Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Urusan Ranjang Tak Lagi Soal Pribadi

DPR mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menjadi undang-undang. Urusan ranjang bisa menjadi urusan publik.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para suami yang bengis, gemar menyakiti istri, termasuk suka main paksa dalam urusan ranjang, berhati-hatilah. Kini istri yang merasa teraniaya bisa melaporkan suaminya ke polisi. Dan barang bukti pelengkap laporan sama sekali tidak rumit. Cukup diri sendiri sebagai saksi korban, plus satu bukti lain, misalnya bekas tamparan. Dengan bukti sederhana itulah kini hakim bisa mengirim sang suami ke dalam penjara. Ancaman maksimum soal ini tidak main-main: penjara 12 tahun atau membayar denda Rp 36 juta.

Itulah sebagian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) yang sudah disahkan DPR pada Selasa, 14 September lalu. Hari itu, puluhan aktivis perempuan yang sejak pagi menunggu di ruang Sidang Paripurna DPR menyambut pengesahan UU KDRT dengan tepuk tangan. "Inilah buah perjuangan aktivis perempuan Indonesia sejak bertahun-tahun lalu," kata Ratna Batara Munti, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Apik (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan)

Bertahun-tahun memang bukan kosakata yang berlebihan. Para aktivis perempuan sudah memperjuangkan undang-undang ini sejak 1997. Ketika itu, melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Perempuan, mereka bertekad membidani lahirnya undang-undang yang melindungi kaumnya dari kekerasan laki-laki. Belakangan, sejumlah LSM yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Jangka PKTP) membuat draf RUU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah yang kemudian diusulkan ke DPR.

Para aktivis perempuan sadar, jika mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sulit menyeret pelaku kekerasan dalam rumah tangga ke meja hijau. KUHP, misalnya, tak mengenal istilah marital rape. Ini adalah istilah untuk menggambarkan pemaksaan hubungan seks oleh pasangannya. Demikian pula tak dikenal konsep kekerasan ekonomi, yaitu menelantarkan rumah tangga atau anak. Lubang-lubang di KUHP itulah yang diharapkan bisa ditutup melalui Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Undang-undang baru ini terdiri dari 10 bab dan 56 pasal. Dalam pasal 49, misalnya, diatur bahwa orang tua yang menelantarkan anaknya bisa dipenjara tiga tahun atau denda Rp 15 juta. "Mayoritas, persoalan yang diperjuangkan perempuan sudah tertampung dalam undang-undang ini," kata Kamala Chandra Kirana, Ketua Komisi Nasional Perempuan.

Pembahasan undang-undang ini terbilang alot. Sejak pembahasan dimulai setahun silam, lebih dari 50 LSM perempuan dengan ketat memantau sidang-sidang yang dilakukan panitia khusus RUU ini. Dengan setia mereka mencermati, adakah tanda-tanda bahwa pasal tertentu bakal dipelintir atau diubah. Jika ada, mereka tak segan-segan memprotes atau mempertanyakannya. "Kami banyak mendapat masukan dari mereka," kata ketua panitia khusus RUU ini, Piping Sumantri.

Dalam soal memberikan perlindungan, undang-undang baru ini tergolong komprehensif. Di dalamnya, yang diatur bukan hanya tindakan kekerasan yang bersifat fisik, seksual, atau ekonomi, tapi juga soal kekerasan psikis. Jadi, seandainya seorang istri merasa mengalami ketakutan, tidak berdaya, atau kehilangan kepercayaan diri karena tekanan sang suami, mereka bisa mengadu ke polisi. "Undang-undang ini merupakan terobosan penting karena akan mengubah pandangan masyarakat terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga," kata

Menteri Pemberdayaan Perempuan, Sri Redjeki Sumaryoto.

Menurut Sri, selama ini masyarakat menganggap urusan rumah tangga sebagai masalah pribadi, masalah yang tak boleh dicampuri pihak luar. Kini batas-batas pribadi itu luruh. Dengan undang-undang baru ini, semua urusan kekerasan di dalam rumah tangga bisa masuk ke wilayah publik. "Karena itu, perlu hati-hati menangani korban ataupun pelakunya, karena mereka ini kan satu anggota keluarga juga," ujar Sri.

Karena sebagian pasal dalam undangundang ini berupa delik umum, siapa pun bisa mengadukan kekerasan dalam rumah tangga yang mereka lihat. Jadi, andai ada tetangga melihat seorang bapak atau ibu menggampar anaknya, pembantu, atau anggota keluarga di rumah itu, dia bisa saja membuat pengaduan ke polisi.

Khusus untuk kekerasan seksual antara suami dan istri, undang-undang ini menetapkannya sebagai delik aduan. Artinya, hanya bisa diproses hukum bila ada pengaduan korban. Menurut undang-undang ini, yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah hubungan seksual yang dipaksakan, tidak disukai, atau dengan cara yang tidak wajar.

Dalam penilaian Mutia, pengurus Rifka Annisa Women's Crisis Center (RAWCC) Yogyakarta, kekerasan suami terhadap istri memang ibarat fenomena gunung es. Di permukaan, kekerasan itu sulit dilihat. Tapi di bawah puncak gunung es itu, tersembunyi fenomena kekerasan yang sangat jamak terjadi dan tak terungkap karena keengganan korban untuk mempersoalkannya. "Fakta-fakta itu biasanya baru terungkap dari perempuan yang berkonsultasi atau mengurus perceraian," katanya.

Mutia kemudian menyodorkan sejumlah data. Sampai September ini, misalnya, RAWCC menerima 262 pengaduan dari istri yang mengalami kekerasan oleh suami. Inilah jenis pengaduan terbesar, disusul pengaduan perempuan yang dianiaya oleh pacarnya (74 kasus), pemerkosaan (38 kasus), pelecehan seksual (18 kasus), dan kekerasan dalam keluarga (15 kasus).

Setelah ditandatangani Presiden, UU KDRT akan segera diberlakukan. Namun ada juga kecemasan bahwa justru dengan lahirnya undang-undang ini, akan mun-cul "efek samping", yaitu potensi terpecah-belahnya keluarga. "Karena itu, jika nanti banyak kritik terhadap undang-undang ini, DPR harus siap meninjau kembali," kata Nurdiati Akmal, anggota DPR dari Fraksi Reformasi.

L.R. Baskoro, Istiqomatul Hayati, Idayanie (Yogyakarta)


Dari Pisang hingga Tulang Patah

Kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak tersimpan rapat di balik pintu atau dalam linangan air mata. Kedukaan ini yang dialami Sinta,
bukan nama sebenarnya. Lebih dari lima tahun membina rumah tangga, warga Yogyakarta ini tak habis-habisnya mengalami penyiksaan oleh suaminya. Bukan sekadar ringan tangan, sang suami kerap memperlakukan Sinta dengan tindakan tidak wajar saat berhubungan intim. "Aneh-aneh, kadang-kadang dipaksa memakai wortel, pisang, dan sebagainya," kata Sinta.

Sinta sama sekali tak berani menolak permintaan suaminya, karena penolakan berarti pemukulan. "Saya terpaksa meluluskannya walau hati saya berontak," kata dia. Tapi Sinta akhirnya toh tak tahan juga. Ia memilih melawan dengan mengadukan suaminya ke Rifka Annisa Women's Crisis Center. Kini lembaga yang banyak membantu perempuan teraniaya itu mulai menangani kasus Sinta.

Menurut Mutia dari Rifka Annisa, kasus seperti yang dialami Sinta sangat sering terjadi. "Banyak sekali jenis kekerasan terhadap istri. Setiap tahun, kasus yang kami tangani bertambah," ujarnya. Ia mencatat, hingga September ini ada sekitar 260 kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri. Jangan lupa, itu adalah kasus yang tercatat alias yang diadukan oleh sang istri.

Nasib seperti Sinta dialami pula oleh Ismawati Gunawan, seorang guru SMP negeri di Jakarta. Selama 22 tahun, perempuan berusia 52 tahun itu tak habis-habisnya dipukuli suaminya. Akibatnya, tulang bahunya patah dan kini cacat berbentuk benjolan.

Tahun lalu, suaminya menikah lagi dan sejak itu tak lagi peduli pada Ismawati dan empat anaknya. Suatu ketika, salah satu anaknya menelepon sang ayah untuk minta uang kuliah. Tapi yang dia dapatkan hanya bentakan, bukannya uang. "Saya berharap Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini bisa mengerem para suami agar tidak berbuat seenaknya kepada istri atau anaknya," kata Ismawati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus