Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Soetardjo, Pembuat Petisi Itu

Soetardjo Kartohadikoesoemo, dosen Unpad meninggal dunia 19 Des 1976. Pencetus petisi 15 juli 1936 berisi usul pemerintahan hindia belanda (indonesia) berdiri sendiri.

1 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA dimaklum kalau generasi sekarang kurang mengenal tokoh ini. Ia sendiri meski di zamannya cukup berperan dalam kegiatan politik lan kemasyarakatan, tapi di masa tuanya tidak lagi terlalu populer. Ia adalah Soetardjo. Nama lengkapnya: DR KPH Soetardjo Kartohadikoesoemo alias Soetardjo Kartoningprang. Gelar doktor honoris causa dalam ilmu pendidikan ia telima dari Unpad (1967) dengan tesis Dasar Essentieel Pendidikan Tjalon Sardjana Panjasila. Sejak 1956 ia memang dosen Unpad dan selanjutnya IKIP Bandung dalam Ilmu Tata Desa dan Hukum Tatapraja. KPH (Kangjeng Pangeran Haryo) dan Kartoningprang adalah gelar kebangsawanan dari Pura Pakualaman, Yogyakarta. Karena jasajasanya tahun 1962 ia dianugerahi Bintang Mahaputera oleh Pemerintah. Tokoh ini, Minggu tengah malam 19 Desember 1976 kemarin telah meninggal di rumahnya jalan Raden Saleh 18, Jakarta, dalam usia 86 tahun. Jenazahnya dimakamkan hari Senin di Pemakaman Keluarga di Blibis, Sala. Mendengar namanya, orang-orang tua - paling tidak generasi muda yang mempelajari perjuangan pergerakan tahun 30-an - dengan cepat akan menghubungkannya dengan peristiwa 40 tahun lalu, pada saat bangsa Indonesia memperjuangkan. Apa yang kemudian terkenal dengan Petisi Sutardjo. Petisi ini menuntut semacam 'hak otonomi' bagi Hindia Belanda sebagai sebuah negara yang sederajat dengan Nederland. Meski berdarah bangsawan, tapi almarhum dikenal sebagai tokoh yang sampai masa tuanya memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dengan konsisten. Ia pernah mendirikan Bank Pegawai (1950), Yayasan Balai Pembangunan Daerah (1957), Persatuan Pensiunan RI (1961). Jauh sebelumnya malah menjadi Ketua Perhimpunan Untuk Memajukan Ekonomi Rakyat (1937). Tahun 1936, ia menuntut kepada Pemerintah Belanda agar menyumbang rakyat, sekurang-kurangnya 25 juta Gulden (ketika itu jumlah yang tak sedikit) untuk membangun ekonomi desa. Saat itu, anekdot yang berkembang di kalangan pejabat-pejabat Belanda ialah: bangsa Indonesia cukup hidup dengan segobang selari .... Darah Biru Soetardjo berhasil. Sumbangan itu kemudian digunakan untuk membangun sarana irigasi di Cirebon dan Banyumas, menunjang peternakan di Madura, memajukan industri rakyat, memberantas penyakit, mendirikan sekolah-sekolah rakyat. Sejak 17 Agustus 1976 ia mendirikan Yayasan Dana Pembangunan Desa, mencari dana dari orang-orang kaya dalam dan luar negeri. Selain menghubungi Pangeran Bernhard dan bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborg, yayasan juga berharap mendapat bantuan dari Jepang. Bantuan untuk masyarakat desa itu penyalurannya dikonsultasikan dengan Dirjen PMD. Almarhum bukan 'orang kebanyakan'. Tiga kali menikah, semua isterinya berdarah biru. Ketiganya adalah: Sitti Loetoen Kamaroekmi, puteri Wedana Kragan, Sragen (meninggal sebelum 1950), Bandoro Raden Ayu Sitti Soerat Kabiroen, kemenakan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gusti Raden Ayu Koes Soebandiah, adik Sri Pakualam VIII, Wakepda DIY. Yang pertama meninggal tahun 1948, yang kedua 1958. Lahir tanggal 22 Oktober 1890 di Kunduran, Blora, Soetardjo adalah anak ke 5 dari 7 bersaudara keturunan priyayi Madura (garis ayah) dan Banten (garis ibu). Kartorejo, ayahnya yang meninggal 71 tahun lalu, pernah menjabat wedana di Ngawen (Blora) dan Bansar (Tuban). Sikapnya yang selalu 'tertib' masih tampak hingga saat terakhir. Rumah yang ditinggalinya sudah setengah abad -- tetap antik. Ia pun tak bermaksud meremajakannya, yang mungkin justru akan merusak keaslian bangunannya. Pintu dan jendela besar-besar, berjeriji besi. Tangga di teras cukup banyak dan lebar. Lantai dari marmer putih dengan potongan-potongan nyaris seluas meja tulis. Arsitekturnya campuran gaya Jawa dan Belanda sebelum perang. Ia tak terlalu kolot. Sikapnya pun ramah. Dulu, siapa dan kapan saja tamu berkunjung, diterimanya. Kecuali sekitar waktu-waktu sembahyang. Itu pun tak berarti si tamu harus pergi. Kalau mau boleh menunggu. Dan Soetardjo, pada saat-saat sembahyang, berada di kamarnya sekitar 30 menit, termasuk berzikir. Terkadang ia bisa mempersingkatnya sampai paling lama 15 menit. Sehari-hari, sementara lalulintas depan rumahnya ramai, pada jam-jam tertentu - pagi atau sore - dulu, ia sering duduk di kursi kayu di belanda. Pakaiannya selalu putih-putih, dengan kemeja lengan panjang. Setiap pagi sesudah sembahyang Subuh, ia jalan kaki. Rutenya tetap: jalan Raden Saleh - Cikini - Cut Meutiah - Teuku Umar - jalan Suwiryo. Terkadang ngelantur sampai jalan Imam Bonjol atau Thamrin. Atau mampir ke rumah beberapa kenalan misalnya Jenderal Polisi (pensiun) Hugeng Iman Santosa. Atau duduk-duduk di Taman Suropati ngobrol dengan gelandangan. "Ternyata banyak di antara mereka yang bekerja di pabrik, tidak menganggur", kata Soetardjo di rumahnya, suatu pagi. Mungkin itulah sebabnya, di masa tuanya ia masih tetap tampak sehat. Pendengarannya lumayan, sebagian berat giginya masih utuh. Biar sudah 86 tahun, tubuhnya masih tegak. Langkahnya belum gontai, kalau berjalan pun tak pernah menggunakan tongkat. Umurnya memang 2 tahun lebih muda dari yang sebenarnya. Masuk Europeesche Lagere School (ELS alias SD) pada usia 8 tahun, ia ditolak karena terlalu tua 2 tahun. Lantas umurnya dikurangi agar bisa diterima. Pengurangan itu berlaku terus: pada rapor, kartu penduduk kartu pegawai, hingga sekarang. Katanya, tak banyak orang yang tahu. Disorongkan Cucu dan cicitnya, masing-masing 2 dan 8 dari 11 anak, semua dari isteri pertama dan sudah berumahtangB- Bahkan beberapa di antaranya ada yang sudah pensiun. Masing-masing sibuk. Satu di antara anak-anaknya ada yang jenderal: Mayjen Setiadi, pegawai tinggi Departemen P & K. Ada yang isteri bekas Wakil Sekretaris Negara: nyonya Abdul Wahab Suriodiningrat SH. Ada yang pengusaha. Ada yang buka toko kue di anak bangunan jalan Raden Saleh. Dan di rumah Soetardjo yang lain, jalan Hegarmanah 18 Bandung, ada pula anaknya yang juga membuka toko kue. Empat puluh tahun yang lalu, 9 Juli 1936, selaku anggota Volksraad (Dewan Rakyat), Soetardjo menyampaikan usul petisi dalam sebuah sidang pleno kepada Pemerintah Kerajaan Belanda. Isinya: secara berangsur-angsur, dalam waktu 10 tahun, hendaknya diusahakan agar Hindia Belanda berdiri sendiri tanpa lepas dari Kerajaan Belanda - melalui sebuah konperensi antara Nederland Hindia Belanda, Suriname dan Curacao. Bunyi lengkapnya (salinan H.A. Salim dari hahasa Belanda. dikutip dengan ejaan sekarang): Dengan tarikh 15 Juli 1936 telah disorongkan kepada Volksraad usul seperti berikut: Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan hormat menyorongkan usul, supaya Volksraad, dengan menggunakan hak yang diberikan kepada Majelis itu dalam fasal 68 dari pada Undang-undang Indische Staatsregeling, menganjurkan kepada Pemerintah Tinggi dan Staten Generaal, supaya sukalah menolong daya upaya akan supaya diadakar. satu sidar.g permwsyawaratar. dari pada Hindia Nederland, yang sidang permusyawaratan itu dengan memakai aturan hak bersamaan antara anggota-anggotanya, akan mengatur satu rencana, bagi memberikan Hindia Nederland dengan jalan berangsur-angsur, di dalam tempo sepuluh tahun, atau pun di dalam tempo yang oleh sidang permusyawaratan itu akan dapat dianggap dapat melakukannya, kedudukan berdiri sendiri di dalam batas-batas fasal I dari pada Grondwet (Tertanda) Soetardjo, Ratoelangie Kasimo, Datoek Toemenggoeng, Kho Kwat Tiong, Alatas. Dilihat dengan kacamata sekarang, petisi itu memang tampak tidak revolusioner. Sebab masih mempertahankan hubungan dengan Kerajaan Belanda daIam bentuk semacam dominion. Tapi pada saat lahirnya, sudah cukup radikal, walaupun kalangan gerakan rakyat tak sedikit pula yang menganggapnya terlalu lunak. Soetardjo sendiri memang tidak berkonsultasi dengan anggota lain. "Memang harus begitu. Supaya tak ada kesan bahwa saya dipengaruhi pergerakan rakyat. Kalau Pemerintah melihat kesan ini, saya bisa dicurigai dan maksud saya akan gagal sama sekali", ujar Soetardjo. Diperjuangkan secara legal, parlementer, petisi itu memang berdasarkan hukum, yaitu pasal I Grondwet (UUD Kerajaan Belanda). Dan berhasil digoalkan lewat Dewan Rakyat (26 setuju, 20 menolak) meski kemudian ditolak oleh Ratu Wilhelmina. Meskipun sebenarnya pengesahan petisi tersebut mungkin merupakan salah satu upaya untuk menenteramkan gerakan rakyat yang dianggap merongrong Pemerintah. Tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah Hindia Belanda memang sudah berada di ambang pintu keruntuhan. Dan karena itu, tindakan-tindakannya pun selalu keras. Pada suatu hari, di kamar kerjanya, Soetardjo membuka-buka Himpunan Undang-undang susunan W.A. Engelbrecht terbitan 1928. Dalam pasal 1 dari Grondwet voor het Koninijk der Nederlanden (WD Kerajaan Belanda) disebutkan: Het koninkrijk der Nederlanden omvat het grondgebied van Nederland, Nederlands-Idie, Suriname dan Curacao (Kerajaan Belanda terdiri atas wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao) pasal 2: Nederland adalah het rijk in Europe (negara di wilayah Eropa). Soetardjo menafsirkan: kalau Nederland adalah negara di wilayah Eropa, maka Hindia Belanda adalah negara di wilayah Asia, dan Suriname serta Curacao juga negara di wilayah Amerika Selatan. Jadi Koninkrijk der Nederlanden terdiri atas 4 negara: Nederland Hindia Belanda, Suriname dan Curacao. Dan keempat-empatnya bukan merupakan propinsi, salah satu di antaranya tidak lebih tinggi dari yang lain. Ini sesuai dengan pasal 2 yang menyebutkan, bahwa pasal-pasal berikutnya hanya berlaku bagi Negara Bagian (het rijk) yang letaknya di Eropa. Sedang untuk negeri-negeri lain berlaku peraturan lain. Lampu Minyak Tapi pada pasal 62 ditentukan bahwa Hindia Belanda dikepalai oleh Gubernur Jenderal sedang Suriname dan Curacao masing-masing Gubernur, seolah-olah wilayah itu merupakan suatu propinsi. Dan pasal 63 menegaskan bahwa ketatanegaraan ketiga wilayah itu diatur oleh UU biasa dari Negara Bagian yang di Eropa, bukan oleh UU dari Koninkrijk der Nederlanden yang seharusnya merupakan satu dewan dari keempat Negara Bagian. Jelaslah, pasal I telah dijegal oleh pasal 63. Dan pasal 2 yang menyebutkan bahwa hal-hal intern setiap Negara Bagian dapat diatur sendiri, telah dirongrong pula lewat pasal 64 bahwa aturan kenegaraan 3 wilayah di luar Eropa dapat dibatalkan oleh UU Nederland. Ini berarti Negara Bagian di Eropa menguasai Negara-Negara Bagian di luar Eropa. Sebenarnya UUD baru itu (1922) merupakan upaya merubah kedudukan Hindia Belanda, Suriname dan Curacao dari negeri jajahan menjadi negara yang berdiri sendiri. Sebab pasal 1 UUD lama (1917) menyebutkan: Het Koninkrijk der Nederlanden omvat het grondgebied ir Europe, beevens de kolonien en bezittingen in der werelddeelen (Kerajaan Nederland mencakup wilayah yang di Eropa beserta jajahannya dan tanah miliknya di benua-benua lain). Yakin akan kesimpulan demikian, Soetardjo siap untuk menyusun petisi. Untuk itu ia memerlukan tempat yang tenang. Beserta keluarga, ia berangkat ke tempat peristirahatannya di Cimelati, Sukabumi, membawa bahan bacaan yang diperlukan. Kebetulan keluarga Ratoelangie pun sudah pula beristirahat di sana. Setelah beberapa hari mempelajari bahan, jam 5 pagi ia selesai mengetik naskahnya hanya dengan penerangan lampu minyak. Dr. Ratoelangie sendiri kaget membaca petisi itu. Tapi ia membenarkan penafsiran Soetardjo. Dan tanpa ragu-ragu Ratoelangie pun memenuhi permintaan rekannya, membubuhkan tandatangannya. Dalam pertemuan di ruman Soetardjo di Jakarta, anggota-anggota Dewan Rakyat lainnya pun ikut menandatangani: Kasimo, Landjoemin Gelar Datoek Toemenggoeng, Mr. Kho Kwat Tiong, S.A. Alatas. Kebetulan mereka bisa dianggap cukup mewakili. Soetardjo (Pamongpraja), Ratoelangi (Sulawesi) Kasimo (Katolik), Datoek Toemenggoeng (Sumatera), Kwat Tiong (Timur Asing/Cina) Alatas (Timur Asing/Arab). Untuk membicarakannya, Dewan Rakyat bersidang selama 12 hari, 17 sampai dengan 29 September 1936. Lewat perdebatan sengit, akhirnya sidang yang dihadiri 46 dari 60 anggota, 26 menyetujui, 20 menolak. Lalu secara resmi Dewan Rakyat mengajukannya kepada Pemerintah Nederland untuk disahkan. Menghadapi petisi itu, 2 fraksi pecah: Partai ratolik (hanya Kasimo yang setuju) dan fraksi Nasional (hanya 7 orang setuju: Thamrin, Boestan, Koesoemo Oetoyo, Soangkoepon, Abd. Rasyid, Iskandar Dinata, Jahja). "Saya gembira karena Thamrin yang sangat berpengarun dan banyak pengikutnya itu juga mendukung", kata Soetardjo. Soetardjo Lolos Pengaruh petisi meluas sampai di luar Dewan Rakyat. Bahkan dari Negeri Belanda terdengar pula dukungan beberapa anggota Staten Generaal, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di sana dan RM Notosoeroto, bangsawan Pakualaman, pengarang dan wartawan terkemuka. Pers Indonesia pun meramaikannya, dipelopori oleh Tabrani pemimpin redaksi Pemandangan Sedang pers Belanda mengejek sebagai Petis Soetardjo (petis adalah sejenis bumbu atau sambal). Atas anjuran Tabrani pula, tanggal 5 Oktober 1936 di Gedung Pertemuan Rakyat jalan Kenari Jakarta dibentuk Panitia Petisi Soetardjo, diketuai Soetardjo sendiri. Anggota-anggotanya: Mr. Hendromartono,. Atik Soewardi, Iskandar Dinata, H.A. Salim, IJ Kasimo, Sinsoe, Mr. Sartono, Datoek Toemenggoeng, SA Alatas, Kwat Tiong. Dan serentak setelah itu di seluruh Indonesia terbentuk panitia-panitia daerah. Sambutan rakyat terhadap petisi ini selalu meriah. Begitu berkobar-kobar, sampai 4 kali Soetardjo harus berhubungan dengan alat-alat kekuasaan kolonial. Di Jawa Timur ia diperiksa oleh Gubernur van der Plas, kemudian di Jakarta oleh satu team terdiri atas Direktur Departemen Dalam Negeri, Gubernur Jawa Barat dan Asisten Residen Polisi Jakarta. Tapi gagal dihadapkan ke pengadilan kriminil. Lalu diperiksa oleh Jaksa Agung, nyaris ditahan Terakhir dipanggil oleh Departemen Dalam Negeri untuk kedua kalinya, untuk dijatuhi hukuman administratif. Sementara ia lolos dari pemeriksaan-pemeriksaan, Ratu Wilhelmina menolak Petisi Soetardjo lewat Koninklijk Besluit tertanggal 16 Nopember 1938. Itu tak berarti jiwa petisi mati sama sekali. Sebab tepat 10 tahun kemudian bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Melihat jangka waktunya, memang tepat, seolah 'diramalkan' oleh petisi itu. Petisi itu sendiri di Negeri Belanda telah didep selama 2 tahun. Dan setelah gerakan rakyat mendesak, Menteri Jajahan Welter hanya menjawab: "Orang Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri . . ". Setahun setelah itu Mohammad Natsir menulis dalam Panji Islam, bahwa ditolaknya petisi itu justru punya arti lebih penting dari pada petisinya sendiri. "Itu betul", komentar Soetardjo. "Sebab akibat dari penolakan itu ialah: semangat bernegara di kalangan rakyat semakin berkobar". Dan Soetardjo sejak itu lantas jadi semakin 'garang' saja. Dalam salah sebuah sidang Volksraad ia mengajukan mosi agar sebutan Inlander diganti dengan Indonesier dalam semua perundang-undangan. Sudah bisa diduga: Belanda menolak. Duduk di Volksraad, ketika itu ia mewakili Persatuan Pegawai Bestuur Bumiputera (PPBB, persatuan pamong praja seluruh Indonesia), sebagai ketua fraksi pamong praja sejak 1934 menggantikan RAA Wiranatakoesoemah. Dan beberapa waktu kemudian terpilih sebagai salah seorang anggota College van Gedelegeerdeh (Badan Pekerja) Volksraad. Karirnya sebagai pamong praja dimulai dari bawah. Setamat ELS tahun 1906, ia melanjutkan Sekolah Pendidikan Untuk Pegawai-Pegawai Pamong Praja Bumiputera (Opleidings School voor Inslandse Ambteharen alias OSVIA) di Magelang sampai 1911. Keluar dari sana jadi pegawai pemerintah. Mula-mula cuma magang tanpa upah di kecamatan Kunduran, setelah 3 bulan diangkat dengan jabatan hulpschrijver (pembantu juru tulis). Setelah beberapa bulan meningkat sebagai Jurutulis Jaksa, Mantri Kabupaten, Asisten Wedana, Adjunt Jaksa dan Jaksa, 1915. Selama 2 tahun, 1919-1921, ia mengikuti pendidikan Seko]ah Pemerintahan (Bestuur School) di Jakarta. Lalu jadi Asisten Wedana dan berturut-turut sebagai Wedana lantas Patih merangkap Lardrechter (hakim khusus urusan tanah). Zaman Jepang, karir kepamong-prajaannya berlanjut dengan jabatan pertama sebagai Naimubu-Sanyo (pimpinan Departemen Dalam Negeri) Tahun 1943 memimpin delegasi meninjau home front Perang Asia Timur Raya di Jepang, lantas menjadi Syuutjookan (residen) Jakarta. Menjelang proklamasi ia menyaksikan penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Sebagai Residen, ketika itu ia menertibkan distribusi beras. "Beras tak boleh seluruhnya dikuasai Cina", katanya. "Dari mulai menanam sampai menjemur, gabah harus di tangan rakyat desa atau petani Cina hanya boleh menggiling saja" Satu waktu, 16 Agustus 1945, ia melakukan inspeksi ke Rengasdengklok. Sampai di pendapa kawedanan, sudah banyak rakyat berkerumun di luar. "Saya dibawa wedana ke sebuah surau. Lama menunggu, saya tanyakan pada wedana, ternyata Bung Karno ada di situ Saya lantas dibawa ke sebuah rumah milik Tionghoa, dan ternyata Bung Karno memang sedang ditahan di sana". Dari Bung Karno kemudian diketahuinya bahwa semua pemuda mendesak agar segera memproklamirkan kemerdekaan. Besoknya ia kembali ke Jakara bersama rombongan Soekarno-Hatta, semobil dengan Fatmawati dan Guntur. Setelah proklamasi, Soetardjo menjadi Gubemur Jawa Barat dan setahun kemudian sebagai Gubernur Penasihat Pemerintah Pusat, lantas anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1947. "Waktu Belanda menyerbu Yogya, 1949, saya menjadi ketua DPA. Ki Hajar Dewantara wakil ketua dan Prof Soenario sekretaris. Dengan beberapa anggota kami tetap bersidang di gedung DPA jalan Gondokusuman. Presiden dan Wakil waktu itu diasingkan ke Sumatera, begitu pula para Menteri sudah pada ditangkap". tuturnya. Generasi Muda Memang Soetardjo banyak pengalaman dan jabatan. Antara lain pernah mendirikan Perikatan Perhimpunan Radio Ketimuran di rumahnya, 1938, sebagai organisasi radio nasional yang pertama dan berhasil 'merebut kekuasaan' atas siaran radio dari Nederlands-lhdise Radio Omroep Maatschappij (NIROM) Wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra), anggota DPRS Bankan sejak muda, 1909, ia sudah mclljadi ketua Boedi oetomo cabang Magelang. Ia juga dikenal sebagai wartawan dan pengarang. Misalnya sebagai redaksi majalah Oud Osviaan (1919), Pemimpin dan Penyuluh (l929), Swatantra (1957). Pertengahan tahun 1976 ini pun ia masih menulis artikel untuk harian Kompas Riwayat Lahirnya Petisi Soetardjo dan PMI dan Eksistensinya Sewaktu Yogyakarta Diduduki Sekutu Ia memang juga aktif dalam kegiatan kepalang-merahan. Beberapa bukunya yang telah terbit antara lain: Desa (1953). Sejarah Radio Idonesia (1953), Membangun Masyarakat Murba (1947), Kelangan Daerah (1946). Saat-saat terakhir dalam hidupnya, ia nikmati sebagai pensiunan Gubernur dan anggota MPRS. "Sebagai bekas ketua DPA saya tak mendapat pensiun. Entah apa sebabnya. Tapi para anggota DPA yang sekarang kabarnya dapat", katanya. Berapa besar tunjangan pensiun itu, ia tak bersedia menyebutkannya. "Yang penting bukan uangnya, melainkan bagaimana jasa seseorang bisa dihargai", tambahnya. Toh di saat-saat terakhirnya, almarhum yang mengaku hanya "menganggur dan cuma memimpin keluarga", masih sempat memikirkan kepentingan masyarakat. Ia masih punya keinginan "membantu kemajuan masyarakat bagian bawah". Ada beberapa pokok f1kirannya yang aktuil dan menarik seperti diungkapkannya dalam wawancara dengan Klarawijaya dari TEMPO beberapabulan yang lalu:  "Rakyat terbanyak, lebih dari 80 masih tetap melarat dan menderita lantaran politik pembangunan yang salah. Untuk ketahanan nasional, politik pembangunan nasional yang 'salah' itu harus segera dirubah. Untuk itu pimpinan harus ditaruh di tangan tenaga muda yang ahli dan bersih".  "Pembangunan apa saja harus dimulai dari bawah. Politih pembangunan sekarang ini malah sebaliknya. Cedunggedung tinggi dan mewall nellIarlg perlu, tapi nanti. Coba. apa sih perlunya Ali Sadikin bikin bangunan hebat menjulang tunggi'? Yang penting pembangunan desa. Dalam waktu singkat pembangunan desa akan efektif kalau dilaksanakan lewat daerah otonomi tingkat III yang dulu kita sebut desa monco pat dan desa mornco limo yang kemudian dirubah jadi olderdistrik Tahun 1960, prinsip Daswati III itu sudah disetujui MPRS tapi sampai sekarang belun dilaksanakan. Desa satu persatu menjadi lemah, sangat lamban kemajuannya.  "Generasi muda sekarang Umumnya baik. Saya mendapat kesan, mereka mampu menjadi generasi penerus yang kita idam-idamkan. Yang rusak pada umumnya karena terkena pengaruh dari luar. Anak-anak muda yang 'rusak' itu sama sekali juga bukan salah mereka. Keadaanlah yang membuatnya demikian. Banyak hal sekarang ini tak beres, yang mau tak mau mempengaruhi mereka".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus