Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lereng Merapi menjadi sebuah buku sejarah berdebu yang di buka perlahan. Produser Mira Lesmana adalah peniup debu itu, dan sutradara Riri Riza membuka halaman demi halaman untuk warga Indonesia yang sudah lama buta sejarah.
Syahdan, seorang aktivis terkemuka di masanya bernama Soe Hok Gie mati muda. Siapakah dia? Segelintir anak muda mengenal nama ini dari buku Catatan Harian Seorang Demonstran yang kini sudah susah ditemukan di toko-toko buku. Anak-anak muda penonton MTV jika ditanya tentang Soe Hok Gie akan memencet-mencet tombol telepon selulernya sembari bertanya balik, "Soe who?" Sementara para generasi Soe Hok Gie yang bertahan hidup kini sudah memiliki prioritas lain yang lebih penting: mengurus deposito, tidur dengan kekasih gelap, atau menipu orang.
Itulah sebabnya, keinginan Mira Lesmana dan Riri Riza untuk mengangkat kehidupan seorang aktivis legendaris yang begitu murni, begitu bersih dan lurus dan mati muda seperti Soe Hok Gie menjadi penting. Nun di Dusun Tempel, Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu silam mendadak sibuk. Dusun di lereng barat daya Merapi yang biasanya hening itu kini penuh dengan hansip yang sibuk mencarikan tempat untuk mobil-mobil agar bisa berderet rapi di jalanan dusun yang sempit itu. Sejumlah lampu ukuran besar juga tampak terpasang di dekat rumah Kepala Dusun Tempel Hadi Sujogo.
Dusun Tempel yang pada hari-hari biasa dikurung gelap kini bermandikan cahaya. Di sela-sela suara jangkrik dan lenguhan sapi, ada kamera besar, kabel malang-melintang, lampu-lampu, dan beberapa kru film Miles Production yang tengah menyelesaikan shooting adegan film Gie. Ide mengangkat kehidupan Soe Hok Gie berdasarkan buku Catatan Harian Seorang Demonstran memang sudah lama menjadi obsesi Mira Lesmana, bahkan sejak dia dan Riri Riza (bersama Rudy Soedjarwo) tengah menggarap film Ada Apa dengan Cinta?. Mira menyadari, ini sebuah film berlatar belakang sejarah dengan tokoh-tokoh yang masih hidup, karena itu persiapannya menjadi jauh lebih panjang, dalam, serius dan melelahkan, serta menggerus kocek sedalam sumur. Berapa miliar rupiah yang sudah habis, Mir? Mira tersenyum membisikkan angka yang memang sungguh masya Allah. Tapi, apa boleh buat, film serius dan besar butuh ongkos besar.
Setelah bertahun-tahun sibuk mewawancarai berbagai tokoh seperti Goenawan Mohamad, Aristides Katoppo, Marsillam Simandjuntak, adik kakak Soe Hok Gie, termasuk Arief Budiman, Herman Lantang, maka Riri Riza harus melalui delapan kali perubahan draf skenario. Skenario ini dibuat bukan hanya berdasarkan buku Catatan Harian Seorang Demonstran, tetapi juga berdasarkan rekonstruksi kenangan para kawan-kawan Soe Hok Gie, keluarganya, dan beberapa dramatisasi kecil untuk melajukan jalan cerita. Riri dan Mira bersetuju, mereka akan mengangkat kisah kehidupan Gie dimulai dari masa kanak-kanak hingga kematiannya dengan fokus pada periode dia menjadi aktivis yang vokal. Soal sejarah tentu banyak lubang dan kontroversi, misalnya masih saja ada "kepercayaan" Gie meninggal akibat dibunuh. "Itu teori yang tak bisa dibenarkan," kata Riri. "Dia meninggal di depan kawan-kawannya, ada Herman Lantang, Rudy Badil, dan Aristides Katoppo, semua bisa menceritakan menit demi menit hingga Gie mengembuskan napas terakhir."
Bagian terberatdari sekian tahap berat lainnyadari pra-produksi tentu saja adalah casting: memilih aktor dan aktris pemeran. Kali ini Riri Riza dan Mira Lesmana harus mencari seorang tokoh nyata, seorang kelahiran Cina-Indonesia, lelaki usia awal 20-an, cerdas, aktif, idealis, berparas cukup tampan, kelimis, dan cinta alam. Sesudah seradak-seruduk dari Glodok hingga kelompok Eksotika Karmawibangga, dari ribuan calon, toh pilihannya jatuh pada aktor Nicholas Saputra.
Kepada Tempo, Nicholas mengaku bahwa semula dia ditawari bukan untuk memerankan Soe Hok Gie, melainkan kawannya. Tetapi akhirnya dia dipanggil untuk memerankan Gie.
"Kami bukan hanya butuh seseorang yang memenuhi kriteria fisik, tetapi juga yang mampu masuk ke dalam jiwa Soe Hok Gie," kata Mira menjelaskan pilihannya. "Nicho memiliki tafsir. Dia memiliki kegelisahan yang sama. Kita membutuhkan kualitas dan antusiasme seorang aktor."
Jawaban ini untuk menjelaskan keramaian yang terjadi, setelah masyarakat mengetahui pilihan mereka, terjadi kontroversi. Itu biasa. Ketika pilihan Tjoet Nyak Dhien jatuh pada Christine Hakim dan Kartini pada Yenny Rahman, juga terjadi "kontroversi" kecil-kecilan. Tentu saja mereka yang rewel itu akan terdiam setelah melihat kemampuan akting mereka. Ingat, pelukis Frida Kahlo diperankan oleh Salma Hayek, pelukis Pablo Picasso oleh Anthony Hopkins, dan bahkan sastrawan Virginia Woolf oleh Nicole Kidman, dan Sylvia Plath oleh Gwyneth Paltrow. Semua aktor-aktris itu jauh lebih tampan dan cantik daripada tokoh yang diperankannya. Pada akhirnya, sineas harus memilih jiwa, bukan raga.
Malam itu, adegan yang direkam adalah adegan perbincangan antara Soe Hok Gie (Nicholas Saputra) dan Herman Lantang (Lukman Sardi, aktor cilik yang dulu dikenal main dalam film Pengemis dan Tukang Becak yang kini sudah remaja). Dialog ini terjadi di teras rumah Kepala Dusun Hadi Sujogo. Menurut Riri Riza, sutradara, dialog-dialog panjang antara Soe Hok Gie dan Herman Lantang ini terjadi bertepatan dengan tanggal 30 September 1965.
Lokasi yang disorot adalah sebuah teras rumah penduduk, tempat anak-anak Mapala tengah tergeletak lelah setelah pendakian. Nicholas Saputra tidak lagi gondrong berombak seperti yang dikenal penontonnya dalam Ada Apa dengan Cinta?. Potongan rambutnya sudah berubah menjadi lurus pendek dengan belahan di tengah. Ia mengenakan celana pendek abu-abu, jaket hijau, sepatu kanvas cokelat yang sudah pudar, tali sepatu dan kaus kaki hitam, serta sebuah sarung kotak-kotak. Di sela-sela pengambilan gambar, sarung itu lebih banyak membungkus tubuh Nicho untuk menahan hawa dingin di lereng Merapi ini.
Riri duduk sekitar 50 meter dari posisi Gie dan Herman. Riri menghadapi layar monitor, didampingi oleh Mira Lesmana dan penata suara. Sembari mengamati dua aktor itu di layar monitor, Riri memberikan beberapa instruksi melalui handy-talkie. "Herman, tolong dudukmu agak mendekat ke Gie," kata Riri. Riri selalu memanggil dua aktornya itu dengan nama Gie dan Herman (nama yang diperankan), bukan nama asli sang aktor.
"Camera?" tanya Riri
"Rolling."
"Sound?" teriak Riri.
"Rolling"
"Action!" seru Riri.
"... maaf ya, situasinya jadi kacau begini, bener kata lu... politik tai kucing," kata Gie kepada Herman.
Herman tersenyum dan menjawab, "Gie, gue lama pengen nanya sama lu, untuk apa sih sebenarnya perlawanan kita ini semua...."
Gie menjawab panjang lebar tentang kawannya di kebun jeruk. "... kita punya bapak yang kita akui sebagai founding father negeri ini, tapi Man, buat gue itu tidak berarti dia punya kekuasaan absolut untuk menentukan hidup kita, nasib kita...."
"Cut".
Riri menghentikannya karena tak puas dengan posisi Lukman Sardi yang memerankan Herman, "Herman, tolong kamu jangan terlalu menunduk, karena dagumu terpotong."
Pengulangan itu tentu bukan hanya karena aktor, terkadang juga Riri merasa terganggu situasi. Maklum, suaranya langsung direkam, sehingga proses pengambilan gambar dan suara terpaksa diulang karena terganggu oleh lenguhan sapi atau suara raungan mesin sepeda motor yang lewat. Belum lagi udara dingin yang menusuk tulang sering mengganggu kru maupun pemain, hingga harus sering berlari-lari kecil di tempat untuk mengusir hawa dingin.
Nicholas tampak serius dan disiplin mempelajari karakter Gie. Malam itu shooting selesai pukul satu dini hari, dan pukul empat pagi dia sudah harus bangun lagi, tapi toh dia menyempatkan diri berkisah bagaimana dia memasuki jiwa tokoh Gie. "Saya berbincang dengan kawan Gie, Herman Lantang, tentang Soe Hok Gie, tentang pengalamannya, soal posisi Gie di mata teman-temannya, dan kami mengadakan latihan reading selama tiga bulan," katanya. Yang ditangkap dari sosok Gie? "Sangat berani bicara, berani mengeluarkan pikirannya, tidak ragu-ragu."
Sebelum menyelesaikan pengambilan gambar, Riri terlihat masih meminta pengulangan shot karena tidak puas dengan dialog yang tidak pas, atau gerakan pemain yang tidak pas. Riri juga harus berjalan mondar-mandir dari tempat duduknya ke lokasi pengambilan gambar, sekitar 50 meter, untuk membetulkan tempat duduk atau memberikan instruksi lainnya kepada para pemain.
Setelah malam yang begitu panjang, Riri masih meladeni wawancara Tempo sambil berdiri menahan hawa dingin yang makin menusuk tulang. Ketika ditanya kenapa Soe Hok Gie, dia tak memberikan jawaban yang pretensius, "Ini bukan film yang hanya ditonton untuk ahli sejarah atau aktivis. Ini film untuk anak-anak muda biasa seperti saya, agar mereka tahu negeri ini memiliki anak muda yang idealis dan bersih seperti Soe Hok Gie."
Malam yang begitu dingin menggigit terasa menjadi hangat.
Leila S. Chudori (Jakarta) dan Heru Cahyono (Merapi, Jawa Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo