Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film Sonic the Hedgehog 3, yang disutradarai Jeff Fowler, dibuka dengan adegan dramatis. Shadow, tokoh landak hitam dengan garis merah, melarikan diri dari kurungan selama 50 tahun di Prison Island. Dendam masa lalunya menyala, menyeret Sonic (Ben Schwartz) dan teman-temannya: Knuckles (Idris Elba) yang konyol dan Tails (Colleen O’Shaughnessy) yang ceria dalam petualangan baru. Suara Keanu Reeves yang berat turut menambah dimensi emosional karakter Shadow, menjadikannya lebih dari sekadar tokoh antagonis.
Review Film: Ketika Rival Jadi Sekutu dalam Film Sonic the Hedgehog 3
Setelah dua film sebelumnya, Sonic akhirnya menemukan musuh yang setara. Namun, demi mencegah kehancuran lebih besar, Sonic, Knuckles, dan Tails harus bersatu dan bekerja sama untuk menghadapi Shadow dan Doctor Robotnik (Jim Carrey). Meski karakter manusia seperti Tom (James Marsden) dan Maddie (Tika Sumpter) nyaris hilang dalam plot film, interaksi para makhluk antropomorfik inilah yang justru mencuri perhatian. Rivalitas mereka diisi humor dan dinamika yang menghibur tanpa kehilangan tensi dramatis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, rivalitas antara Sonic dan Shadow tidak hanya menciptakan ketegangan, tapi juga memberikan sisi emosional ketika keduanya menemukan tujuan yang saling berkaitan. Yang menarik, Sonic 3 tidak hanya menjual aksi. Di balik semua keributan itu, ada eksplorasi tentang rasa kehilangan dan pencarian makna hidup—terutama lewat sosok Shadow dan Robotnik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini juga memperkenalkan sejumlah karakter baru, termasuk Direktur Rockwell (Krysten Ritter) dan keluarga Robotnik yang memperumit narasi. Sementara Shadow dijadikan pusat perhatian dalam film, pengembangan karakternya cenderung mengulang formula perjalanan Knuckles di film sebelumnya.
Sayangnya, Knuckles sendiri menjadi sekadar pelengkap humor. Jim Carrey kembali memerankan Doctor Robotnik dengan gaya humor slapstick yang tidak kehilangan daya pikat. Kehadirannya menjadi penyeimbang antara kekonyolan film dengan kebutuhan humor untuk penonton dewasa.
Efek Visual dan Palet Warna Cerah
Efek visual menjadi senjata utama film ini. Sinematografer Brandon Trost mempermainkan palet warna cerah yang menghidupkan setiap adegan, dari kejar-kejaran di hutan hingga duel penuh aksi di jalanan Tokyo. Adegan Shadow bersenjata di ibu kota Jepang, dengan irama seperti film John Wick, menjadi salah satu momen paling memikat. Namun, ada saat ketika efek visual terasa lebih mendominasi daripada sisi emosional film, dan cukup meninggalkan celah dalam pengembangan cerita.
Namun, film ini juga terkesan mempunyai plot terlalu cepat. Dengan durasi 110 menit, Jeff Fowler memilih pendekatan hiperaktif yang seolah mengorbankan kesempatan untuk lebih mengelaborasi konflik dan jalan cerita. Akibatnya, hubungan antarkarakter terasa dangkal, meski sisi aksi dan momentum kejar-kejaran antar karakter berhasil menutupi banyak plothole tersebut.
Sebagai live action adaptasi dari gim, Sonic the Hedgehog 3 tidak main-main untuk tampil menghibur. Jeff Fowler menunjukkan peningkatan kemampuan mengolah cerita yang meanrik dan lebih penuh warna, memberikan pengalaman hiburan yang cocok untuk seluruh keluarga.
Meskipun kelemahan seperti pengembangan karakter yang dangkal dan narasi yang terlalu padat tidak dapat diabaikan, film ini tetap menawarkan keseruan yang sulit ditolak dan tetap menemukan sisi menarik lewat aksi yang dirancang untuk memuaskan segala usia. Dirilis pada 21 Desember 2024 di bioskop Tanah Air, film ini menjadi pilihan tepat untuk ditonton bersama keluarga di liburan akhir tahun.