Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI pesan Opini pekan lalu, kami ulangi lagi: biarlah reshuffle kabinet menjadi urusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pengasongan nama-nama calon menteri oleh partai, organisasi massa, bahkan Dewan Perwakilan Daerah, tak usah dilakukan lagi.
Presiden perlu tenang. Mungkin itu salah satu alasan ia datang ke Istana Tampak Siring di Bali—istana bersejarah yang dulu sering dipakai Bung Karno untuk menyepi. Presiden SBY butuh waktu untuk berkontemplasi sebelum memaklumkan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu pekan ini. Ada catatan soal waktu pengumuman: kalau segalanya dipandang sudah terukur, terkendali, dan matang.
Maka sebaiknya sekarang membayangkan perombakan seperti apa yang bakal terjadi. Kelihatannya postur kabinet tidak akan banyak diutak-atik. Kabinet masih akan berukuran jumbo. Politik akomodasi yang dijalankan SBY memang menghendaki banyak kursi menteri. Strategi merekat dukungan dengan cara ini, akibat partai penopang utama Presiden memiliki suara kecil, kelihatannya akan dipertahankan. Soalnya tinggal mengukur panjang lis menteri yang akan disetip.
Setidak-tidaknya daftar terdiri atas tiga kategori: menteri yang menderita sakit, tidak berprestasi, dan bermasalah. Berharap semua menteri yang masuk tiga kategori itu diapkir sama saja dengan menantikan ara tak bergetah. Sia-sia. Bukan gaya SBY bertindak ekstrem. Reshuffle kabinet pertama pada Desember 2005 merupakan contohnya. Walau didesak kanan-kiri untuk bongkar kabinet, SBY hanya mengubah enam pos.
Menjelang reshuffle kali ini, selain karena langgam kepemimpinan tadi, waktu kerja efektif kabinet yang tinggal dua tahun pasti menjadi pertimbangan untuk tidak merombak kabinet secara radikal. Partai yang berharap kadernya banyak masuk, atau kalangan yang suka berpikir dramatis, bersiap-siaplah untuk kecewa.
Lagi pula SBY sudah berbicara bahwa reshuffle akan dilakukan secara terbatas. Mengganti menteri yang sakit agaknya menjadi prioritas teratas. Artinya, sedikitnya tiga menteri dipastikan keluar dari skuad SBY. Jumlah menteri yang diganti karena faktor kesehatan agaknya tidak sampai 13 orang—angka itu adalah versi Wakil Presiden tentang menteri yang mengidap penyakit serius.
Tentu Presiden memiliki acuan sendiri soal handicap kesehatan menterinya. Menteri yang sakit berat sebaiknya tidak dipertahankan. Tanpa mengurangi jasanya ketika sehat, ketidaksanggupan menjalankan kerja normal sudah cukup menjadi pertimbangan. Terlalu njlimet bersandar pada catatan medis, selain akan menyiksa penderita, bakal membuat gerak departemen yang dipimpin sang menteri menjadi pelan.
Umpama yang ditukar adalah kategori menteri yang sakit dan tidak berprestasi, jumlahnya sangat banyak. Bisa-bisa separuh dari 41 menteri dan pejabat setingkat menteri di kabinet harus dilorotkan untuk diisi dengan muka baru. Tugas pokok seperti mengentaskan masyarakat miskin, mengurangi penganggur, serta memperbaiki pendidikan dan kesehatan belum signifikan hasilnya. Memang kelihatan ada usaha memberantas korupsi, tapi pada saat yang sama kolusi dan nepotisme malah mekar terutama di kalangan anggota kabinet yang berbisnis pribadi. Boleh dikatakan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran tidak memuaskan. Perombakan maksimal memang salah satu obatnya. Tapi, lagi-lagi merujuk pada kebiasaan SBY, bukan pilihan revolusioner yang akan diambil.
Kalau perombakan maksimal mustahilnya seperti peribahasa bakar air ambil abunya, yang gampang mestinya perombakan minimal. Presiden hanya mengganti menteri sakit dan satu-dua yang lain. Ibarat berdandan, itu sekadar membedaki muka agar kelihatan lebih manis. Rakyat pasti tidak puas karena yang ditunggu adalah wajah kabinet yang sama sekali baru, sebuah operasi salin wajah—seperti terjadi di Face/Off (1997), film tempat John Travolta dan Nicholas Cage sempat bertukar rupa. Ketidakpuasan rakyat memang berbahaya untuk kelangsungan karier politik SBY pada Pemilu 2009, tapi bukan tidak tersedia resep penangkal.
Resep penangkal itu sederhana: singkirkan semua menteri bermasalah. SBY tak boleh mendua menghadapi tuntutan pencopotan menteri yang terlibat skandal, misalnya pencairan dana Tommy Soeharto. Pendekatan yuridis formal biarlah dipakai pengadilan kalau kelak kasus ini bergulir ke sana. Tapi Presiden cukup menimbang etika berpemerintahan yang baik, asas kepatutan, serta kecenderungan pelanggaran undang-undang, untuk bisa mengeluarkan keputusan politik yang layak. Perkara dana Tommy tak bisa digolongkan kelalaian administrasi semata.
Reshuffle bukan obat cespleng pendongkrak kinerja SBY. Tapi agenda penting itu akan bermakna di mata rakyat kalau menteri bermasalah ikut dihalau. Presiden mesti firmed dan tak perlu bimbang ragu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo