PEMERINTAH DKI Jakarta mengizinkan pangkalan (agen) menaikkan
harga minyak tanah dari Rp 22,50 menjadi Rp 25. Akibatnya
pengecer juga haus menaikkan harga eceran minyak. Lima belas
ribu penjual minyak tanah keliling di Jakarta ikut bungah
mendengar keputusan ini. "Ya, biarlah mereka naik sedikit, kan
sekaligus perataan pendapatan," kata Pangkopkamtib Sudomo.
Bagi Nimun (30 tahun), seorang pengecer minyak tanah di bilangan
kompleks Perumnas Depok Jaya, kenaikan itu justru mengurangi
untungnya. Sebelum ada pengumuman kenaikan BBM (Bahan Bakar
Minyak) ia mengambil minyak di pangkalan Depok Jaya dengan harga
Rp 23 per liter. Dengan modal sekian dahulu ia bisa mengambil
keuntungan Rp 7/liter. Tetapi setelah harga naik ia hanya
mendapat laba Rp 5. Karena baik sebelum maupun sesudah kenaikan
BBM ia hanya menjual minyaknya Rp 30/liter.
Nasib Tambah. Buruk?
"Takutnya saya, nanti ibu-ibu pada ribut kalau saya naik," kata
Nimun memberikan alasan, kenapa ia tidak menaikkan harga
minyaknya. Untuk mencapai keuntungan yang sama dengan jumlah
yang diterimanya sebelum kenaikan BBM, terpaksa Nimun menambah
jumlah dagangannya. Dulu ia bisa menjual 150 liter sehari,
berarti dapat menabung Rp 300. Tak peduli cuaca hujan atau
terang. Untuk melipatkannya, sekarang ternyata sulit.
Sebelum jadi tukang minyak, Nimun bekerja sebagai pencari pasir
di Cilincing Jakarta. Seorang rekannya kemudian menjeratnya
menjadi penjual minyak, karena pasir susah dicari akibat sering
banjir. Ia bekerja dengan sebuah gerobak dengan delapan buah
kaleng yang masing-masing berisi antara 18 s/d 20 liter. Tak
kurang dari 20 kilometer yang ditempuhnya setiap hari antara
pukul 06.00 sampai pukul 16.00.
Di samping pembeli harian, Nimun juga memiliki langganan yang
mengambil minyak sebulan sekali. Setelah 6 bulan kerja, ia
sempat mengumpulkan 50 langganan bulanan. Memang senang
menyerahkan minyak sekaligus dalam jumlah banyak. Tapi celakanya
kalau langganan itu mulai mungkir bayar. Biasanya sih bulan muda
pasti bayar. Kadangkala ada yang menunda dengan berbagai alasan.
Dalam hal ini Nimun harus berjiwa besar, sejauh pemilik minyak
di pangkalan masih bisa diajak berdamai.
Isteri Nimun masih tinggal di Bekasi. Jadi sebulan sekali ia
harus tengok bini. Ia harus menyisihkan biaya Rp 1.000 untuk
pulang. Ini sedikit menghambat tabungannya. Selain sebuah sepeda
penghidupannya sebagai penjual minyak keliling belum
menghasilkan apa-apa. Tapi ia bisa bertahan terus. Kendati pun
terpaksa mempertahankan harga, sementara pemerintah sendiri
sudah memberi komando kenaikan.
Asan, seorang penjual minyak juga asal Bekasi yang kini tinggal
di daerah Kuningan (Jakarta) mengeluh akan nasib tukang minyak
yang sekarang dirasanya lebih buruk. Ketika harga minyak masih
seringgit satu liter, ia merasa lebih enakan. Waktu itu belum
ada sistim langganan. Pembeli mau beli minyak dari siapa saja.
Timbulnya sistim langganan ini menurut Asan disebabkan tukang
minyak sekarang sudah mau diutangin. Akibatnya jumlah pembeli
menjadi terbatas.
Berbeda dengan Nimun, Asan menjual minyaknya pakai pikulan.
Jadi minyak yang dibawanya pun terbatas. Karena pembeli pada
ingin membeli dalam jumlah banyak, Asan jadi agak tersingkir.
Toh ia tidak sudi menukar pikulannya dengan gerobak, karena
beberapa hal. Pertama gerobak harus disewa Rp 50 per hari.
Gerobak juga tidak mungkin dibawa menusuk gang-gang yang sempit.
Di sinilah kemenangan Asan, sehingga setiap hari ia masih
sanggup menjual 7 sampai 8 kaleng masing-masing berisi 19 liter.
Penghasilan kotor yang diterimanya sehari sekitar Rp 780 dengan
catatan Rp 5 untung setiap liter yang terjual.
"Minyak tanah diumumkan berharga Rp 18, sehingga banyak ibu
rumah tangga menanyakan kenapa saya menjual Rp 30," kata Asan
mengeluh. Lantas diterangkannya bahwa harga Rp 18 itu di Tanjung
Priok. Dijual ke agen seharga Rp 20. Sampai ke tangan Asan sudah
berharga Rp 25. Jadi Asan menjualnya tak bisa kurang dari Rp 30.
Lebih dari itu tidak mungkin. "Apa saya ini disuruh tidak
makan?!" keluh Asan kepada ibu-ibu yang cerewet.
Disko
Dua minggu sekali Asan pulang ke Bekasi membawa uang Rp 5
ribu. "Kalau saya belum punya uang, saya tidak berani pulang,
karena saya akan dimarahi isteri saya," ujarnya terang-terangan.
Anaknya ada empat, yang tertua berusia 20 tahun, paling kecil
masih tujuh tahun. Duit Rp 5.000 untuk setengah bulan memang
tidak cukup. "Cukup nggak cukup, senang nggak senang saya harus
puas," ujarnya "kalau punya modal menjadi agen memang enak,
makin kaya terus nggak seperti kita, udah tambah hitam, kurus
dan capek." Ia mengangkat pikulannya yang berbobot sekitar 40
liter sambil berseru: "Nyaaak, nyaaak, minyak ! "
Tidak semua pengecer minyak menderita. Suwarno (21 tahun) yang
menjual minyak lampu di kawasan Pulo Gadung dapat disebut
sebagai contoh yang baik dari kelas ini. Ia mampu memasukkan
uang Rp 3 ribu per hari. Tidak termasuk bagian yang diberikannya
kepada dua orang anak buahnya. Pemuda asal Magetan (Jawa Timur)
ini memang mujur. Tiga tahun yang lalu ia meninggalkan kota
kelahirannya. Mula-mula menumpang di rumah rekannya di
Rawamangun. Sekarang ia sudah sanggup menontrak rumah sendiri
dengan harga Rp 80 ribu setahun.
Halangan mengecer minyak bagi Suwarno hanya manakala hari hujan.
Kemudian apabila diuber patroli polisi, karena ia berjualan di
pinggir jalan, tegasnya liar. "Kan jualan di pinggir jalan
dilarang," ujarnva. Tapi ia hadapi saja semua itu dengan tenang
dan bandel. Ia bisa mengatasi semua itu. Hanya sekarang ia
tampak kewalahan, gara-gara kenaikan harga.
Kalau dulu, sebelum matahari terjun ke barat, saat rembang
petang muncul, ia sudah mengantongi Rp 5.000. Sekarang mencapai
target Rp 3.000 saja susah. Melihat kemunduran ini Suwarno mulai
fikir-fikir "Bila keadaannya terus berlarut-larut, saya akan
beralih dari minyak lampu ke solar," ujarnya. Salah Seorang
sejawatnya ada yang jadi makmur hanya karena solar. "Mereka
mencampur minyak lampu dengan solar itu," kata Suwarno.
Halomoan Sibuea (35 tahun) pedagang bensin eceran asal Laguboti
(240 Km dari Medan) heran: "Saya heran, setelah bensin naik,
malah sering ada razia." Ia sendiri mengaku sudah dua kali kena
jerat Polri dengan Kamtib DKI. Tapi ia tidak kapok.
Karena rakyat kecil, akalnya justru banyak. Halomoan yang
mangkal di Jalan Kramat Raya ini bekerja 24 jam. Ia menunggu
beberapa kaleng bensin, tapi yng berisi hanya satu-dua kaleng.
Lainnya kosong, hanya pajangan," ujarnya blak-blakan. Setiap
dua puluh liter ia memperoleh keuntungan Rp 150. Sebelum harga
BBM naik ia sanggup menjual 120 liter setiap hari. Sekarang 100
liter saja sudah lumayan. "Yah paling enak waktu zaman
ramai-ramainya stimbat -- steam bath -- dan pungli," ujarnya.
Pada masa itu sehari sanggup dijual sampai 200 liter.
Ia tidak hanya membeli bensin di pompa. Orang-orang di pompa
juga suka nakal. Mereka maunya diberi Rp 100 baru bensin di
jual. Tak mau kasih pungli, bensin tak dikeluarkan. Jadi ia
terpaksa berusaha mencari bensin-bensin sedotan, yakni bensin
yang disedot oleh pemiliknya sendiri dari tangki mobil. "Bensin
itu bisa saja beli Rp 90 per liter," ujar Halomoan. Transaksi
ini umumnya melibatkan sopir-sopir pribadi. "Kalau dulu banyak
tentara atau truk besar yang menjual kepada saya. Jumlahnya
macam-macam, dari lima sampai tiga puluh liter," ujarnya. Tetapi
sekarang ini pasaran sepi. Paling banter hanya dapat 40 liter
bensin sedotan setiap hari.
Tahun lalu pemuda ini pulang kampung. Maksudnya untuk mencari
teman hidup. "Sial, setelah wanita tersebut tahu kerja saya jual
bensin, ia tidak mau. Sakit hati saya, dikira jual bensin
kerjaan orang jahat," keluh pemuda itu mengenangkan cintanya
yang tak terbalas. Padahal pemuda ini tidak kalah kerennya,
bahkan melebihi anak-anak muda lain. Kalau sudah mau senang, ia
segera mengenakan baju rapih, melepit Rp 5 ribu di kantong, lalu
langsung menuju ke "Pitstop" untuk ajojing. "Di situ kita bisa
dansa dengan nona-nona manis," ujarnya sambil tertawa.
Informan
Umar Yunus (40 tahun) penjual bensin campuran asal Solok
Sumatera Barat, merasa kenaikan: harga BBM tidak mempengaruhi
omzet penjualannya. Pada waktu ada pengumuman, ia juga lari ke
pom bensin, tapi sayang pom yang bersangkutan tak mau melayani.
Namun demikian berdagang bensin merupakan penghidupan yang
lumayan. Rata-rata tiap hari ia bisa menjual 80 liter. Akhir
bulan lalu bisa mencapai 120 liter. Ia telah berjualan sepuluh
tahun sementara tokonya hanya bermodal 2 jeriken plastik dan
kaleng-kaleng bekas gemuk. Ia sanggup menjaga kelangsungan hidup
keluarganya yang terdiri dari satu isteri serta 4 anak.
Umar beroperasi di Jalan Latuharhary. Setiap hari paling sedikit
keuntungannya Rp 1.5000. Ia juga melayani sopir-sopir yang minta
tangkinya disedot. Tanpa ragu-ragu ia langsung saja memasukkan
slang karet, cup-cup-cup -- lantas bensin mengalir dari perut
mobil dengan harga miring Umar tak pernah curiga, juga tidak
peduli itu mobil kantor atau mobil pribadi. Ia hanya
berhati-hati kalau menghadapi orang jual bensin pakai jeriken.
Ini harus ditest dulu, jangan-jangan sudah dicampur. "Celupkan
saja jari tangan, kalau bensinnya tak mau kering itu tandanya
telah dicampur dengan minyak tanah atau solar," ujarnya.
Umar tak takut harga minyak dinaikkan. Langganannya tak pernah
berkurang. Seakan-akan lalu lintas tak pernah surut meskipun
ongkos jadi bertambah mahal. Satu-satunya yang masih menyusahkan
dia sebagai pedagang minyak adalah razia petugas Kamtib DKI. Dia
pedagang liar. "Saya pernah tertangkap, didenda di DKI Rp 5
ribu," ujarnya. Tapi itu soal kecil. Hubungannya dengan
sopir-sopir bajaj baik, sehingga kalau ada razia, belum
kelihatan monong operasi, ia sudah kabur, karena sopir-sopir
itu langsung menjadi informannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini