdut memerlukan penjiwaan yang berbeda dengan musik
pop. Ia mengakui, dangdut memang lebih dekat dengan rakyat dari
lagu pop. Kalau ada penyanyi pop menyanyikan dangdut, baginya
normal -- ia justru menganggap sebagai kelebihan. "Karena, maaf
saja kalau saya bilang, bahwa sebaliknya penyanyi dangdut lebih
susah diterima kalau ia membawakan pop," ujarnya.
Memang tidak semua penyanyi pop sudah menyerah pada dangdut.
Chrisye misalnya, dari generasi muda pop yang memiliki masa
depan, cukup menghargai dangdut. "Dangdut enak didengar. Dan dia
memang lebih dulu jadi musik tuan rumah di sini," ujarnya.
Sungguhpun demikian untuk mencobanya ia harus pikir-pikir.
"Terutama karena saya nggak bisa," katanya.
Franky Sahilatua (Franky & Jane) juga tidak berminat. Ia
mengatakan akan setia kepada musik country. Juga Bob Tutupoly.
"Biarlah dangdut bukan bagian saya. Biarkan penyanyi dangdut
menikmati masa panennya sekarang, tidak usah kita recoki. Kita
'kan dulu juga pernah panen," kata Bob kalem Grace Simon, yang
pernah bikin dangdut tahun 1973 (kurang berhasil), ikut menolak.
"Kalau saya ke dangdut, pertama saya belum tentu berhasil. Kedua
saya mengambil porsi orang lain." Tapi segera ditambahkan: "Yah
kalau toh nanti saya merekam, akan pakai warna lain-bukan warna
India, sebab suara saya suara lagu pop."
Kelihatan, masalahnya sebenarnya hampir semata komersiil -- bagi
penyanyi pop yang mau (atau lebih tepat: yang cocok untuk)
berdangdut. Ini dibenarkan oleh tokoh jazz seperti Jack Lesmana,
yang meskipun menyatakan tak berminat berdangdut, di tahun 60-an
pernah pegang bas dalam satu rekaman dangdut Adikarso dan Munif.
Malah belakangan ada memainkan beberapa "lagu" dangdut dalam
irama jazz. "Itu tidak haram. Juga yang diperbuat para penyanyi
pop itu, itu semata-mata komersiil," katanya. Bukan idealisme
atau apa.
MALAHAN para mahasiswa UI yang tergabung dalam PSP alias,
Orkes Moral Pancaran Sinar Petromak' (nama ini memang gendeng),
mulanya berdangdut hanya karena iseng. Sejak mereka muncul pada
perayaan dwiwindu TVRI bersama Elvy dan lawakan Prambors, nama
petromak alias stromking itu mulai melejit. Produser kaset
lantas menawarkan rekaman, dan tawaran main melimpah -- sampai
kuliah mereka terganggu. Lantas pasang harga. Baru mereka
mempelajari dangdut lebih serius -- dan eh, bertambah senang.
Memang ada yang kelihatan memiliki "idealisme" dalam
perkembangan musik. Chrisye misalnya, menganggap perkembangan
dangdut yang begitu galak bisa menghambat apresiasi masarakat
terhadap 'musik serius'. "Kesempatan untuk tahu musik lain jadi
lebih jauh," menurut pendapatnya.
Atau oran semacam Guruh Soekarno, yang sebaliknya menyimpan
gagasan muluk, begini "Saya ingin musik dangdut tumbuh seperti
musik tango, samba, nerengge, bossanova, yang semula merupakan
musik masyarakat kelas bawah di Brazil dan kemudian menjadi
musik yang disukai kelas atas seantero dunia." Guruh sudah
menghasilkan beberapa lagu dangdut dan punya rencana merekamnya.
Ia sangat menyukai dangdut Ellya Khadam.
Baik sajalah. Toh orang tidak selalu harus beridealisme. Dunia
musik pop memang mau tak mau terganggu juga oleh maraknya
dangdut ini -- banyak penulis lagu misalnya menderita kemunduran
rizki -- walaupun syukur ada yang tetap bertahan. Namun para
penyanyi pop yang jadi biduan dangdut itu agaknya akan
menyetuju: sikap seperti yang diperlihatkan Samsuar dari D'Lloyd
itu. Terhadap mereka yang bertahan, Samsuar bilang: "Yah kalau
mereka bisa terus, saya anggap pribadinya hebat. Tapi jika satu
ketika sikapnya berobah, menurut saya juga tak apa-apa. Bukan
pribadinya luntur, melainkan dia sudah tahu keadaan."
Dan keadaan memang sudah berobah. Dunia musik Indonesia tentu
saja harus dan memang kelihatan akan tetap memiliki
keberbagairagaman -- meskipun kedudukan mayoritas dan minoritas
bisa bergeser. Tapi setidaknya dilihat dari perkembangan dangdut
sendiri (yang oleh para pendekarnya tampak tetap lebih disukai
untuk disebut 'melayu'), keadaan memang sudah berobah dari hanya
beberapa tahun lalu. Waktu itu Oma Irama -- dengan sengit, namun
toleran -- masih merasa perlu "menyadarkan orang" akan
eksistensi dangdut di tengah jenis-jenis lain. Salah satu
lagunya:
Di mana-mana di atas dunia
Banyak orang bermain musik
Bermacam-macam warna jenis musik
Dari yang pop sampai k(e)lasik
Bagi pemusik yang anti-Melayu
Boleh benci, jangan mengganggu
Biarkan kami mendendangkan lagu
Lagu kami lagu Melayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini