Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Digempur udara dingin yang menusuk tulang, sutradara Riri Riza menyandarkan tubuhnya yang lelah ke tiang jemuran. Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu pagi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kru film Gie sudah berberes-beres setelah beberapa malam merekam gambar di Dusun Tempel itu. Ini malam terakhir. Bersama Mira Lesmana selaku produser, Riri akan memasuki fase sulit berikutnya: pasca-produksi.
Berikut ini petikan wawancara wartawan Tempo Heru Cahyono, yang mengikuti proses syuting Gie, dengan sutradara Riri Riza.
Mengapa Anda tertarik mengangkat kisah Soe Hok Gie?
Banyak kisah menarik tentang orang yang terlibat dalam sejarah negeri ini yang tidak semuanya ada dalam pelajaran sejarah yang resmi. Karena saya masih muda, cerita Soe Hok Gie untuk saya menarik karena ada anak muda yang ikut terlibat pada suatu masa yang penting di Indonesia dan jarang dibicarakan orang. Masa tahun 1965, 1966, 1967 itu banyak sekali yang masih tertutup, terkubur. Jadi, kami berusaha melihatnya dari tafsir yang berbeda tentang suatu masa dalam kehidupan Soe Hok Gie.
Berapa lama riset yang dibutuhkan sebelum memutuskan mengangkat kisah Soe Hok Gie ini ke dalam film?
Sebenarnya ide datang dari Mira (Lesmana). Dia sudah membaca Catatan Harian Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie saat dia masih remaja dan sangat terinspirasi oleh kisah itu. Jadi, bisa dikatakan idenya sudah datang 10-15 tahun yang lalu. Tapi kami mulai serius membicarakannya sekitar dua setengah tahun silam. Riset mulai berjalan sekitar Maret 2002.
Apa saja riset yang telah dilakukan?
Kami mencari dulu sudut kisah film ini. Angle-nya biasanya lebih baik ditentukan sebelum kita memulai riset. Setelah itu, baru kami bisa mengambil persoalan Gie yang ingin kami sorot. Tentu saja buku Catatan Harian Seorang Demonstran dijadikan sudut yang kami pakai untuk menyempitkan ruang film ini, agar kanvasnya tidak terlalu luas. Setelah itu, kami mulai menggali catatan harian itu sambil mewawancarai banyak orang, teman-temannya dan para aktivis, di antaranya biografernya Profesor John Maxwell dari Australian National University di Canberra, Goenawan Mohamad, Marsillam Simandjuntak, Aristides Katoppo, Boely Londha, Benny Hoed, Herman Lantang, dan Rudy Badil. Dari pihak keluarga, kami mewawancarai semua kakak-adiknya.
Bagaimana cara Anda mempersempit kanvas tadi?
Sebenarnya apa yang membentuk Soe Hok Gie, kemudian konsekuensi menjadi Gie. Angle semacam ini akan gampang dicerna oleh banyak penonton. Saya tidak membuat film ini eksklusif hanya untuk orang yang mengenal Soe Hok Gie. Saya juga tak ingin ini eksklusif hanya pada mereka yang punya ketertarikan pada sejarah dan politik, karena rugi-rugi amat. Saya ingin film ini ditonton oleh orang seperti saya: anak muda biasa saja. Lima tahun yang lalu, saya tidak terlalu tertarik pada politik dan tak tertarik pada sejarah kontemporer Indonesia pasca-revolusi. Tapi, begitu saya membaca buku Gie, saya merasa kisah ini luar biasa. Ternyata banyak sekali cerita yang menarik, unik, karena belum dibuka, yang tidak banyak diketahui.
Apa saja hal baru dalam film ini tentang Soe Hok Gie?
Misalnya bagaimana pada masa itu Partai Komunis pernah menjadi sangat kuat di Indonesia. Ia menjadi partai dengan massa yang terbesar hanya dalam waktu beberapa bulan. Yang tidak banyak dibicarakan adalah pasca-kejadian G30S, apa yang kemudian terjadi, berapa ratus ribu orang yang dibunuh. Film ini mencoba melihatnya dalam perspektif yang lebih sempit, yaitu dari orang per orang. Dalam catatan harian Gie, dia menyatakan punya ketertarikan yang sangat besar terhadap filsafat komunisme.
Mengapa peran Soe Hok Gie dipercayakan kepada Nicholas, yang tengah digandrungi remaja?
Casting tokoh Gie sudah melalui proses yang sangat panjang. Saya mencari (pemeran) Hok Gie itu dari bulan Juli 2003. Casting begitu banyak. Saya bikin open casting, mencari talent dari mana pun, pakai poster. Memang ada tuntutan wajah dan karakteristik. Dalam setiap saringan, Nicho ikut tersaring di dalamnya. Dan akhirnya dia yang paling baik dari semua. Kami memutuskan Nicho pada Desember 2003. Jadi, ada lima-enam bulan proses mencari.
Apa kelebihan Nicho di mata Anda?
Dia punya tafsir. Dan saya yakin dia punya kegelisahan yang kurang-lebih sama (dengan Gie—Red.). Dia juga mahasiswa muda yang hidup di tengah-tengah perubahan politik. Jauh sebelum ini, sewaktu kami menggarap Ada Apa dengan Cinta?, dia sudah mulai tertarik pada filsafat. Dan Mira sudah memberi dia buku Catatan Harian Seorang Demonstran.
Hok Gie adalah seorang intelektual, seorang pemberontak, tapi meninggal secara tragis. Apakah hal ini juga tergambar dalam film nanti?
Bukannya meninggalnya romantis? Ha-ha-ha…. Dia melihat begitu banyak tragedi dalam kehidupan dan sejarah. Dia pernah mengutip ungkapan seseorang yang mengatakan "paling beruntung adalah tidak pernah dilahirkan; yang lumayan beruntung adalah mati muda; yang paling sial adalah hidup sampai tua dan menderita." Jadi, buat dia, mungkin mati muda adalah impian dia.
Anda dan Mira Lesmana memilih judul "Gie", bukan "Soe Hok Gie". Kenapa?
Judul "Soe Hok Gie" akan terlalu panjang dan terlalu menjelas-jelaskan. Dan "Gie" memang panggilan kecil dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo