Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH lukisan yang menghadirkan makhluk-makhluk entah ini seperti menggarisbawahi ”kebebasan tak bernama” Made Wianta. Istilah itu dari Afrizal Malna, penyair yang menulis buku tentang Wianta bersama Jean Couteau, pengamat seni rupa asal Prancis yang tinggal di Bali.
Entah apa maksud Afrizal dengan ”kebebasan tak bernama”. Yang jelas, bagi saya, mengikuti karya Wianta sejak ia berpameran lukisan batik di Hotel Indonesia, 1977, dan pameran sekarang di Galeri Nasional Indonesia sampai 6 Desember, karya-karyanya mencerminkan bahwa ia tak mau berhenti pada satu ”gaya”. Dalam waktu 35 tahun sejak ia membuat lukisan batik, di Brussel, Belgia, sampai pamerannya kali ini tak hentinya ia berkarya dengan berbagai media, berbagai corak dan gaya.
Mungkin, baginya seni rupa hanya media untuk menyatakan sesuatu, dari hari ke hari. Dan seni rupa itu adalah titik, garis, bidang, warna, benda yang diorganisasikannya sedemikian rupa hingga lazim disebut karya seni rupa. Itu bisa hanya sketsa hitam putih di selembar kertas, kain yang diproses dengan teknik batik, kanvas yang diisi dengan noktah warna-warna, garis geometris, garis dan warna yang berkelindan menjadi seni abstrak, garis coret-moret mengesankan kaligrafi, karya instalasi yang terdiri dari susunan bambu yang dicat atau pohon-pohon yang dibalut kain warna-warni, atau kasur ”dihiasi” potongan-potongan kaca nan mengerikan. Atau, garis dan warna yang membentuk makhluk-makhluk tak bernama (makhluk postmitologis, tulis Afrizal) seperti yang ia pamerkan sekarang.
Mungkin itu semua diserapnya dari keseharian di Bali, tempat kesenian dan hidup sehari-hari bisa dikatakan menyatu. Kesenian bukan tujuan, tapi sarana untuk mencapai yang ”absolut”. Penciptaan bagi Wianta dimulai dari ”tak apa pun, kosong, dari bentuk dan susunan yang dasar”. Pada akhirnya, katanya, melewati ruang dan waktu, ”yang tinggal hanyalah hakikat”.
Itulah saya kira sumber kebebasan Wianta untuk tak terikat pada bentuk, corak, dan gaya. Dengan demikian perubahan karyanya bukan upaya mencari jati diri. Perubahan itu terjadi karena dalam perjalanan melewati ruang dan waktu ia sampai di terminal yang membuatnya asyik dengan noktah, asyik dengan bentuk geometri, dan seterusnya. Pertanyaannya lalu, Wianta hendak menuju ke mana dalam perjalanan mengarungi ruang dan waktu itu. Secara fisik, tentulah semua yang hidup menuju mati. Secara spiritual, mungkin itulah: ia mencari yang ”absolut”. Maka karyanya selalu berubah, karena yang ”absolut” selalu ada di depan bak kaki langit yang kita lihat tapi tak pernah kita capai.
Maka suatu ketika ia ciptakan di bidang gambarnya bentuk sulur-suluran, yang melenggok, mengikat, berkelindan, dengan warna yang terbatas: oker, garis-garis hitam. Tak sulit ketika itu melihat karya Wianta diilhami oleh ornamen pada wayang kulit, antara lain. Kemudian lahir karya noktah warna-warni, mengisi bentuk tak berbentuk: ada kalanya bentuk seperti pita yang melengkung dan bertindihan, kadang bentuk segitiga atau empat persegi dipadu dengan sudut lancip dan garis lengkung. Lalu bentuk geometri yang tajam yang kadang masih diisi dengan noktah. Menyusul periode sapuan warna masif, patah-patah dengan warna cerah. Dan seserial kaligrafi, yang sering ”huruf” itu hanya menjadi seceleret garis patah, atau bentuk macam cacing. Pada periode ini, tampaknya Wianta menggali efek cipratan cat. Lalu karya-karya kolase, dan kemudian karya instalasi.
Menurut kesan saya, semua itu dibuat Wianta dengan spontanitas. Bahkan dalam karya abstrak geometris, terkesan tidak ada desain di situ, setidaknya desain dalam pengertian rencana. Ini terkesan dari warnanya yang bersih, hampir tak ada ”koreksi” warna dengan cara menumpuk warna di atas warna. Wianta, yang saya bayangkan, mengisi bidang gambar setahap demi setahap, ia kembangkan bentuk atau garis atau warna itu tanpa ”menengok” kembali ke yang sebelumnya. Ia seperti menulis, meneruskan huruf menjadi kata dan kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi sebuah karangan—dan tanpa koreksi. Sementara karya Srihadi Soedarsono seolah lahir dari satu tarikan napas, karya Wianta lahir dari garis demi garis, warna demi warna, bentuk demi bentuk—inilah sebuah kisah: cerita yang terbentuk dari garis, warna, bentuk, dan segala unsur kesenirupaan yang ia gunakan.
Karya-karya yang dipamerkan dengan tajuk Spotlight kini pun seperti itu. Lebih lagi, Spotlight menampilkan bentuk-bentuk seperti makhluk, dan karena itu ”kisah” di situ mudah munculnya. Tentu saja ini bukan kisah yang mempunyai awal dan akhir. Ini adalah kisah yang begitu saja ada, tanpa awal dan akhir. Sebuah kisah yang mestinya terbentuk dari hasil dialog Wianta dengan dirinya, alam sekitarnya, masa kecilnya, ihwal yang terjadi dalam hidupnya. Maka ia tak peduli pada ”alam raya bidang gambar”. Ia hanya mengisi dengan spontan. Apakah bidang itu kemudian terasa begitu lebar hingga bentuk di situ seperti belum selesai tak menjadi soal benar.
Dalam karya-karya mutakhirnya ini, ”pengalaman”-nya masa lampau kadang muncul. Luka Tak Bertuan, misalnya, mengingatkan saya pada sapuan bidang warna Wianta periode 1990. Lalu pada Dramatic Mathematic 2, garis-garis liris itu membawa ingatan pada karya kaligrafinya. Ini sekadar contoh bahwa Wianta memulai melukis bertolak dari ”tak apa pun, kosong, dari bentuk dan susunan yang dasar” dalam makna ia tak berencana. Karena itu apa-apa yang sudah ada dalam dirinya menjadi modal dasar.
Dengan demikian bobot karya Wianta saya kira terkait dengan perkembangan pribadinya: apa yang ia peroleh dari ”mengarungi ruang dan waktu”. Sulit mengatakan pada periode mana ia lebih unggul. Di tiap periode, ada karya yang lebih total daripada yang lain, yang lebih mengalir, lebih bercerita. Demikian pula dalam pameran mutakhirnya ini.
Menurut saya, Wianta ada di sisi seberang Nyoman Lempad. Pada karya Lempad adalah kisah yang tersusun dengan visual yang terdesain. Keutuhan bentuk dan garis yang liris pada Lempad merupakan kekuatan karyanya. Pada karya Wianta, napas itu ada pada spontanitasnya, dan jalinan unsur kesenirupaannya. Bahkan pada instalasinya, kesan spontan itu kuat: kasur di dipan itu seperti begitu saja dipasangi potongan-potongan kaca (karya ini ada pada pameran bersama di Galeri Nasional beberapa lama lalu).
Sementara karya-karya lampaunya seperti menimba dunia visual Bali (ornamennya, sesajennya, wayang kulitnya, dan sebagainya), beberapa karya pada Spotlight mengingatkan saya pada film kartun pendek Eropa yang makhluknya tak berbentuk. Mungkin ini hanya kebetulan. Pada saya makhluk-makhluk itulah yang membuat surprise pamerannya kali ini: Wianta belum berhenti bertualang.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo