Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Srihadi Antara Ada dan Tiada

Pameran tunggal ke-16 Srihadi menghadirkan sketsa-sketsa dari 1947, kubisme, abstrak, sampai horizon, Borobudur, tari Bali dan bedaya: perjalanan mempertemukan ciptaan dan Yang Mencipta, sebuah semesta.

9 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di puncak atap Merah Putih berkibar. Sebuah jam dinding terpasang di tembok. Beberapa tiang listrik. Sejumlah goresan hitam mengesankan ventilasi vertikal di bangunan; di bawah, di depan bangunan, sejumlah goresan hitam mengesankan pohon, orang, dan gunung nun jauh di belakang. Inilah Stasiun Tugu, Yogyakarta, 4 April 1948. Sketsa hitam-putih dengan potlot konte di kertas. Segera saja sketsa ini mengesankan bahwa si pembuat sketsa begitu cermat menangkap bentuk dan begitu terampil menggambarkannya kembali, dengan catatan.

Catatan itu, penggambaran kembali tersebut tidak realistis, bentuk sebagaimana tertangkap mata sehari-hari. Melainkan "secukupnya", cukup untuk memberikan wujud obyek itu dan bukan obyek yang lain.

Bandingkan dengan sketsa dokar parkir, kuda penarik, masih berkacamata, makan dari ember, tak ada sais, tak ada seorang pun. Hanya ada usapan konte mengesankan tanah, dan latar yang kosong. Sketsa ini mencoba menangkap detail, misalnya tali-tali di atap dokar. Memang sketsa dokar tetap tak realistis bila realisme adalah "memindahkan" kenyataan ke bidang gambar. Namun, bila dibandingkan dengan Stasiun Tugu, sketsa dokar lebih detail, lebih berniat menyuguhkan bentuk mendekati tampak mata.

Dari dokar ke Stasiun Tugu pada hemat saya menunjukkan jalan perkembangan seni lukis Srihadi Soedarsono. Pameran di galeri Art:1, Jakarta, hingga akhir Agustus nanti, menyuguhkan sejumlah karya yang menggambarkan perjalanan seni rupa Srihadi, mulai 1947 sampai 2012, pada hemat saya beresensikan perkembangan 1947 ke Stasiun Tugu 1948.

Sketsa-sketsa 1947, mulai profil S. Sudjojono lengkap dengan cangklongnya, reruntuhan pesawat Dakota, hingga sketsa pemain dan penabuh gamelan Ketoprak Sumbangsih, adalah karya yang mencoba menangkap detail. Mungkin ini sebagian karena pengaruh tugas yang diembannya.

Pada 1946, Srihadi masuk menjadi anggota Seniman Indonesia Muda (SIM), yang didirikan dan diasuh oleh Sudjojono di Solo. Ketika SIM pindah di Yogya (ibu kota sementara karena Jakarta diduduki tentara Belanda yang menumpang Sekutu), Srihadi tak ketinggalan. Di Yogya, dalam suasana perang kemerdekaan, Srihadi, yang pernah masuk Tentara Pelajar, mendaftar dan diterima di Badan Keamanan Rakyat (cikal-bakal TNI) dan masuk di bagian penerangan. Tugas dia membuat poster dan gambar dokumentasi perjuangan. Masuk akal bila sketsa Srihadi untuk tugas ini lebih mementingkan gambar dokumentasi daripada ekspresi pribadi, daripada emosi. Itulah kenapa detail menjadi penting. Baru kemudian, dalam karya bebasnya, ekspresi pribadi menjiwai karya-karyanya. Ketika inilah detail surut, dan suasana terkedepankan.

Tapi dari mana anak muda kelahiran Solo, 4 Desember 1931, dalam keluarga pemilik perusahaan batik dan masih berdarah biru ini memiliki keterampilan menggambar?

Dari buku Srihadi dan Seni Rupa Indonesia (Jim Supangkat, Art:1, 2012) yang diluncurkan di pameran ini, ada sebuah nama tempat berguru Srihadi, mungkin sejak kecil. Soemitro, nama itu, guru gambar di SMA negeri di Solo, sekolah Srihadi pada 1948, adalah kenalan lamanya. Keluarga Soemitro dan keluarga Srihadi bersahabat. Biarpun mungkin tak ada semacam kursus yang resmi, semestinya Soemitro memberikan pengarahan ini dan itu kepada Srihadi kecil. Soalnya, sehari-hari dalam lingkungan pembuatan batik, semestinya Srihadi kecil ikut corat-coret. Dan mungkin bakat menggambarnya sudah dilihat oleh keluarganya dan kemudian oleh guru gambar itu.

Dan, di SMA, Srihadi kembali bertemu dengan Soemitro, orang yang tepat. Sejauh yang saya ketahui, Soemitro, pelukis yang namanya tak asing di Kota Solo, sebagai guru ia tak mendikte, tapi mengarahkan kecenderungan siswanya. Dan ia cepat menangkap siswa yang cenderung pada bentuk atau warna. Lain dari itu, Soemitro suka menunjukkan hal-hal kecil di sekitarnya yang dianggap bisa menjadi obyek artistik: tanaman perdu di batu berlumut, sudut talang air, retak pada tembok, pedal sepeda, dan lain-lain. Pada keluasan kertas, hal-hal kecil itu menjadi aksen artistik. (Tidakkah karya-karya Srihadi senapas dengan itu: ruang "kosong" dan "mendadak" ada goresan-goresan kecil mengesankan perahu, atau lekuk tubuh atau ujung stupa dan sebagainya.)

Dan, di kelas, Soemitro tak hanya memberikan pelajaran menggaris, membentuk, dan mewarnai. Salah satu kebiasaan guru yang selalu berdasi rapi ini adalah membawa buku saku biografi pelukis Eropa. Sebagai selingan mengajarnya, sambil membuka-buka buku saku itu, ia akan bercerita menurut buku yang dipegangnya itu. Tentang Cezanne, Picasso, Matisse, Manet, Monet, dan lain-lain.

Boleh jadi, dari Soemitro inilah, antara lain, minat Srihadi pada seni rupa terpupuk, selain mendapat latihan "teknik awal" melukis. (Soemitro, almarhum, adik Saptohudoyo menantu Affandi, dikenal sebagai pelukis potret dengan warna yang "modern": merah, biru, kuning, hijau, bukan warna kulit).

Dari perjalanan sejak kecil dan remaja itu, saya kira menggambar—artinya membuat figur dan obyek—mendarah daging dalam diri Srihadi. "Tekening," begitu kira-kira Soemitro, "itu penting. Jangan sesekali melukis kalau kamu tak bisa menggambar." Ini bukan hanya pendapat seorang Soemitro, tapi di sebuah kelas SMA di Solo, itulah yang sering kali dikatakan oleh guru gambar Srihadi tersebut.

Dan keterampilan ini menjadi pokok dalam karya-karya Srihadi. "Waktu itu saya mendapat pelajaran menggambar didasarkan metode yang benar; mulai mengenal bentuk dasar, latihan menarik garis… mewarnai, mengenai anatomi tubuh manusia… perspektif… efek pencahayaan." (Srihadi dan Seni Rupa Indonesia).

Persentuhannya dengan ekspresionisme abstrak Amerika pada awal 1960-an, ketika ia belajar di Ohio, Amerika Serikat, dan melahirkan lukisan abstrak, mungkin sekadar selingan. Juga sebagai praktek dari Zen Buddhisme, yang ia pelajari ketika itu. Bisa jadi salah satu doktrin Zen diresapi mendalam oleh Srihadi, mungkin karena hal itu cocok dengan kecenderungan pelukis ini sejak awal: bentuk adalah kekosongan dan kekosongan adalah bentuk.

Bila sesudah masa Ohio figur dan obyek kembali hadir, kata Srihadi suatu saat: "Mudah sekali bagi saya membuat lukisan abstrak, tinggal menaburkan cat, selesai." Dalam buku Srihadi the Path of the Soul (Jean Couteau, Yayasan Lontar, 2003), Srihadi menjelaskan ihwal kembalinya figur itu. Ia merasa harus menyampaikan pesan dalam karyanya melihat kemiskinan di Indonesia.

Bagaimanapun, akhirnya, sampai kini figur dan obyek selalu ada dalam karya Srihadi, hadir sebagaimana dalam Stasiun Tugu 1948 itu, ditambah beragam pengalaman selama itu: Zen Buddhisme antara lain, yang tampaknya cocok dengan "falsafah" Jawa yang ia hayati: sing ana, ora ana; sing ora ana, ana—yang ada tiada, yang tiada ada.

Dan lahirlah karya-karya menggambarkan horizon, batas langit dan laut: inilah semesta. Lukisan-lukisan figur: lebih mengekspresikan suasana dan karakter daripada bentuk fisik. Suasana kota, atap-atap rumah yang hanya garis-garis berpotongan membentuk sudut. Borobudur dalam siang dan malam, dalam gelap dan di bawah rembulan: suatu percakapan antara makhluk dan penciptanya yang terwakili oleh sebuah stupa agung. Dan gerak tari-tari Bali yang dinamis serta gerak dalam bedaya yang lamban mengalir, bertenaga.

Bisa dibilang semua karya Srihadi itu, setidaknya yang dipamerkan di Art:1, bisa dikembalikan pada "bentuk adalah kekosongan, dan kekosongan adalah bentuk" atau "sing ana, ora ana; sing ora ana, ana" tadi. Ia tak menangkap badan wadag, melainkan esensi dan suasana. Pada karya yang sangat berhasil, mengingatkan saya pada tari topeng Savitri, sang empu tari topeng Cirebon, Jawa Barat: gemuruh game­lan dan seorang penari yang tegak diam total, lalu sekilat gerak melemparkan selendang bertumpu pada pergelangan tangan, dan kembali diam, dan gamelan yang terus gemuruh. Kita masuk ke semesta tak terbatas….

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus