Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mengenang A. Teeuw dan Arus Bahasa Indonesia

9 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandung Mawardi*

Ketika kita mengenang Andries Teeuw (1921-2012) berarti kita juga mengenang arus studi bahasa di Indonesia. Publikasi buku-buku Teeuw adalah bukti ketekunan dan gairah kesarjanaan. Kita pun mendapati warisan melimpah berupa buku-buku fenomenal. Barangkali kita perlu membaca kembali buku Teeuw berjudul Pegawai Bahasa dan Ilmu Bahasa (1973). Buku ini memuat sanggahan atas peran Thomas Stamford Raffles dalam kajian bahasa Jawa.

Kolonialisme memerlukan jalan bahasa. Raffles mengerti dengan peran bahasa Jawa dalam menderaskan agenda-agenda kolonial. Tokoh ini menjelma menjadi ikon intelektual dari abad XIX. Peran para sarjana asal Belanda perlahan tergantikan oleh para sarjana asal Inggris berbarengan dengan nasib apes VOC. Studi bahasa Jawa dan Melayu terus bergerak melalui kerja John Leyden, J. Logan, dan W. Marsden. Mereka "mengambil alih" dominasi para sarjana Belanda dalam studi bahasa-bahasa di tanah jajahan. Publik menganggap Raffles adalah "pemula" semaian kajian bahasa Jawa.

Anggapan itu disanggah oleh Teeuw. Raffles bukan "pemula". Sanggahan mengikutkan alasan "demi kejujuran dan harga diri nasional". A. Teeuw mengajukan nama Johannes Wilhelmus Winter dan Carel Frederik Winter. Mereka berperan sebagai penerjemah di Solo. Rouffer menilai mereka hoogst invloedrijk atau sangat berpengaruh pada awal abad XIX. Mereka menjadi penggerak studi bahasa Jawa bagi kalangan sarjana Belanda. Pendirian Institut Bahasa Jawa (1832) dijadikan bukti peran dan kompetensi para sarjana bahasa asal Belanda.

Keluarga Winter memang memiliki peran penting dalam penerjemahan dokumen-dokumen kolonial dan pengembangan bahasa Jawa. Peran itu merepresentasikan bahasa sebagai modal dalam komunikasi politik dan penguatan nalar kolonial. Keluarga Winter menempatkan diri sebagai "pemula" seperti klaim Teeuw. Mereka terpandang di mata kolonial dan para raja di Jawa. Penghormatan atas kerja sebagai penerjemah turut memuluskan agenda-agenda kolonial di Jawa. Mereka pun terlibat dalam pengajaran di Institut Bahasa Jawa meski diremehkan sebagai kaum Indo.

Keluarga Winter memiliki kontribusi besar untuk dominasi kajian bahasa Jawa oleh para sarjana asal Belanda. Vincent J.H. Houben (2009) menganggap keluarga Winter melancarkan studi filologi di Jawa. Mereka bertugas menyuguhkan teks-teks kesusastraan Jawa bagi para sarjana Belanda. Peran akademik ini menjelaskan ikhtiar para ahli bahasa di abad XIX: menelusuri akar kultural dan sejarah Jawa melalui studi bahasa. Selebrasi kolonialisme dan derajat ilmu bahasa pun mengacu pada kompetensi keluarga Winter. Bahasa adalah suluh kolonialisme.

Persaingan di antara negara-negara kolonial kentara ditentukan oleh penguasaan atas bahasa. Belanda dan Inggris bergerak ke Hindia Belanda dengan bekal senjata dan bahasa. Peran para sarjana untuk kajian bahasa-bahasa memberi kontribusi signifikan demi kuasa kolonial. Latar sejarah itu memicu perdebatan tentang "pemula" dalam studi bahasa Jawa. Sanggahan A. Teeuw memang mengesankan ada ralat kendati mengacu pada "harga diri nasional". Teeuw mengajukan nama-nama penting dalam penguatan studi bahasa Jawa sejak abad XIX: Taco Roorda, J.F.C. Gericke, J.A. Wilkens, dan A.B. Kohen Stuart. Kita menerima sanggahan itu sebagai tanda seru untuk mengenang peran para ahli bahasa dalam mengisahkan Hindia Belanda.

Bahasa Jawa di mata kolonial dan kaum pribumi mengandung perbedaan arti. Politisasi bahasa Jawa atas nama nalar kolonial memang eksploitatif. Penempatan bahasa Jawa sebagai basis rujukan pembentukan karakter Jawa pun beraroma politis. Penggunaan bahasa Jawa dalam kesusastraan rawan dengan bias-bias kolonial. Para pujangga Jawa seolah-olah menanggung beban kultural dan imperatif kolonial. Teks-teks kesusastraan gubahan para pujangga menjelma menjadi modal bagi gairah studi filologi di bawah naungan kolonialisme.

Peran bahasa Jawa untuk melawan kolonialisme memang ada sampai abad XX kendati tak menghasilkan gerakan masif. Kalangan pribumi merasa bahasa Jawa bergerak lamban sebagai bahasa politik. Bahasa Jawa terlalu kental dengan perasaan dan simbol. Kolonialisme pun susah diladeni menggunakan bahasa Jawa. Para penggerak ide-ide nasionalisme perlahan memilih dan menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Belanda. Bahasa Melayu pun bergerak sebagai bahasa politik dan kultural di Jawa. Pilihan ini menentukan corak nasionalisme di kalangan intelektual Jawa. Mereka memang orang Jawa meski melawan kolonialisme dengan menggunakan bahasa Melayu. Sejarah pun terus bergerak.

Nasib bahasa Jawa jadi tema perdebatan sengit di antara dua tokoh pergerakan di Jawa: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Perdebatan itu menggunakan bahasa Belanda dan diwartakan di Hindia Poetra (1916-1917). Tjipto menganggap bahasa Jawa adalah bahasa budak. Bahasa Jawa sulit untuk jadi bahasa demokrasi atau meninggikan martabat orang Jawa di mata dunia. Tjipto menganjurkan agar orang Jawa menggunakan bahasa Belanda untuk modal menjadi manusia modern. Pandangan ini mengandung dilema politik dan identitas.

Soewardi Soerjaningrat justru prihatin. Nasib bahasa Jawa seolah-olah bergerak ke senja dan malam. Tokoh politik radikal itu menulis bahwa Tjipto Mangoenkoesoemo terlalu gegabah untuk membicarakan kematian bahasa Jawa. Abad XX seolah-olah memiliki adegan penguburan bahasa Jawa. Soewardi tak rela bahasa Jawa musnah. Perlawanan atas kolonialisme dan gairah menjadi modern memang memerlukan bahasa. Soewardi justru memilih bahasa Melayu sebagai modal besar demi mengubah nasib negeri terjajah.

Perdebatan itu merupakan arus sambungan dari pemaknaan bahasa Jawa oleh para sarjana Barat dan elite kolonial. Nasib bahasa Jawa surut saat abad XX bergerak dengan cepat. Bahasa Jawa sebagai modal agenda-agenda kolonial telah menjelma menjadi nostalgia. Penepian bahasa Jawa dalam semaian nasionalisme mirip takdir politik. Bahasa Jawa mesti bergerak di pinggiran arus modernitas dan nasionalisme. Para penggerak bangsa memang sengaja memilih bahasa Melayu untuk menentukan nasib dan mengimajinasikan Indonesia. Begitu.

*) Pengelola Jagad Abjad Solo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus