Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Astari, Sofia, dan Sebuah Buku Diplomasi Seni

Sri Astari Rasjid menuliskan pengalamannya menjadi duta besar untuk Bulgaria, Albania, dan Makedonia Utara selama empat tahun. Ia memilih jalur budaya untuk mendekatkan Indonesia dengan ketiga negara itu. Menaikkan nilai perdagangan ekonomi.

2 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sri Astari Rasjid, Seniman dan Duta Besar Indonesia di Sofia periode 2016-2020 saat ditemui di kediamannya di Jakarta, 15 Desember 2020. TEMPO/STR/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Beberapa hari setelah tiba, Astari Rasjid diminta memamerkan hasil karya oleh Galeri Nasional Bulgaria.

  • Ia menginisiasi pameran Wonders Indonesia di Galeri Nasional Bulgaria untuk memamerkan keindahan karya seni Tanah Air.

  • Menggelar Festival Asia yang membuat tiga negara di Eropa tersebut lebih mengenal Asia.

PULANG dari Sofia, Sri Astari Rasjid, Duta Besar Indonesia untuk Bulgaria, Albania, dan Makedonia Utara 2016-2020, membawa oleh-oleh: Art of Diplomacy. Buku karyanya itu merupakan catatan tentang apa yang ia kerjakan selama empat tahun di sana. Sebagai seniman, ia memiliki cara tersendiri mendekatkan hubungan Indonesia dengan ketiga negara tersebut. “Saya menggunakan seni,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Astari tiba di Sofia pada awal Maret 2016, permulaan musim semi. Tepat sehari setelahnya, Anies Baswedan, yang saat itu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengunjungi ibu kota Bulgaria itu untuk menandatangani kerja sama kebudayaan dengan Menteri Kebudayaan Bulgaria Vezhdi Rashidov. Kerja sama ini memacu Astari untuk segera bekerja. “Vezhdi Rashidov itu pematung terkenal,” ucapnya. Astari ingat, berselang berapa hari, pengelola National Gallery of Bulgaria yang mengetahui bahwa dia seorang seniman memintanya memamerkan karya seni dalam dua bulan ke depan. “Waktu itu saya belum menyiapkan apa-apa dari Indonesia.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Astari sempat pulang ke Jakarta untuk itu. Dari Jakarta, ia memboyong ratusan batik klasik koleksinya, dari karya Go Tik Swan sampai Iwan Tirta. Batik-batik itu yang kemudian ia pajang di galeri nasional Bulgaria tersebut. Dalam waktu singkat, untuk keperluan pameran, Astari membuat sendiri deskripsi setiap batik itu. Ia juga menampilkan video pembuatan batik yang ia simpan. Pameran ini menjadi awal mula pendekatan seni Astari.

Pada tahun berikutnya, Astari membuat gebrakan. Dia memamerkan khazanah tekstil, perhiasan emas, dan kerajinan eksotik seluruh Nusantara di Quadrat National Gallery, Sofia. Pada saat bersamaan, ia memamerkan khazanah seni rupa modern dan kontemporer Indonesia di National Gallery Palace, Sofia. “Saya ingin menghadirkan karya-karya Affandi, Hendra Gunawan, dan lain-lain di Bulgaria,” katanya. Ia lalu bekerja sama dengan Galeri Nasional Indonesia. Inisiatifnya itu sempat terantuk urusan asuransi. Untuk memboyong karya Affandi dan maestro lain, dia mesti membayar separuh dari nilai total karya yang akan dibawa. Jumlahnya sekitar Rp 1 miliar. “Uang dari mana?” ujarnya.

Koordinator Penerangan Sosial Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bulgaria, Albania, dan Makedonia Utara 2016-2019, Nurul Sofia, ingat, pada tahun itu, Kementerian Luar Negeri hanya memberikan bujet sekitar Rp 300 juta buat mempromosikan Indonesia. Uang tersebut dianggarkan untuk bermacam-macam pameran. Dengan duit sekecil itu, mereka mesti putar otak agar pameran besar seni rupa Indonesia tersebut berlangsung. “Apalagi Bu Astari enggak mau asal pameran. Dia punya standar sendiri,” tuturnya. Karena kegigihan Astari melobi birokrasi di sana, akhirnya ia bisa memboyong lukisan para maestro Indonesia, dari Affandi, Popo Iskandar, sampai Semsar Siahaan. Pameran itu diberi tajuk Astari “Wonders of Indonesia” dan berlangsung selama dua bulan.

Astari mengenang, ruangan yang disediakan oleh National Gallery Palace sangat besar. Ia lalu mencari akal untuk mengisinya. Saat itu ia ingat pada 2014 pernah berpameran di Via Vaita Sant'Andrea, Spotelo, Italia. Bersama para perupa dunia, seperti Shija Azari (Iran), Peter Greenway (Inggris), Ahmet Gunestekin (Turki), Shirin Neshat (Iran), dan Sislej Xhafa (Kosovo), ia terlibat dalam pameran bertajuk “Sconfinamenti”. Saat itu ia menghadirkan sebuah instalasi besar berjudul Undercover, Underwear, Underworld Troops. “Saya lalu menelepon Franco Laera, yang menggelar pameran itu, untuk bisa menghadirkan karya saya di Bulgaria,” ucapnya. Karya Astari itu kemudian bisa dihadirkan di Sofia. “Saya bukan maestro, saya taruh karya saya di pojok.”

Bagi Astari, menggelar pameran seni rupa saja agaknya belum cukup. Pada 2017 itu, ia berpikir keras untuk bisa mengangkat nama Indonesia di Bulgaria, Makedonia Utara, dan Albania meski dana kedutaan terbatas. “Jumlah warga Indonesia yang tinggal di sana itu sekitar 70 orang saja. Indonesia sesungguhnya kurang dikenal di sana,” ujarnya. Lalu timbul gagasan Astari mengorganisasi para duta besar negara Asia lain untuk mengadakan festival bersama.

Indonesia saat itu tengah mempersiapkan perhelatan Asian Games 2018. Astari memiliki ide melobi duta besar negara Asia yang mengikuti Asian Games 2018. Festival bertajuk Asian Festival akhirnya bisa dilaksanakan di Borisova Gradina, taman terbesar di Sofia. Festival itu bahkan dibuka oleh Wakil Presiden Bulgaria Iliana Iotova. Tiap negara Asia memajang beragam budaya yang mereka punyai, seperti makanan, pakaian, perhiasan, dan kerajinan tangan, selama sehari penuh. “Penontonnya sampai 10 ribu, semua jualan ludes,” katanya.  

Dua acara tersebut, “Wonders of Indonesia” dan Asian Festival, menjadi ujung tombak diplomasi seni Astari. Pada 2018, Astari mengisi “Wonders of Indonesia” dengan pameran fashion Indonesia. Ia memboyong perancang busana Ghea Panggabean untuk menampilkan desainnya pada 2018. Ghea juga diikutkan Astari dalam Sofia Fashion Week. Akan halnya Asian Festival, acara itu makin meriah dalam perhelatannya pada 2018, bahkan sampai dibuka oleh Presiden Bulgaria Rumen Radev.

Pada 2019, untuk “Wonders of Indonesia”, Astari menyajikan dua pameran besar: pameran seni rupa kontemporer Indonesia dan Bulgaria di Quadrat National Gallery serta pameran bersama tekstil, artefak, dan perhiasan di Regional History Museum, Sofia. Untuk pameran seni rupa kontemporer, Astari membawa karya Dita Gambiro, Theresia Agustina Sitompul, Bambang Toko Witjaksono, Ivan Sagito, Yudi Sulistyo, dan lain-lain. “Waktu itu di Galeri Nasional Indonesia baru saja ada pameran ‘Indonesia Women Artist (IWA): Into the Future’ dengan kurator Carla Bianpoen. Beberapa karya yang disajikan saya boyong ke sini,” ucap Astari. Dalam pameran itu, Astari juga mengikutkan sebuah karyanya yang dibuat di Sofia berjudul Cross Path. Karya itu berupa kolase berita pada 1950-an di koran Bulgaria, People’s Culture, dengan benda-benda dari Indonesia, seperti wayang kecil, juga foto-foto Sukarno saat di Sofia.

“Saya menemukan foto-foto langka Sukarno saat ia berkunjung ke sini tahun 1960,” ujarnya. Sebagai orang yang tertarik pada sejarah, Astari penasaran melacak dokumen kehadiran Sukarno di Bulgaria. Akhirnya, dari Bozhidar Dimitrov, Direktur National Historical Museum Bulgaria, ia mendapatkan puluhan foto Sukarno, termasuk foto ketika Sukarno dianugerahi gelar doctor honoris causa di Sofia University pada 1960. “Saya akhirnya mengadakan acara di Universitas Sofia. Saya berdiri di ruangan tempat Soekarno pada 1960 menyampaikan pidatonya. Rasanya menggetarkan,” kata Astari.  

Gaya diplomasi Astari ini sempat dipertanyakan beberapa koleganya. Salah seorang kawannya pernah menuturkan, dia terlalu berfokus pada program kebudayaan. Tapi dia menjawabnya dengan lugas: “I am an artist ambassador.” Seni, tutur Astari, merupakan alat diplomasi. Menurut dia, diplomasi membutuhkan keterampilan untuk menghubungkan negara-negara yang berkepentingan. Astari, misalnya, melihat Bulgaria, Albania, dan Makedonia Utara sama-sama memiliki akar budaya yang kuat. “Mereka beragam etnis. Ada muslim Turki, Gipsi, Slav, Tartar, Pomak, dan sebagainya. Populasi muslim di Bulgaria lumayan banyak,” ucapnya. Karena itu, setiap kali tiba Hari Idul Fitri, ia mengundang komunitas muslim di Sofia untuk menunaikan salat id. “Imamnya pernah dari mereka,” dia mengungkapkan.

Menurut Astari, diplomasi seni adalah pintu masuk untuk diplomasi ekonomi. Bila sebuah masyarakat terpikat oleh budaya suatu bangsa, selanjutnya pasti mereka menginginkan kerja sama di bidang lain. Kerja sama ekonomi Indonesia-Bulgaria antara lain berupa ekspor kopi, minyak sawit, kertas, dan furnitur Indonesia ke Bulgaria. Sedangkan Bulgaria antara lain mengekspor tembakau, gandum, komponen elektronik, dan bahan kimia. “Nilai perdagangan Indonesia-Bulgaria naik sampai 330 persen pada 2018. Terus menanjak pada 2020 sampai 500 persen,” katanya.

Sampai pertengahan 2020—masa akhir tugasnya—Astari sesungguhnya berniat terus menggenjot promosi kebudayaan Indonesia. Namun apa daya, pandemi Covid-19 menyerang seluruh dunia. Padahal, pada Juli 2020, ia sudah merancang seniman Butet Kartaredjasa beserta kelompok musik Kuaetnika manggung di Plovdiv, Bulgaria, sebagai kelanjutan kerja sama sister city antara pemerintah Yogyakarta dan Plovdiv. Niat Astari menggelar Asian Festival 2020 pun terpaksa batal. “Padahal Perdana Menteri Bulgaria Boyko Borisov sudah mau membuka,” ucapnya.

Sebelum meninggalkan Sofia, Astari tampak bahagia lantaran pada 2019 ia sempat menghibahkan koleksi pribadinya, seperti batik tua, kalung emas Batak, wayang kulit, dan artefak lain, kepada National Gallery. “Semua benda itu kini dipajang di salah satu ruangan kecil untuk pameran permanen. Jadi siapa saja kalau mengunjungi galeri nasional di Sofia bisa menyaksikan ada barang-barang Indonesia di sana,” tuturnya.  

NUR ALFIYAH, SENO JOKO SUYONO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus