Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal April silam, Sultan Hamengku Buwono X memberi pernyataan penting: tidak ingin menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta. Pernyataan ini melahirkan dua persoalan. Pertama, pernyataan Sultan ini juga memiliki implikasi hukum yang kelak memberikan pekerjaan rumah—di antara tumpukan pekerjaan rumah lain—pemerintah. Kedua, pernyataan ini menyebabkan kontroversi karena masyarakat dan para ahli sejarah percaya bahwa sudah waktunya Yogyakarta (meski memang istimewa) mulai menjalankan pemilihan umum yang demokratis.
Dari sisi hukum, Pasal 18 UUD 1945 telah menjamin adanya dua daerah istimewa di Indonesia, yakni Aceh dan Yogyakarta, berdasarkan sejarah kedua daerah itu yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. UU Nomor 3/1950 berbicara tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Karena undang-undang ini tidak mengatur kepala daerah dan wakil kepala daerah secara eksplisit, sesungguhnya saat ini sebuah RUU yang lebih baru tentang Daerah Istimewa Yogyakarta sedang diperjuangkan ke DPR. Selama ini, Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta memang dijabat secara ex officio dan turun-temurun oleh Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono dan Paku Alam.
Di pihak lain, sebagian masyarakat (yang dianggap pendatang baru) merasa bahwa UU Nomor 32/2004 yang mengatur pemilihan langsung gubernur yang sudah berlaku di provinsi lain seharusnya sudah mulai berlaku di daerah seistimewa apa pun, mengingat semua provinsi di Indonesia adalah bagian dari republik yang demokratis.
Dari sisi hukum, pernyataan Sultan ini memang akan berdampak panjang pada proses RUU yang sedang diga-rap. Jika Sultan Hamengku Buwono lazimnya sekaligus menjadi gubernur, dan wakil gubernur dijabat oleh Paku Alam, memang ada pekerjaan rumah besar yang menanti para ahli hukum tata negara dan pada akhirnya anggota DPR. Proses ini pada gilirannya tentu saja tidak hanya mendengarkan suara rakyat Yogyakarta, yang memiliki kepentingan sejarah dan sentimentalitas yang dalam terhadap Keraton Yogyakarta, tapi juga rakyat Indonesia umumnya.
Namun, lebih penting lagi, terlepas dari motivasi Sultan dengan ucapannya itu, kita harus mendukung ucapan dan tindakan apa pun yang nantinya mendorong demokrati-sasi di negeri ini. Jika penolakan Sultan itu pada gilirannya akan mendorong masyarakat Yogyakarta menjadi partisipan aktif dalam proses demokrasi pemilu lokal, bukankah itu sesuatu yang terpuji? Dan bukankah dengan demokratisasi itu tak berarti sejarah pentingnya Yogyakarta dan Sultan Hamengku Buwono IX—yang sudah sangat berjasa kepada republik ini, terutama pada zaman kemerdekaan—akan menguap dari ingatan kita?
Pertanyaan berikutnya: bagaimana pula dengan peran keraton jika gubernurnya nanti adalah seseorang yang dipilih dalam sebuah pemilu? Itu juga akan menjadi tugas kita karena di negara mana pun yang masa lalunya pernah memiliki monarki, pasti para raja dan keraton atau istananya selalu saja memiliki peran dan tempat yang istimewa di hati rakyatnya. Dia menjadi simbol (seperti di Kerajaan Inggris Raya), bahkan menjadi lambang pemersatu seperti di Thailand. Tapi, tetap, pemerintah sehari-hari dipilih oleh rakyat. Mungkin sudah waktunya Yogyakarta mulai memilih jalan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo