BISA dimaklum kalau generasi sekarang kurang mengenal tokoh ini.
Ia sendiri meski di zamannya cukup berperan dalam kegiatan
politik lan kemasyarakatan, tapi di masa tuanya tidak lagi
terlalu populer. Ia adalah Soetardjo. Nama lengkapnya: DR KPH
Soetardjo Kartohadikoesoemo alias Soetardjo Kartoningprang.
Gelar doktor honoris causa dalam ilmu pendidikan ia telima dari
Unpad (1967) dengan tesis Dasar Essentieel Pendidikan Tjalon
Sardjana Panjasila. Sejak 1956 ia memang dosen Unpad dan
selanjutnya IKIP Bandung dalam Ilmu Tata Desa dan Hukum
Tatapraja. KPH (Kangjeng Pangeran Haryo) dan Kartoningprang
adalah gelar kebangsawanan dari Pura Pakualaman, Yogyakarta.
Karena jasajasanya tahun 1962 ia dianugerahi Bintang Mahaputera
oleh Pemerintah.
Tokoh ini, Minggu tengah malam 19 Desember 1976 kemarin telah
meninggal di rumahnya jalan Raden Saleh 18, Jakarta, dalam usia
86 tahun. Jenazahnya dimakamkan hari Senin di Pemakaman Keluarga
di Blibis, Sala. Mendengar namanya, orang-orang tua - paling
tidak generasi muda yang mempelajari perjuangan pergerakan tahun
30-an - dengan cepat akan menghubungkannya dengan peristiwa 40
tahun lalu, pada saat bangsa Indonesia memperjuangkan. Apa yang
kemudian terkenal dengan Petisi Sutardjo. Petisi ini menuntut
semacam 'hak otonomi' bagi Hindia Belanda sebagai sebuah negara
yang sederajat dengan Nederland.
Meski berdarah bangsawan, tapi almarhum dikenal sebagai tokoh
yang sampai masa tuanya memperjuangkan kepentingan rakyat kecil
dengan konsisten. Ia pernah mendirikan Bank Pegawai (1950),
Yayasan Balai Pembangunan Daerah (1957), Persatuan Pensiunan RI
(1961). Jauh sebelumnya malah menjadi Ketua Perhimpunan Untuk
Memajukan Ekonomi Rakyat (1937). Tahun 1936, ia menuntut
kepada Pemerintah Belanda agar menyumbang rakyat,
sekurang-kurangnya 25 juta Gulden (ketika itu jumlah yang tak
sedikit) untuk membangun ekonomi desa. Saat itu, anekdot yang
berkembang di kalangan pejabat-pejabat Belanda ialah: bangsa
Indonesia cukup hidup dengan segobang selari ....
Darah Biru
Soetardjo berhasil. Sumbangan itu kemudian digunakan untuk
membangun sarana irigasi di Cirebon dan Banyumas, menunjang
peternakan di Madura, memajukan industri rakyat, memberantas
penyakit, mendirikan sekolah-sekolah rakyat. Sejak 17 Agustus
1976 ia mendirikan Yayasan Dana Pembangunan Desa, mencari dana
dari orang-orang kaya dalam dan luar negeri. Selain menghubungi
Pangeran Bernhard dan bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Tjarda van Starkenborg, yayasan juga berharap mendapat bantuan
dari Jepang. Bantuan untuk masyarakat desa itu penyalurannya
dikonsultasikan dengan Dirjen PMD.
Almarhum bukan 'orang kebanyakan'. Tiga kali menikah, semua
isterinya berdarah biru. Ketiganya adalah: Sitti Loetoen
Kamaroekmi, puteri Wedana Kragan, Sragen (meninggal sebelum
1950), Bandoro Raden Ayu Sitti Soerat Kabiroen, kemenakan Wakil
Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gusti Raden Ayu Koes
Soebandiah, adik Sri Pakualam VIII, Wakepda DIY. Yang pertama
meninggal tahun 1948, yang kedua 1958. Lahir tanggal 22 Oktober
1890 di Kunduran, Blora, Soetardjo adalah anak ke 5 dari 7
bersaudara keturunan priyayi Madura (garis ayah) dan Banten
(garis ibu). Kartorejo, ayahnya yang meninggal 71 tahun lalu,
pernah menjabat wedana di Ngawen (Blora) dan Bansar (Tuban).
Sikapnya yang selalu 'tertib' masih tampak hingga saat terakhir.
Rumah yang ditinggalinya sudah setengah abad -- tetap antik. Ia
pun tak bermaksud meremajakannya, yang mungkin justru akan
merusak keaslian bangunannya. Pintu dan jendela besar-besar,
berjeriji besi. Tangga di teras cukup banyak dan lebar. Lantai
dari marmer putih dengan potongan-potongan nyaris seluas meja
tulis. Arsitekturnya campuran gaya Jawa dan Belanda sebelum
perang.
Ia tak terlalu kolot. Sikapnya pun ramah. Dulu, siapa dan kapan
saja tamu berkunjung, diterimanya. Kecuali sekitar waktu-waktu
sembahyang. Itu pun tak berarti si tamu harus pergi. Kalau mau
boleh menunggu. Dan Soetardjo, pada saat-saat sembahyang, berada
di kamarnya sekitar 30 menit, termasuk berzikir. Terkadang ia
bisa mempersingkatnya sampai paling lama 15 menit.
Sehari-hari, sementara lalulintas depan rumahnya ramai, pada
jam-jam tertentu - pagi atau sore - dulu, ia sering duduk di
kursi kayu di belanda. Pakaiannya selalu putih-putih, dengan
kemeja lengan panjang. Setiap pagi sesudah sembahyang Subuh, ia
jalan kaki. Rutenya tetap: jalan Raden Saleh - Cikini - Cut
Meutiah - Teuku Umar - jalan Suwiryo. Terkadang ngelantur sampai
jalan Imam Bonjol atau Thamrin. Atau mampir ke rumah beberapa
kenalan misalnya Jenderal Polisi (pensiun) Hugeng Iman Santosa.
Atau duduk-duduk di Taman Suropati ngobrol dengan gelandangan.
"Ternyata banyak di antara mereka yang bekerja di pabrik, tidak
menganggur", kata Soetardjo di rumahnya, suatu pagi.
Mungkin itulah sebabnya, di masa tuanya ia masih tetap tampak
sehat. Pendengarannya lumayan, sebagian berat giginya masih
utuh. Biar sudah 86 tahun, tubuhnya masih tegak. Langkahnya
belum gontai, kalau berjalan pun tak pernah menggunakan tongkat.
Umurnya memang 2 tahun lebih muda dari yang sebenarnya. Masuk
Europeesche Lagere School (ELS alias SD) pada usia 8 tahun, ia
ditolak karena terlalu tua 2 tahun. Lantas umurnya dikurangi
agar bisa diterima. Pengurangan itu berlaku terus: pada rapor,
kartu penduduk kartu pegawai, hingga sekarang. Katanya, tak
banyak orang yang tahu.
Disorongkan
Cucu dan cicitnya, masing-masing 2 dan 8 dari 11 anak, semua
dari isteri pertama dan sudah berumahtangB- Bahkan beberapa di
antaranya ada yang sudah pensiun. Masing-masing sibuk. Satu di
antara anak-anaknya ada yang jenderal: Mayjen Setiadi, pegawai
tinggi Departemen P & K. Ada yang isteri bekas Wakil Sekretaris
Negara: nyonya Abdul Wahab Suriodiningrat SH. Ada yang
pengusaha. Ada yang buka toko kue di anak bangunan jalan Raden
Saleh. Dan di rumah Soetardjo yang lain, jalan Hegarmanah 18
Bandung, ada pula anaknya yang juga membuka toko kue.
Empat puluh tahun yang lalu, 9 Juli 1936, selaku anggota
Volksraad (Dewan Rakyat), Soetardjo menyampaikan usul petisi
dalam sebuah sidang pleno kepada Pemerintah Kerajaan Belanda.
Isinya: secara berangsur-angsur, dalam waktu 10 tahun, hendaknya
diusahakan agar Hindia Belanda berdiri sendiri tanpa lepas dari
Kerajaan Belanda - melalui sebuah konperensi antara Nederland
Hindia Belanda, Suriname dan Curacao.
Bunyi lengkapnya (salinan H.A. Salim dari hahasa Belanda.
dikutip dengan ejaan sekarang): Dengan tarikh 15 Juli 1936 telah
disorongkan kepada Volksraad usul seperti berikut: Kami yang
bertanda tangan di bawah ini dengan hormat menyorongkan usul,
supaya Volksraad, dengan menggunakan hak yang diberikan kepada
Majelis itu dalam fasal 68 dari pada Undang-undang Indische
Staatsregeling, menganjurkan kepada Pemerintah Tinggi dan Staten
Generaal, supaya sukalah menolong daya upaya akan supaya
diadakar. satu sidar.g permwsyawaratar. dari pada Hindia
Nederland, yang sidang permusyawaratan itu dengan memakai aturan
hak bersamaan antara anggota-anggotanya, akan mengatur satu
rencana, bagi memberikan Hindia Nederland dengan jalan
berangsur-angsur, di dalam tempo sepuluh tahun, atau pun di
dalam tempo yang oleh sidang permusyawaratan itu akan dapat
dianggap dapat melakukannya, kedudukan berdiri sendiri di dalam
batas-batas fasal I dari pada Grondwet (Tertanda) Soetardjo,
Ratoelangie Kasimo, Datoek Toemenggoeng, Kho Kwat Tiong,
Alatas.
Dilihat dengan kacamata sekarang, petisi itu memang tampak tidak
revolusioner. Sebab masih mempertahankan hubungan dengan
Kerajaan Belanda daIam bentuk semacam dominion. Tapi pada saat
lahirnya, sudah cukup radikal, walaupun kalangan gerakan rakyat
tak sedikit pula yang menganggapnya terlalu lunak. Soetardjo
sendiri memang tidak berkonsultasi dengan anggota lain. "Memang
harus begitu. Supaya tak ada kesan bahwa saya dipengaruhi
pergerakan rakyat. Kalau Pemerintah melihat kesan ini, saya bisa
dicurigai dan maksud saya akan gagal sama sekali", ujar
Soetardjo.
Diperjuangkan secara legal, parlementer, petisi itu memang
berdasarkan hukum, yaitu pasal I Grondwet (UUD Kerajaan
Belanda). Dan berhasil digoalkan lewat Dewan Rakyat (26 setuju,
20 menolak) meski kemudian ditolak oleh Ratu Wilhelmina.
Meskipun sebenarnya pengesahan petisi tersebut mungkin merupakan
salah satu upaya untuk menenteramkan gerakan rakyat yang
dianggap merongrong Pemerintah. Tahun-tahun sebelumnya,
Pemerintah Hindia Belanda memang sudah berada di ambang pintu
keruntuhan. Dan karena itu, tindakan-tindakannya pun selalu
keras.
Pada suatu hari, di kamar kerjanya, Soetardjo membuka-buka
Himpunan Undang-undang susunan W.A. Engelbrecht terbitan 1928.
Dalam pasal 1 dari Grondwet voor het Koninijk der Nederlanden
(WD Kerajaan Belanda) disebutkan: Het koninkrijk der Nederlanden
omvat het grondgebied van Nederland, Nederlands-Idie, Suriname
dan Curacao (Kerajaan Belanda terdiri atas wilayah Nederland,
Hindia Belanda, Suriname dan Curacao) pasal 2: Nederland adalah
het rijk in Europe (negara di wilayah Eropa).
Soetardjo menafsirkan: kalau Nederland adalah negara di wilayah
Eropa, maka Hindia Belanda adalah negara di wilayah Asia, dan
Suriname serta Curacao juga negara di wilayah Amerika Selatan.
Jadi Koninkrijk der Nederlanden terdiri atas 4 negara: Nederland
Hindia Belanda, Suriname dan Curacao. Dan keempat-empatnya bukan
merupakan propinsi, salah satu di antaranya tidak lebih tinggi
dari yang lain. Ini sesuai dengan pasal 2 yang menyebutkan,
bahwa pasal-pasal berikutnya hanya berlaku bagi Negara Bagian
(het rijk) yang letaknya di Eropa. Sedang untuk negeri-negeri
lain berlaku peraturan lain.
Lampu Minyak
Tapi pada pasal 62 ditentukan bahwa Hindia Belanda dikepalai
oleh Gubernur Jenderal sedang Suriname dan Curacao masing-masing
Gubernur, seolah-olah wilayah itu merupakan suatu propinsi. Dan
pasal 63 menegaskan bahwa ketatanegaraan ketiga wilayah itu
diatur oleh UU biasa dari Negara Bagian yang di Eropa, bukan
oleh UU dari Koninkrijk der Nederlanden yang seharusnya
merupakan satu dewan dari keempat Negara Bagian. Jelaslah, pasal
I telah dijegal oleh pasal 63. Dan pasal 2 yang menyebutkan
bahwa hal-hal intern setiap Negara Bagian dapat diatur sendiri,
telah dirongrong pula lewat pasal 64 bahwa aturan kenegaraan 3
wilayah di luar Eropa dapat dibatalkan oleh UU Nederland. Ini
berarti Negara Bagian di Eropa menguasai Negara-Negara Bagian di
luar Eropa.
Sebenarnya UUD baru itu (1922) merupakan upaya merubah kedudukan
Hindia Belanda, Suriname dan Curacao dari negeri jajahan menjadi
negara yang berdiri sendiri. Sebab pasal 1 UUD lama (1917)
menyebutkan: Het Koninkrijk der Nederlanden omvat het
grondgebied ir Europe, beevens de kolonien en bezittingen in
der werelddeelen (Kerajaan Nederland mencakup wilayah yang di
Eropa beserta jajahannya dan tanah miliknya di benua-benua
lain). Yakin akan kesimpulan demikian, Soetardjo siap untuk
menyusun petisi.
Untuk itu ia memerlukan tempat yang tenang. Beserta keluarga, ia
berangkat ke tempat peristirahatannya di Cimelati, Sukabumi,
membawa bahan bacaan yang diperlukan. Kebetulan keluarga
Ratoelangie pun sudah pula beristirahat di sana. Setelah
beberapa hari mempelajari bahan, jam 5 pagi ia selesai mengetik
naskahnya hanya dengan penerangan lampu minyak. Dr.
Ratoelangie sendiri kaget membaca petisi itu. Tapi ia
membenarkan penafsiran Soetardjo. Dan tanpa ragu-ragu
Ratoelangie pun memenuhi permintaan rekannya, membubuhkan
tandatangannya. Dalam pertemuan di ruman Soetardjo di Jakarta,
anggota-anggota Dewan Rakyat lainnya pun ikut menandatangani:
Kasimo, Landjoemin Gelar Datoek Toemenggoeng, Mr. Kho Kwat
Tiong, S.A. Alatas. Kebetulan mereka bisa dianggap cukup
mewakili. Soetardjo (Pamongpraja), Ratoelangi (Sulawesi) Kasimo
(Katolik), Datoek Toemenggoeng (Sumatera), Kwat Tiong (Timur
Asing/Cina) Alatas (Timur Asing/Arab).
Untuk membicarakannya, Dewan Rakyat bersidang selama 12 hari, 17
sampai dengan 29 September 1936. Lewat perdebatan sengit,
akhirnya sidang yang dihadiri 46 dari 60 anggota, 26 menyetujui,
20 menolak. Lalu secara resmi Dewan Rakyat mengajukannya kepada
Pemerintah Nederland untuk disahkan. Menghadapi petisi itu, 2
fraksi pecah: Partai ratolik (hanya Kasimo yang setuju) dan
fraksi Nasional (hanya 7 orang setuju: Thamrin, Boestan,
Koesoemo Oetoyo, Soangkoepon, Abd. Rasyid, Iskandar Dinata,
Jahja). "Saya gembira karena Thamrin yang sangat berpengarun dan
banyak pengikutnya itu juga mendukung", kata Soetardjo.
Soetardjo Lolos
Pengaruh petisi meluas sampai di luar Dewan Rakyat. Bahkan dari
Negeri Belanda terdengar pula dukungan beberapa anggota Staten
Generaal, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di sana
dan RM Notosoeroto, bangsawan Pakualaman, pengarang dan
wartawan terkemuka. Pers Indonesia pun meramaikannya, dipelopori
oleh Tabrani pemimpin redaksi Pemandangan Sedang pers Belanda
mengejek sebagai Petis Soetardjo (petis adalah sejenis bumbu
atau sambal). Atas anjuran Tabrani pula, tanggal 5 Oktober 1936
di Gedung Pertemuan Rakyat jalan Kenari Jakarta dibentuk Panitia
Petisi Soetardjo, diketuai Soetardjo sendiri.
Anggota-anggotanya: Mr. Hendromartono,. Atik Soewardi, Iskandar
Dinata, H.A. Salim, IJ Kasimo, Sinsoe, Mr. Sartono, Datoek
Toemenggoeng, SA Alatas, Kwat Tiong. Dan serentak setelah itu di
seluruh Indonesia terbentuk panitia-panitia daerah. Sambutan
rakyat terhadap petisi ini selalu meriah.
Begitu berkobar-kobar, sampai 4 kali Soetardjo harus berhubungan
dengan alat-alat kekuasaan kolonial. Di Jawa Timur ia diperiksa
oleh Gubernur van der Plas, kemudian di Jakarta oleh satu team
terdiri atas Direktur Departemen Dalam Negeri, Gubernur Jawa
Barat dan Asisten Residen Polisi Jakarta. Tapi gagal dihadapkan
ke pengadilan kriminil. Lalu diperiksa oleh Jaksa Agung, nyaris
ditahan Terakhir dipanggil oleh Departemen Dalam Negeri untuk
kedua kalinya, untuk dijatuhi hukuman administratif.
Sementara ia lolos dari pemeriksaan-pemeriksaan, Ratu Wilhelmina
menolak Petisi Soetardjo lewat Koninklijk Besluit tertanggal 16
Nopember 1938. Itu tak berarti jiwa petisi mati sama sekali.
Sebab tepat 10 tahun kemudian bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan. Melihat jangka waktunya, memang tepat, seolah
'diramalkan' oleh petisi itu. Petisi itu sendiri di Negeri
Belanda telah didep selama 2 tahun. Dan setelah gerakan rakyat
mendesak, Menteri Jajahan Welter hanya menjawab: "Orang
Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri . . ".
Setahun setelah itu Mohammad Natsir menulis dalam Panji Islam,
bahwa ditolaknya petisi itu justru punya arti lebih penting dari
pada petisinya sendiri. "Itu betul", komentar Soetardjo. "Sebab
akibat dari penolakan itu ialah: semangat bernegara di kalangan
rakyat semakin berkobar". Dan Soetardjo sejak itu lantas jadi
semakin 'garang' saja. Dalam salah sebuah sidang Volksraad ia
mengajukan mosi agar sebutan Inlander diganti dengan Indonesier
dalam semua perundang-undangan. Sudah bisa diduga: Belanda
menolak.
Duduk di Volksraad, ketika itu ia mewakili Persatuan Pegawai
Bestuur Bumiputera (PPBB, persatuan pamong praja seluruh
Indonesia), sebagai ketua fraksi pamong praja sejak 1934
menggantikan RAA Wiranatakoesoemah. Dan beberapa waktu kemudian
terpilih sebagai salah seorang anggota College van Gedelegeerdeh
(Badan Pekerja) Volksraad. Karirnya sebagai pamong praja dimulai
dari bawah. Setamat ELS tahun 1906, ia melanjutkan Sekolah
Pendidikan Untuk Pegawai-Pegawai Pamong Praja Bumiputera
(Opleidings School voor Inslandse Ambteharen alias OSVIA) di
Magelang sampai 1911.
Keluar dari sana jadi pegawai pemerintah. Mula-mula cuma magang
tanpa upah di kecamatan Kunduran, setelah 3 bulan diangkat
dengan jabatan hulpschrijver (pembantu juru tulis). Setelah
beberapa bulan meningkat sebagai Jurutulis Jaksa, Mantri
Kabupaten, Asisten Wedana, Adjunt Jaksa dan Jaksa, 1915. Selama
2 tahun, 1919-1921, ia mengikuti pendidikan Seko]ah Pemerintahan
(Bestuur School) di Jakarta. Lalu jadi Asisten Wedana dan
berturut-turut sebagai Wedana lantas Patih merangkap Lardrechter
(hakim khusus urusan tanah).
Zaman Jepang, karir kepamong-prajaannya berlanjut dengan jabatan
pertama sebagai Naimubu-Sanyo (pimpinan Departemen Dalam Negeri)
Tahun 1943 memimpin delegasi meninjau home front Perang Asia
Timur Raya di Jepang, lantas menjadi Syuutjookan (residen)
Jakarta. Menjelang proklamasi ia menyaksikan penculikan
Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Sebagai Residen, ketika itu
ia menertibkan distribusi beras. "Beras tak boleh seluruhnya
dikuasai Cina", katanya. "Dari mulai menanam sampai menjemur,
gabah harus di tangan rakyat desa atau petani Cina hanya boleh
menggiling saja"
Satu waktu, 16 Agustus 1945, ia melakukan inspeksi ke
Rengasdengklok. Sampai di pendapa kawedanan, sudah banyak rakyat
berkerumun di luar. "Saya dibawa wedana ke sebuah surau. Lama
menunggu, saya tanyakan pada wedana, ternyata Bung Karno ada di
situ Saya lantas dibawa ke sebuah rumah milik Tionghoa, dan
ternyata Bung Karno memang sedang ditahan di sana". Dari Bung
Karno kemudian diketahuinya bahwa semua pemuda mendesak agar
segera memproklamirkan kemerdekaan. Besoknya ia kembali ke
Jakara bersama rombongan Soekarno-Hatta, semobil dengan
Fatmawati dan Guntur.
Setelah proklamasi, Soetardjo menjadi Gubemur Jawa Barat dan
setahun kemudian sebagai Gubernur Penasihat Pemerintah Pusat,
lantas anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1947. "Waktu Belanda
menyerbu Yogya, 1949, saya menjadi ketua DPA. Ki Hajar Dewantara
wakil ketua dan Prof Soenario sekretaris. Dengan beberapa
anggota kami tetap bersidang di gedung DPA jalan Gondokusuman.
Presiden dan Wakil waktu itu diasingkan ke Sumatera, begitu pula
para Menteri sudah pada ditangkap". tuturnya.
Generasi Muda
Memang Soetardjo banyak pengalaman dan jabatan. Antara lain
pernah mendirikan Perikatan Perhimpunan Radio Ketimuran di
rumahnya, 1938, sebagai organisasi radio nasional yang pertama
dan berhasil 'merebut kekuasaan' atas siaran radio dari
Nederlands-lhdise Radio Omroep Maatschappij (NIROM) Wakil Ketua
Partai Indonesia Raya (Parindra), anggota DPRS Bankan sejak
muda, 1909, ia sudah mclljadi ketua Boedi oetomo cabang
Magelang.
Ia juga dikenal sebagai wartawan dan pengarang. Misalnya sebagai
redaksi majalah Oud Osviaan (1919), Pemimpin dan Penyuluh
(l929), Swatantra (1957). Pertengahan tahun 1976 ini pun ia
masih menulis artikel untuk harian Kompas Riwayat Lahirnya
Petisi Soetardjo dan PMI dan Eksistensinya Sewaktu
Yogyakarta Diduduki Sekutu Ia memang juga aktif dalam kegiatan
kepalang-merahan. Beberapa bukunya yang telah terbit antara
lain: Desa (1953). Sejarah Radio Idonesia (1953), Membangun
Masyarakat Murba (1947), Kelangan Daerah (1946).
Saat-saat terakhir dalam hidupnya, ia nikmati sebagai pensiunan
Gubernur dan anggota MPRS. "Sebagai bekas ketua DPA saya tak
mendapat pensiun. Entah apa sebabnya. Tapi para anggota DPA yang
sekarang kabarnya dapat", katanya. Berapa besar tunjangan
pensiun itu, ia tak bersedia menyebutkannya. "Yang penting bukan
uangnya, melainkan bagaimana jasa seseorang bisa dihargai",
tambahnya. Toh di saat-saat terakhirnya, almarhum yang mengaku
hanya "menganggur dan cuma memimpin keluarga", masih sempat
memikirkan kepentingan masyarakat. Ia masih punya keinginan
"membantu kemajuan masyarakat bagian bawah". Ada beberapa pokok
f1kirannya yang aktuil dan menarik seperti diungkapkannya dalam
wawancara dengan Klarawijaya dari TEMPO beberapabulan yang lalu:
"Rakyat terbanyak, lebih dari 80 masih tetap melarat dan
menderita lantaran politik pembangunan yang salah. Untuk
ketahanan nasional, politik pembangunan nasional yang 'salah'
itu harus segera dirubah. Untuk itu pimpinan harus ditaruh di
tangan tenaga muda yang ahli dan bersih".
"Pembangunan apa saja harus dimulai dari bawah. Politih
pembangunan sekarang ini malah sebaliknya. Cedunggedung tinggi
dan mewall nellIarlg perlu, tapi nanti. Coba. apa sih perlunya
Ali Sadikin bikin bangunan hebat menjulang tunggi'? Yang penting
pembangunan desa. Dalam waktu singkat pembangunan desa akan
efektif kalau dilaksanakan lewat daerah otonomi tingkat III yang
dulu kita sebut desa monco pat dan desa mornco limo yang
kemudian dirubah jadi olderdistrik Tahun 1960, prinsip Daswati
III itu sudah disetujui MPRS tapi sampai sekarang belun
dilaksanakan. Desa satu persatu menjadi lemah, sangat lamban
kemajuannya.
"Generasi muda sekarang Umumnya baik. Saya mendapat kesan,
mereka mampu menjadi generasi penerus yang kita idam-idamkan.
Yang rusak pada umumnya karena terkena pengaruh dari luar.
Anak-anak muda yang 'rusak' itu sama sekali juga bukan salah
mereka. Keadaanlah yang membuatnya demikian. Banyak hal
sekarang ini tak beres, yang mau tak mau mempengaruhi mereka".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini