Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Superhero Juga Manusia

Kini Spider-Man mencoba berubah wajah, dengan penampilan New York yang serba hitam. Masihkah dia menjadi pahlawan kita?

30 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SPIDER-MAN 3 Sutradara: Sam Raimi Skenario: Sam Raimi, Ivan Raimi, Alvin Sargent Cerita: Sam Raimi dan Ivan Raimi berdasarkan Komik Marvel Spider Man ciptaan Stan Lee dan Steve Ditko Pemain: Tobey Maguire, Kirsten Dunst

Spidey berganti warna!

Kini dia berkostum hitam, lebih funky, lebih seksi, jago dansa, licin merayu wanita demi membakar cemburu sang pacar. Yang lebih mengejutkan, Spider-Man kini sudah tega membunuh musuhnya. He, ada apa gerangan dengan super-hero kita yang santun itu?

Dalam sekuelnya yang ketiga, sutradara Sam Raimi dan timnya mencoba masuk ke dunia yang lebih gelap. Ke dunia yang menjadi identitas Batman yang tumbuh dengan dendam kepada penjahat yang membunuh kedua orang tuanya di depan matanya. Kini pria santun Peter Parker (Tobey Maguire), yang lazim menjelma menjadi Spider-Man saat bencana menghajar New York, dipaksa mengungkap ”sisi gelap” dalam dirinya. Itu terjadi karena polisi baru saja menemukan pembunuh Paman Ben beberapa tahun silam (Spi-der-Man 1, Tempo 2 Juni 2002). Parker, sang yatim piatu yang dipelihara paman dan bibi yang sangat mencintainya itu, mulai jengkel terhadap kelambanan polisi. Dendam—racun yang paling mematikan jiwa manusia—mulai hinggap dan lengket di kulit Parker. Kemarahannya menumbuhkan kulit baju yang baru: laba-laba hitam.

Peter Parker a.k.a. Spider-Man berkostum hitam menjelma menjadi makhluk khas New York: seksi dan terlalu percaya diri. Melawan pembunuh pamannya, Flint Marko a.k.a. Sandman, penjahat baru yang tampil seperti seorang antagonis dalam dunia perwayangan: sakti dan tak terkalahkan. Ditonjok, dihajar, ditusuk, ditikam, dibom, dengan sigap dia akan membentuk dirinya kembali menjadi Sandman yang tak terkalahkan. Di hadapan Sandman, Spider-Man berbaju merah jadi pecundang. Tapi Spider-Man baru berbaju hitam, New York, dan funky? Beres. Sandman sudah jadi sejarah.

Tapi asmara antara Parker dan si cantik Mari-Jane Watson—dengan pang-gilan Yayang M.J. (Kirsten Dunst) terganggu. Selain persoalan karier M.J. di panggung sedang bermasalah, bekas pacar M.J., Harry Osborne (James Franco) muncul lagi. Persaingan kedua sahabat yang menjadi musuh ini kembali menjadi subplot sekuel kali ini.

Harus diakui, dari sisi komersial, Spider-Man adalah serial superhero yang paling berhasil meraup untung, perhatian, dan penggemar fanatik. Salah satu analisis kami, apalagi melihat gagalnya film Superman terbaru, karena penonton merasakan hubungan yang nyaman dengan sosok Peter Parker yang bersahaja yang memimpikan gadis tetangga yang jelita. Dan penjelmaan Parker menjadi Spider-Man yang sela-lu menyelamatkan manusia dari bencana menjadi ”obat” bagi kehidupan yang begitu melelahkan.

Namun resep itu untuk dua sekuel sudah habis dikunyah. Sam Raimi merasa sudah waktunya membuat Spider-Man lebih nyeleneh, lebih ”bernafsu”, lebih edgy (kalau kata orang New York). Untuk menit pertama, kita menikmati Tobey Maguire yang tampak menjadi perpaduan antara keren dan konyol dengan baju baru dan gaya baru. Tapi, kita juga tahu, pastilah jiwa ”si anak tetangga yang santun” akan melawan karakter baru ini.

Dalam sekuel ini, penjahat-penjahat baru ternyata lahir dengan segera. Selain kepada Sandman, kita juga diperkenalkan kepada sosok Venom (Topher Grace), mantan wartawan yang dipecat karena memalsukan foto Spider-Man.

Karena banyak tokoh antagonis, Spider-Man tak sanggup melawan mereka sendirian. Dia mendapat bantuan dan, oups: Harry Osborne pun secara ajaib bisa menjadi ”teman superhero” yang terbang dengan skate-board.

Melihat tokoh superhero dan antagonis yang mendadak begitu banyak dan berseliweran memang agak capek. Dan mudah-mudahan itu bukan karena para penulis dan sutradara kebingungan bagaimana meneruskan cerita ini, karena Spider-Man memang sangat digemari penontonnya. Batman semakin menurun, mungkin, karena pemerannya yang berubah-ubah (dari Michael Keaton, Val Kilmer, George Clooney, hingga akhirnya Christian Bale) dengan sutradara yang juga berubah-ubah, hingga mobil dan kostumnya pun jadi korban. Spider-Man berupaya tidak mengulang kesalahan itu. Tim sutradara Sam Raimi dan pemain utama Tobey Maguire dan sang pacar cantik M.J. selalu menjadi pilihan utama, dan mungkin karena itu pula sekuel ini selalu berhasil mempertahankan rasa dan aura yang diinginkan penonton.

Tapi, dengan segala resep itu, apa boleh buat, seharusnya mereka percaya dengan kekuatan Spider-Man dan tak perlu masuk ke dunia Batman yang berangkat menjadi superhero dari akar dendam. Sejak awal, Spider-Man justru digambarkan seorang superhero yang ”manusiawi” dan tidak terlalu super seperti halnya Superman dan Batman, jadi tak perlu lagi mencoba ”memanusiakan” Spider-Man. Di luar itu semua, film ini tetap sebuah film berondong jagung, karena itu tak perlu berharap hal yang dalam atau filosofis, kecuali: nikmati saja dengan santai.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus