SETELAH Bing tiada, setelah Kwartet Jaya pecah, setelah Gudel
berhenti pada langkah kecil, sering ditanyakan pada siapa lagi
kita letakkan harapan sebagai penghibur kita semua.
Banyak grup bermunculan di ibukota. "Surya Grup" misalnya. Tapi
ada seorang yang jauh lebih menampakkan potensi, karena dia
berjuang sendiri. Setidak-tidaknya bahaya laten berupa
perpecahan yang selalu melanda "grup" yang baru saja sukses,
tidak jadi momoknya.
Dan orang itu adalah Benyamin. Lengkapnya: Benyamin S. Ia sudah
tegak di antara kita, meskipun dimulai dengan banyak ganjelan.
Tatkala seorang penyanyi dan pelawak dari kampung dinobatkan
sebagai aktor terbaik pada tahun 1973, banyak orang melongo.
Sedikit sekali yang benar-benar percaya, bahwa sebuah film
komedi yang bernama Intan Berdun telah sanggup menyulap seorang
penyanyi "gambang keromong" menjadi orang yang berhak menerima
kehormatan yang diidamkan oleh setiap Bintang Film itu.
Benyamin - sang aktor - barangkali membuka juga telinganya pada
waktu itu. Tetapi hatinya tetap tenang. Ia terus membuka
mulutnya untuk mengucurkan lagu "pop" Betawi dengan lirik-lirik
yang menyentuh hati masyarakat kelas bawah. Sementara itu
tangannya mulai sibuk menandatangani kontrak film, untuk muncul
dalam beberapa dagelan-dagelan konyol.
Kombinasi ini ternyata merupakan alat yang efektif sekali untuk
menjadi orang yang populer dan kaya. Tiba-tiba saja anak bungsu
keluarga Syuaib ini, sekarang sudah menempati sebuah rumah baru
di Pondok Labu yang berharga sekitar Rp 100 juta. Tak kurang
dari itu banyak orang menyangkakan permainannya dalam film Si
Doel Anak Modern amat meyakinkan. Memang, Benyamin lebih
dianggap sebagai seorang badut biasa. Tapi kini mungkin mulai
terpikir juga apa yang ada sebenarnya di balik
banyolan-banyolannya yang sederhana Sebab jelas ia tak lagi cuma
badut. Setidaknya ia kini menjadi seorang produser yang antara
lain menghasilkan film Koboi Ngungsi dan Hipies Lokal
Pada masa Rachmat Kartolo dipuja karena kecengengan dalam lagu
"Patah Hati", Benyamin masih menjadi anggota rombongan yang
berbunyi "cuap-cuap". Ia menempuh jalan yang cukup panjang
sebelum mengecap enaknya macam sekarang.
Anak nomor 8 yang lahir dengan pertolongn dukun Saodah ini (5
Maret 1939) pernah bercita-cita untuk menjadi pilot. Setengah
jam bergaul dengan dia sudah bisa terasa bahwa pilot gagal ini
tidak hanya mengandelkan spontanitas dan lirik-lirik lagu yang
bisa menukik cabul. Tapi juga punya "wawasan" tentang hidup. Ia
tidak hanya tangkas, tukang sabet yang cerdik dari kenyataan
sehari-hari yang kecil, tetapi juga manusia yang berpikir.
Ambisinya untuk mencuat sebagaimana seorang artis tidak sempat
mematok dia jadi semata-mata robot penangkap duit. Ada gagasan
moral yang selalu dicoba untuk dipeliharanya. Kalau kita katakan
bahwa dia moralis, barangkali terlalu mengagetkan. Tetapi
sesungguhnyalah dia tidak acuh tak acuh dan blo'on sebagaimana
yang mungkin terkesan dari wajahnya. Barangkali perlu disebutkan
di sini bahwa setelah tamat SMA (Taman Madya) bagian C, ia
pernah menjadi mahasiswa Universitas Sawerigading jurusan
Management sampai hampir tingkat II.
Kendati pada masa kecilnya tak pernah bermimpi akan jadi
penyanyi dan bintang film, caranya mengutarakan kariernya pada
saat ini, tidaklah dramatis. Benyamin memandang dengan biasa
saja dan bercerita, betapa ibunya tidak berkenan memberi dia
izin jadi pilot. Dengan kepintarannya sebagai tukang bola ia
berhasil diterima sebagai pegawai PPD (Perusahaan Pengangkutan
Djakarta) sebagai kondektur. Sebulan ia melayani rute
Banteng-Jalan Minangkabau, Manggarai lalu berhenti. Ia tidak
puas ijazah SMA-nya disamakan dengan SD. "Kerja saya suka
brantem sama penumpang", kata Benyamin.
Tahun 1961 ia tercatat sebagai pegawai PN Asbes Semen selama 7
tahun. Tapi kemudian tatkala ada rasionalisasi ia keluar. "Saya
keluar, saya nggak mau dipindah ke DKI untuk mulai dari nol
lagi. Saya berhenti kerja, lalu ngandelin dari musik saja", kata
Ben selanjutnya. "Saya nggak pikir, apakah saya bisa hidup atau
nggak, pokoknya jalan terus!"
Kekerasan hati ini tidak dibarengi oleh kekonyolan, tapi
perhitungan. Waktu itulah dia mengendarai DKW Humell milik
kantor menyerahkan lagu "Nonton Bioskop" di studio DIMITA pada
Bing Slamet. Almarhum Bing pada waktu itu hanya berkata: "Gua
tahu lu bisa nyanyi, coba aja nyanyi". Benyamin tak berpikir
lagi. Ia masuk ke studio. Kemudian lahirlah sebuah LP Pop Betawi
yang berisi "Teisennya", "Kembang Jatoh", "Asal Mogok Genjot".
Lagu yang disebutkan terakhir lahir karena DKW-nya mogok-mogok
melulu di tengah jalan. "Asal mogok genjot", kata Ben sambil
ketawa.
Caranya menulis lagu, yang bisa lahir di mana saja, barangkali
dapat jadi gambaran hahwa orang ini telah berusaha tampil apa
adanya. Kekasaran dalam lirik-liriknya, irama yang
diketemukannya, dan kadangkala ke sentimentilan yang mencuat
keluar dari lagu-lagunya, di samping merupakan ekspresi yang
jujur juga merupakan satu cara supaya bisa komunikatif.
Dengan mengandelkan segi-segi yang murah dalam lagu-lagu itu
kemudian Ben mencoba menitipkan sedikit pesan moral. Banyak
orang dengan tidak sengaja hafal lagu-lagunya. Barangkali
mula-mula karena tertarik oleh kemungkinan-kemungkinannya untuk
memberi asosiasi cabul, tapi lama-lama ternyata Ben berusaha
mengingatkan pada sesuatu tanpa kesan mendikte. Sampai di sini
orang mau tak mau jadi berpikir bahwa di balik segala kejenakaan
Benyamin yang spontan, tersimpan disiplin yang baik untuk
melempengkan kenyataan yang timpang sehari-hari. Maka tak
heranlah berkata seorang Mus Mualim: "Hanya satu yang tidak
diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu Betawi
yang nyaris mati, itu jasanya. Sebaiknya memang kepadanya
diberikan penghargaan".
Benyamin sendiri tak bisa berkata-kata terhadap hal ini.
Barangkali ia tidak tahu benar apakah dia menggali atau
mengacaukan kebudayaan Betawi. Seperti dinyatakannya sendiri,
setelah ia tidak berhasil menjadi pilot, cita-citanya yang lain
yakni menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Dan itu telah terlaksana
haru-baru ini. Kini ia Haji dan ayah dari anak laki-laki. Dan ia
sekarang lebih banyak memikirkan hari depan anak-anaknya, di
samping sibuk main flm dan rekaman manakala ada kesempatan,
dengan grup pengiringnya yang bernama The Bebi's.
Dengan didampingi oleh Noni, isterinya yang dinikahnya waktu
tamat dari SMA (waktu dia berumur 19 tahun sedangkan Noni 17
tahun) Benyamin jadi salah seorang artis yang paling sibuk kini
di Ibukota. Tahun ini (1976) saja ia sempat menolak beberapa
film, karena tak mungkin bisa dilayaninya lagi. Sedangkan tahun
depan (1977) hampir sepanjang tahun telah penuh.
Toh ia masih merencanakan melakukan beberapa tour ke daerah. Ia
menulis lagu, juga kini mulai menulis cerita untuk film-fllm
yang digarapnya sendiri. Selain itu ia membiarkan juga putera
sulungnya Beib Habani (17 tahun) mendirikan band yang kini sudah
menghasilkan dua buah kaset lagu-lagu, yang tak jauh warnanya
dari lagu-lagu Ben sendiri. Anak-anaknya yang lain Bob Benito
(14), Beim Triani (12), Beno Rachmat (10) dan Benny Pendawa (7)
ada kemungkinan juga akan men8ikuti jejaknya, sebagai penyanyi
atau pemain film.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini