Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Yang dipikul & disedot

Harga naik, omzet tetap. paling enak zaman stimbat dan pungli. sopir-sopir minta bensin disedot. cinta ditolak karena jual minyak. langsung ke pitstop, ajojing. nyaaak, minyaaaak.

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH DKI Jakarta mengizinkan pangkalan (agen) menaikkan harga minyak tanah dari Rp 22,50 menjadi Rp 25. Akibatnya pengecer juga haus menaikkan harga eceran minyak. Lima belas ribu penjual minyak tanah keliling di Jakarta ikut bungah mendengar keputusan ini. "Ya, biarlah mereka naik sedikit, kan sekaligus perataan pendapatan," kata Pangkopkamtib Sudomo. Bagi Nimun (30 tahun), seorang pengecer minyak tanah di bilangan kompleks Perumnas Depok Jaya, kenaikan itu justru mengurangi untungnya. Sebelum ada pengumuman kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) ia mengambil minyak di pangkalan Depok Jaya dengan harga Rp 23 per liter. Dengan modal sekian dahulu ia bisa mengambil keuntungan Rp 7/liter. Tetapi setelah harga naik ia hanya mendapat laba Rp 5. Karena baik sebelum maupun sesudah kenaikan BBM ia hanya menjual minyaknya Rp 30/liter. Nasib Tambah. Buruk? "Takutnya saya, nanti ibu-ibu pada ribut kalau saya naik," kata Nimun memberikan alasan, kenapa ia tidak menaikkan harga minyaknya. Untuk mencapai keuntungan yang sama dengan jumlah yang diterimanya sebelum kenaikan BBM, terpaksa Nimun menambah jumlah dagangannya. Dulu ia bisa menjual 150 liter sehari, berarti dapat menabung Rp 300. Tak peduli cuaca hujan atau terang. Untuk melipatkannya, sekarang ternyata sulit. Sebelum jadi tukang minyak, Nimun bekerja sebagai pencari pasir di Cilincing Jakarta. Seorang rekannya kemudian menjeratnya menjadi penjual minyak, karena pasir susah dicari akibat sering banjir. Ia bekerja dengan sebuah gerobak dengan delapan buah kaleng yang masing-masing berisi antara 18 s/d 20 liter. Tak kurang dari 20 kilometer yang ditempuhnya setiap hari antara pukul 06.00 sampai pukul 16.00. Di samping pembeli harian, Nimun juga memiliki langganan yang mengambil minyak sebulan sekali. Setelah 6 bulan kerja, ia sempat mengumpulkan 50 langganan bulanan. Memang senang menyerahkan minyak sekaligus dalam jumlah banyak. Tapi celakanya kalau langganan itu mulai mungkir bayar. Biasanya sih bulan muda pasti bayar. Kadangkala ada yang menunda dengan berbagai alasan. Dalam hal ini Nimun harus berjiwa besar, sejauh pemilik minyak di pangkalan masih bisa diajak berdamai. Isteri Nimun masih tinggal di Bekasi. Jadi sebulan sekali ia harus tengok bini. Ia harus menyisihkan biaya Rp 1.000 untuk pulang. Ini sedikit menghambat tabungannya. Selain sebuah sepeda penghidupannya sebagai penjual minyak keliling belum menghasilkan apa-apa. Tapi ia bisa bertahan terus. Kendati pun terpaksa mempertahankan harga, sementara pemerintah sendiri sudah memberi komando kenaikan. Asan, seorang penjual minyak juga asal Bekasi yang kini tinggal di daerah Kuningan (Jakarta) mengeluh akan nasib tukang minyak yang sekarang dirasanya lebih buruk. Ketika harga minyak masih seringgit satu liter, ia merasa lebih enakan. Waktu itu belum ada sistim langganan. Pembeli mau beli minyak dari siapa saja. Timbulnya sistim langganan ini menurut Asan disebabkan tukang minyak sekarang sudah mau diutangin. Akibatnya jumlah pembeli menjadi terbatas. Berbeda dengan Nimun, Asan menjual minyaknya pakai pikulan. Jadi minyak yang dibawanya pun terbatas. Karena pembeli pada ingin membeli dalam jumlah banyak, Asan jadi agak tersingkir. Toh ia tidak sudi menukar pikulannya dengan gerobak, karena beberapa hal. Pertama gerobak harus disewa Rp 50 per hari. Gerobak juga tidak mungkin dibawa menusuk gang-gang yang sempit. Di sinilah kemenangan Asan, sehingga setiap hari ia masih sanggup menjual 7 sampai 8 kaleng masing-masing berisi 19 liter. Penghasilan kotor yang diterimanya sehari sekitar Rp 780 dengan catatan Rp 5 untung setiap liter yang terjual. "Minyak tanah diumumkan berharga Rp 18, sehingga banyak ibu rumah tangga menanyakan kenapa saya menjual Rp 30," kata Asan mengeluh. Lantas diterangkannya bahwa harga Rp 18 itu di Tanjung Priok. Dijual ke agen seharga Rp 20. Sampai ke tangan Asan sudah berharga Rp 25. Jadi Asan menjualnya tak bisa kurang dari Rp 30. Lebih dari itu tidak mungkin. "Apa saya ini disuruh tidak makan?!" keluh Asan kepada ibu-ibu yang cerewet. Disko Dua minggu sekali Asan pulang ke Bekasi membawa uang Rp 5 ribu. "Kalau saya belum punya uang, saya tidak berani pulang, karena saya akan dimarahi isteri saya," ujarnya terang-terangan. Anaknya ada empat, yang tertua berusia 20 tahun, paling kecil masih tujuh tahun. Duit Rp 5.000 untuk setengah bulan memang tidak cukup. "Cukup nggak cukup, senang nggak senang saya harus puas," ujarnya "kalau punya modal menjadi agen memang enak, makin kaya terus nggak seperti kita, udah tambah hitam, kurus dan capek." Ia mengangkat pikulannya yang berbobot sekitar 40 liter sambil berseru: "Nyaaak, nyaaak, minyak ! " Tidak semua pengecer minyak menderita. Suwarno (21 tahun) yang menjual minyak lampu di kawasan Pulo Gadung dapat disebut sebagai contoh yang baik dari kelas ini. Ia mampu memasukkan uang Rp 3 ribu per hari. Tidak termasuk bagian yang diberikannya kepada dua orang anak buahnya. Pemuda asal Magetan (Jawa Timur) ini memang mujur. Tiga tahun yang lalu ia meninggalkan kota kelahirannya. Mula-mula menumpang di rumah rekannya di Rawamangun. Sekarang ia sudah sanggup menontrak rumah sendiri dengan harga Rp 80 ribu setahun. Halangan mengecer minyak bagi Suwarno hanya manakala hari hujan. Kemudian apabila diuber patroli polisi, karena ia berjualan di pinggir jalan, tegasnya liar. "Kan jualan di pinggir jalan dilarang," ujarnva. Tapi ia hadapi saja semua itu dengan tenang dan bandel. Ia bisa mengatasi semua itu. Hanya sekarang ia tampak kewalahan, gara-gara kenaikan harga. Kalau dulu, sebelum matahari terjun ke barat, saat rembang petang muncul, ia sudah mengantongi Rp 5.000. Sekarang mencapai target Rp 3.000 saja susah. Melihat kemunduran ini Suwarno mulai fikir-fikir "Bila keadaannya terus berlarut-larut, saya akan beralih dari minyak lampu ke solar," ujarnya. Salah Seorang sejawatnya ada yang jadi makmur hanya karena solar. "Mereka mencampur minyak lampu dengan solar itu," kata Suwarno. Halomoan Sibuea (35 tahun) pedagang bensin eceran asal Laguboti (240 Km dari Medan) heran: "Saya heran, setelah bensin naik, malah sering ada razia." Ia sendiri mengaku sudah dua kali kena jerat Polri dengan Kamtib DKI. Tapi ia tidak kapok. Karena rakyat kecil, akalnya justru banyak. Halomoan yang mangkal di Jalan Kramat Raya ini bekerja 24 jam. Ia menunggu beberapa kaleng bensin, tapi yng berisi hanya satu-dua kaleng. Lainnya kosong, hanya pajangan," ujarnya blak-blakan. Setiap dua puluh liter ia memperoleh keuntungan Rp 150. Sebelum harga BBM naik ia sanggup menjual 120 liter setiap hari. Sekarang 100 liter saja sudah lumayan. "Yah paling enak waktu zaman ramai-ramainya stimbat -- steam bath -- dan pungli," ujarnya. Pada masa itu sehari sanggup dijual sampai 200 liter. Ia tidak hanya membeli bensin di pompa. Orang-orang di pompa juga suka nakal. Mereka maunya diberi Rp 100 baru bensin di jual. Tak mau kasih pungli, bensin tak dikeluarkan. Jadi ia terpaksa berusaha mencari bensin-bensin sedotan, yakni bensin yang disedot oleh pemiliknya sendiri dari tangki mobil. "Bensin itu bisa saja beli Rp 90 per liter," ujar Halomoan. Transaksi ini umumnya melibatkan sopir-sopir pribadi. "Kalau dulu banyak tentara atau truk besar yang menjual kepada saya. Jumlahnya macam-macam, dari lima sampai tiga puluh liter," ujarnya. Tetapi sekarang ini pasaran sepi. Paling banter hanya dapat 40 liter bensin sedotan setiap hari. Tahun lalu pemuda ini pulang kampung. Maksudnya untuk mencari teman hidup. "Sial, setelah wanita tersebut tahu kerja saya jual bensin, ia tidak mau. Sakit hati saya, dikira jual bensin kerjaan orang jahat," keluh pemuda itu mengenangkan cintanya yang tak terbalas. Padahal pemuda ini tidak kalah kerennya, bahkan melebihi anak-anak muda lain. Kalau sudah mau senang, ia segera mengenakan baju rapih, melepit Rp 5 ribu di kantong, lalu langsung menuju ke "Pitstop" untuk ajojing. "Di situ kita bisa dansa dengan nona-nona manis," ujarnya sambil tertawa. Informan Umar Yunus (40 tahun) penjual bensin campuran asal Solok Sumatera Barat, merasa kenaikan: harga BBM tidak mempengaruhi omzet penjualannya. Pada waktu ada pengumuman, ia juga lari ke pom bensin, tapi sayang pom yang bersangkutan tak mau melayani. Namun demikian berdagang bensin merupakan penghidupan yang lumayan. Rata-rata tiap hari ia bisa menjual 80 liter. Akhir bulan lalu bisa mencapai 120 liter. Ia telah berjualan sepuluh tahun sementara tokonya hanya bermodal 2 jeriken plastik dan kaleng-kaleng bekas gemuk. Ia sanggup menjaga kelangsungan hidup keluarganya yang terdiri dari satu isteri serta 4 anak. Umar beroperasi di Jalan Latuharhary. Setiap hari paling sedikit keuntungannya Rp 1.5000. Ia juga melayani sopir-sopir yang minta tangkinya disedot. Tanpa ragu-ragu ia langsung saja memasukkan slang karet, cup-cup-cup -- lantas bensin mengalir dari perut mobil dengan harga miring Umar tak pernah curiga, juga tidak peduli itu mobil kantor atau mobil pribadi. Ia hanya berhati-hati kalau menghadapi orang jual bensin pakai jeriken. Ini harus ditest dulu, jangan-jangan sudah dicampur. "Celupkan saja jari tangan, kalau bensinnya tak mau kering itu tandanya telah dicampur dengan minyak tanah atau solar," ujarnya. Umar tak takut harga minyak dinaikkan. Langganannya tak pernah berkurang. Seakan-akan lalu lintas tak pernah surut meskipun ongkos jadi bertambah mahal. Satu-satunya yang masih menyusahkan dia sebagai pedagang minyak adalah razia petugas Kamtib DKI. Dia pedagang liar. "Saya pernah tertangkap, didenda di DKI Rp 5 ribu," ujarnya. Tapi itu soal kecil. Hubungannya dengan sopir-sopir bajaj baik, sehingga kalau ada razia, belum kelihatan monong operasi, ia sudah kabur, karena sopir-sopir itu langsung menjadi informannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus